Banyak orang bilang kekuasaan itu candu. Tetapi, saya tidak merasakan hal yang sama. Berkuasa itu mungkin enak, namun ternyata tidak selalu nikmat.
Tentu saja kekuasaan yang ada dalam genggaman tangan saya berbeda dengan kekuasaan para raja dan oligarkh itu. Meski demikian, Anda harus tahu dulu bahwa saya berkuasa.
***
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Begini ceritanya. Dua pekan lalu, saya diminta menjadi juri dalam sebuah lomba menulis. Tugas saya relatif ringan, yaitu memilih 20 tulisan terbaik dari 50 yang diserahkan kepada saya (yang 50 itu sudah merupakan hasil sortiran dari sekian ratus tulisan yang masuk ke panitia.)
Jelas, saya bebas memilih sesuka-suka saya, sesuai selera saya. Toh, saya menggenggam kuasa. Di zaman keterbukaan, ketika kontrol publik semakin ketat, ketika suara jelata semakin mendapatkan ruang, barangkali hanya seorang juri lomba yang takhta kekuasaannya tak tersentuh segala logika demokrasi. Ingat saja hukum tunggal yang berlaku: "Keputusan juri tidak dapat diganggu gugat!"
Coba rasakan sensasi kalimat itu. "Tidak dapat diganggu gugat." Hmmm. Kokoh sekali. Perkasa sekali. Betapa jemawanya seorang juri. Betapa kebal ia dari segala goyangan yang seharusnya wajar menyerangnya dari kanan dan kiri.
Sialnya, candu kekuasaan itu hanya saya nikmati sesaat saja. Syahdan, saya mentok pada 25 tulisan terbaik. Padahal, ingat, saya hanya boleh memilih 20. Betapa bingung saya untuk menentukan yang 20 itu, sembari menendang 5 yang harus ditendang. Kenapa? Karena ke-25 tulisan itu sama bagusnya!
Kadang saya mau fokus ke substansinya saja. Tapi ketika ketemu substansi tulisan yang kurang, ternyata gaya menulisnya keren. Begitu ketemu tulisan dengan teknik dan gaya yang tidak cukup bagus, ternyata poin gagasannya yang keren. Saya bingung.
Sebagai penguasa yang tidak dapat diganggu gugat, jelas sekali saya bebas semau-maunya menentukan mana 5 biji yang harus saya singkirkan. Namun, kecemasan yang aneh menyerang-nyerang diri saya. Pikiran saya diserbu oleh rentetan pertanyaan. Atas dasar apa saya menendang 5 tulisan, padahal kelimanya sama bagusnya dengan 20 lainnya? Bagaimana pertanggungjawaban moral dan etis saya atas keputusan itu?
Bagaimana pula pertanggungjawaban spiritual saya? Coba, kalau nanti di Mahkamah Hari Kiamat saya dihadapkan kepada para penulis yang saya coret itu, lalu ditanya kenapa saya menyingkirkan tulisan-tulisan bagus mereka, bakalan seperti apa pembelaan saya?
Masih belum selesai. Bagaimana kalau ternyata dengan keputusan sepihak saya, yang kebal dari segala ganggu dan gugat itu, saya telah menghancurkan mimpi orang-orang yang sebenarnya punya kapasitas untuk meraih mimpi mereka dalam memenangkan lomba? Bagaimana kalau ternyata salah satu dari lima penulis yang sesungguhnya masuk kualifikasi itu diam-diam sangat mengharapkan uang hadiah lomba sebagai pembeli susu buat anaknya, tapi karena kesewenang-wenangan saya maka tak ada susu untuk anaknya?
Kepala saya semakin berdenyut-denyut. Saya lunglai, merasakan satu situasi deadlock lahir dan batin.
Tapi saya tak punya pilihan, dan mau tak mau harus mengambil sikap dalam segenap keterpaksaan. Akhirnya, saya memilih satu. Dua. Tiga. Empat. Lima.
Kelimanya saya coret. Tanpa argumen pencoretan yang jelas. Tanpa bisa lepas dari bayang-bayang mata para penulis bagus, yang menatap nanar kepada saya dalam tumpukan rasa tidak terima.
***
Apakah kekuasaan itu enak? Saya rasa sebagian aspeknya memang enak. Tapi sebagian lainnya rasa-rasanya tidak begitu enak.
Saya ingat peristiwa siang itu, belasan tahun yang lalu. Di hadapan saya duduk seorang lelaki muda. Sorot matanya campur aduk antara harapan, keputusasaan, dan tatapan memohon belas kasihan.
"Saya janji setelah ini akan berjuang lebih keras lagi, Mas," katanya. Suaranya bergetar.
Saya tidak berani memandang wajahnya. Hari itu saya menjadi seorang eksekutor, harus menentukan nasib kehidupan seorang karyawan. Lelaki di hadapan saya itu harus saya pecat. Bukan karena pelanggaran, bukan karena tindak asusila, bukan karena merugikan perusahaan tempat saya bekerja. Dia hanya tidak kunjung bisa meningkatkan kemampuannya. Itu saja.
Hari itu, saya menjadi penguasa yang menentukan nasib lelaki di hadapan saya, berikut nasib anak dan istrinya. Sebenarnya saya bisa saja mempertahankan dia. Tetapi, ada setumpuk target dari perusahaan kepada saya. Suka tidak suka, saya harus menata formasi tempur yang efisien. Dan lelaki di hadapan saya itu adalah bagian dari kendala untuk bergerak efisien.
Yang jadi masalah berat bagi saya adalah: dia orang yang sangat baik. Dia teman yang menyenangkan. Dia bawahan yang rendah hati, sangat suka menolong rekan-rekannya, bergaul ramah dengan siapa saja. Datang ke kantor tidak pernah terlambat, aktif dalam kegiatan umum kerukunan antarkaryawan, rajin jadi khatib jumatan, dan sederet hal yang membuat saya sangat nyaman berinteraksi dengannya.
Tetapi, perusahaan tempat saya bekerja bukan perusahaan produsen khotib jumatan. Segala kebaikan personal lelaki di hadapan saya itu pun tiba-tiba menjadi tak ada artinya.
"Mas Iqbal, kamu harus memilih. Bagaimana pun kita ini perusahaan, bukan lembaga sosial." Begitu kata bos saya saat mendorong agar saya bisa tegas memilih siapa yang harus saya singkirkan. Saya diberi limpahan kekuasaan oleh bos saya. Meski kekuasaan itu tidak sebesar kekuasaan seorang juri yang tidak dapat diganggu gugat itu, tetap saja saya berkuasa. Dan dengan bekal kekuasaan itu, saya harus menentukan nasib periuk seorang manusia.
Saya tidak ingat sampai berapa malam selepas eksekusi kalimat lelaki itu terus terngiang di kepala saya, menghantui mimpi-mimpi saya. "Saya janji setelah ini akan berjuang lebih keras lagi, Mas." Sebuah kalimat yang diucapkan dengan suara bergetar.
***
Ternyata, berkuasa itu banyak tidak enaknya. Tapi kenapa orang-orang berebut untuk menggenggam kuasa? Seberapa gelisah malam-malam mereka setelah menjalankan kuasa? Seberapa parah mereka dihajar pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu lelap tidur mereka? Seberapa dalam kecemasan mereka memikirkan nasib orang-orang yang tumpas akibat kekuasaan mereka?
Iqbal Aji Daryono penulis, tinggal di Bantul
(mmu/mmu)