Dunia sedang dihadapkan dengan banyak sekali perubahan. Disusul dengan datangnya pandemi Covid-19 yang tidak memberi peluang orang untuk terlalu lama tercengang, semua harus cepat menyesuaikan dengan berbagai macam perubahan. Pun demikian dengan dunia pendidikan, disrupsi model pembelajaran yang digunakan di dalamnya nyaris membuat semua tegang. Berpindahnya ruang-ruang belajar ke dalam saluran digital memaksa semua entitas pendidikan, guru, siswa, dan bahkan orangtua belajar dan menyesuaikan dengan cepat. Mulai dari pengadaan perangkat hingga menyematkan berbagai aplikasi hebat.
Kini saat kasus Covid telah melandai, ketika sekolah kembali dibuka, ruang-ruang kelas kembali hingar bingar, dan pertemuan tatap layar semakin memudar, bukan berarti adaptasi yang selama ini telah dijalani ikut pula buyar. Kompetensi menggunakan teknologi informasi dan literasi digital khususnya, bagi guru, murid, dan juga orangtua dalam mengelola pembelajaran selama ini mestinya tetap harus dipertahankan, bahkan ditingkatkan. Pembelajaran hybrid, blended, dan segala macam model lainnya tentu akan membaur dengan model pembelajaran konvensional seperti yang dilakukan sebelum pandemi.
Variasi media yang digunakan pun tentunya semakin beragam, sehingga membuat siswa semakin senang. Di samping itu ikatan emosi antara guru dan siswa pun terus terjalin dengan pertemuan tatap muka ini. Karena Selain menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi, para guru juga penting mengajak siswanya menjaga keutuhan aspek-aspek humanisme seperti kreativitas, tata krama, moralitas, akal sehat, dan etika
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Harapannya semua guru bisa seperti itu. Namun menjaga, mengikuti, dan merawat kebaruan atas segala macam perubahan yang terjadi bukan perkara mudah. Apalagi guru sekarang tengah menghadapi generasi terbaru, yang mudah beradaptasi, cepat belajar dan dengan segala macam karakteristiknya yang tentu jauh berbeda dengan beberapa generasi guru yang ada di sekolah. Sebut saja guru tua dan guru muda.
Bagi guru muda mungkin perubahan bisa terus diikuti dengan kemampuannya beradaptasi dengan hal-hal baru. Bagi guru tua, kenyamanan yang telah dibangun bertahun-tahun di dalam kelasnya, tanpa banyak intervensi dan tuntutan dari pemimpin atau pengawas sekolah terkadang membuat enggan untuk berbenah.
Menurut data UNESCO dalam Global Education Monitoring (GEM) Report 2016, kualitas guru di Indonesia tergolong memprihatinkan, berada di urutan ke-14 dari 14 negara berkembang di dunia. Lalu dalam studi Research on Improving Systems of Education (RISE) terhadap 360 guru kelas sekolah dasar di Indonesia pada 2018, ditemukan hanya 12,43 persen guru yang menganggap dirinya menguasai materi pengajaran literasi baca tulis dan 21,27 persen yang menguasai materi pengajaran matematika.
Masih butuh upaya keras untuk menjadikan guru Indonesia seperti yang diidamkan, menjadi pengawal terdepan masa depan bangsa. Jalan panjang guru untuk bisa bertahan pada pusaran perubahan bisa diupayakan secara berkesinambungan, konsisten, dan mengikuti perkembangan dengan beberapa jalan. Pertama, melalui kepemimpinan kepala sekolah. Kebutuhan guru untuk mengikuti arus perubahan perlu didukung oleh kepemimpinan sekolah.
Seorang pemimpin yang baik tentu akan membangun kelompok agent of change, yaitu sekelompok individu yang berani melakukan gebrakan-gebrakan baru, agar sekolah dapat terus bergerak maju menghasilkan SDM-SDM unggul darinya. Seorang kepala sekolah adalah pemimpin perubahan dalam sekolah yang dipimpinnya. Kebaruan yang ada perlu ditangkap dan disampaikan untuk diterapkan kepada warga sekolahnya.
Ironisnya praktik rekrutmen kepala sekolah di beberapa daerah masih juga terkooptasi oleh kepentingan politik, bukan berbasis meritokrasi. Fakta menunjukkan bahwa masih banyak sekolah yang proses pendidikan di dalamnya berjalan tanpa target-target capaian yang jelas, sekedar mengalir apa adanya. Sehingga guru yang berpuluh tahun mengajar dengan nyaman tanpa tersentuh perubahan jaman, tetap aman tanpa keteladanan pimpinan.
Kedua, melalui organisasi profesi yang diikuti. Tuntutan profesionalisme guru yang semakin tinggi menumbuhkan banyak organisasi profesi guru yang menjadi wadah bagi mereka untuk terus menguatkan kompetensi, jejaring, dan memajukan diri secara kolektif. Jika dahulu hanya ada satu yaitu PGRI, sekarang telah tumbuh beberapa organisasi profesi guru berbadan hukum yang bisa menjadi pilihan para guru untuk bersama-sama mengembangkan kompetensinya; ada IGI (Ikatan Guru Indonesia), FSGI (Federasi Serikat Guru Indonesia), KGB (Komunitas Guru Belajar), dan lain sebagainya.
Gebrakan nyata organisasi profesi ini menjadi harapan bagi hampir tiga jutaan guru di seluruh Indonesia untuk pengembangan kompetensi dan menyesuaikan perubahan. Termasuk juga perjuangan dalam rangka penguatan otonomi guru menuju sosok profesional yang didambakan.
Jalan terang ketiga adalah kehadiran negara. Dua puluh persen anggaran negara untuk pendidikan rasanya tidak kurang-kurang. Namun kenyataannya permasalahan besar pendidikan masih juga berkutat pada rendahnya kompetensi guru. Tidak dipungkiri telah banyak program pemerintah untuk mendukung hal ini, namun perlu keberanian dari Kemdikbud untuk mau menerapkan pola seleksi terbalik bagi sekolah penerima bantuan peningkatan mutu pendidikan.
Sekolah yang justru tidak pernah tersentuh bantuan, merekalah yang dijadikan prioritas. Sehingga program unggulan yang kerap digelontorkan tidak hanya menyasar bagi sekolah itu-itu saja, dengan dalih untuk sekolah pilot project. Namun giliran waktunya sekolah "biasa" tiba, program telah berakhir dan tidak lagi terdengar gaungnya hanya karena bergantinya pembuat kebijakan.
Perubahan pada era disrupsi ini menguatkan urgensi pada hampir semua orang, terutama guru untuk berpikiran terbuka, belajar dari orang lain, berkolaborasi, dan merangkul perbedaan. Melalui berbagai jalan guru bisa mencari peluang untuk menang, diam dan bertahan atau terlempar dari pusaran perubahan.
Arifah Suryaningsih, S.Pd, MBA Guru SMK 2 Sewon Yogyakarta, Pengurus Pusat Ikatan Guru Indonesia
(mmu/mmu)