Isu kekerasan seksual menjadi masalah serius yang harus diselesaikan bersama-sama karena menyangkut moralitas generasi. Fenomena kekerasan seksual ibarat "gunung es" yang sedikit tampak di permukaan, namun sebenarnya sudah banyak terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Menurut Laporan Studi Kuantitatif Barometer Kesetaraan Gender 2020, mayoritas masalah kekerasan seksual di Indonesia berakhir tanpa kepastian. Sebab 57% korban kekerasan seksual mengaku tak ada penyelesaian dalam kasus tersebut. Salah satu faktor yang menyebabkan terhambatnya penyelesaian kasus kekerasan seksual yakni instrument hukum yang kurang memadai.
Sahkan RUU TPKS
Salah satu kendala yang harus dihadapi oleh korban kekerasan seksual di Indonesia adalah keterbatasan instrument hukum yang memadai terkait penanganan kekerasan seksual di Indonesia. Selain itu, instrumen hukum yang ada terkait kekerasan seksual masih belum berpihak pada korban. Keterbatasan tersebut akan berdampak besar dalam proses hukum penyelesaian kekerasan seksual, sebab sistem penegakan hukum tidak akan berjalan dengan baik.
Mengatasi celah hukum tersebut sesungguhnya sejak 2012 Komnas Perempuan telah mendorong pembentukan undang-undang untuk menangani kekerasan seksual, namun baru pada 2016 inisiasi tersebut disambut oleh DPR dan pemerintah, yang kemudian memasukkannya ke dalam Prolegnas Prioritas 2016 dengan nama RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
RUU PKS menuai banyak pro-kontra serta pembahasan yang cukup alot bahkan sempat dikeluarkan dari beberapa Prolegnas Prioritas Tahunan. Saat ini RUU PKS berganti nama menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) dan masuk ke dalam Prolegnas Prioritas 2021, namun hingga November 2021 tak kunjung disahkan.
Padahal pengesahan RUU TPKS sangat penting dan tidak ada alasan menunda lagi. Selain merupakan arahan Presiden Jokowi untuk menurunkan kekerasan terhadap perempuan dan anak, pengesahan RUU TPKS juga mendesak dilihat dari kacamata filosofis, yuridis, dan sosilogis.
Secara filosofis kekerasan seksual bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Secara yuridis, RUU TPKS mengisi kekosongan hukum dan menjadi kebutuhan hukum masyarakat sehingga menjamin kepastian hukum dalam penanganan kekerasan seksual yang kurang maksimal karena ketiadaan instrumen hukum yang memadai sebelumnya. Secara sosiologis, kondisi saat ini sudah darurat kekerasan seksual, begitu maraknya kekerasan seksual yang terjadi di ruang publik, kampus, dan sekolah, serta lingkungan kerja dan lain-lain menjadi realitas sosial untuk mendorong pengesahan RUU TPKS.
Dikaji dari Ilmu Perundang-Undangan, RUU TPKS nantinya tidak langsung dapat diimplementasikan, karena undang-undang yang bersifat umum dan abstrak kemungkinan besar memerlukan Peraturan Pelaksana, bisa di level Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, hingga Peraturan Menteri, tergantung ruang lingkup yang akan diatur nanti. Misalnya di lingkungan kerja, penanganan kekerasan seksual dapat diatur melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja.
RUU TPKS akan menjadi cantolan atau dasar hukum terhadap peraturan-peraturan di bawahnya untuk menangani kekerasan seksual. Hal ini cukup penting agar tidak menjadi perdebatan seperti dalam konteks Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi yang dianggap memiliki dasar hukum yang lemah.
Memang idealnya RUU TPKS harus disahkan terlebih dahulu baru kemudian dibentuk Permendikbudristek sebagai peraturan pelaksananya. Terlepas dari itu, keberadaan Permendikbudristek 30/2021 patut kita apresiasi dan menjadi "tamparan" karena lambannya pengesahan RUU TPKS.
Poin Penting Permendikbudristek 30/2021
Lingkungan sivitas akademik, guru, dan dosen mempunyai kedudukan yang sangat luhur, terhormat, dan menginsipirasi murid maupun mahasiswanya. Besar kemungkinan segala tingkah laku guru atau dosen, akan diikuti oleh murid dan mahasiswanya.
Sehingga ketika ada seorang guru maupun dosen melakukan kekerasan seksual di lingkungan akademik, secara tidak langsung mereka telah mengajarkan praktik kekerasan seksual terhadap murid ataupun mahasiswanya. Jangan kaget ketika ada seorang guru maupun dosen melakukan kekerasan seksual kepada muridnya maupun mahasiswanya, maka murid atau mahasiswa bisa jadi melakukan hal yang sama kepada sesama murid atau sesama mahasiswa.
Data Komnas Perempuan menyebutkan sebanyak 27% kekerasan seksual terjadi di kampus sepanjang 2015-2020. Selain itu survei Kemendikbud Ristek yang menunjukkan 77% dosen menyatakan kekerasan seksual pernah terjadi di kampus dan 63% di antaranya tidak melaporkan kasus yang diketahui tersebut kepada kampus.
Permendikbudristek 30/2021 merupakan langkah progresif untuk mengatasi kekerasan seksual di lingkungan Pendidikan Tinggi yang masih marak. Namun tak sedikit yang menyatakan penolakan karena peraturan tersebut dianggap melegalkan perbuatan hubungan seksual di luar institusi pernikahan atau zina dengan persetujuan (consent).
Penolakan terhadap sebuah kebijakan merupakan hal yang wajar dalam negara demokrasi, namun pemahaman yang menolak aturan ini agaknya keliru dan keluar dari konteks. Merujuk pada konsideran menimbang Permendikbudristek 30/2021 khususnya (a) dan (b), aturan ini tegas dilandasi spirit untuk melidungi segenap sivitas akademika di lingkungan perguruan tinggi dari ancaman tindakan kekerasan seksual. Permendikbudristek ini bisa langsung diimplementasikan oleh perguruan tinggi karena sudah secara lengkap mencantumkan ketentuan dalam bidang pencegahan, penanganan, pelindungan, serta sanksi administratif.
Mekanisme hukum yang jelas ini memberikan kepastian hukum terutama bagi korban, mengingat masih banyak korban kekerasan seksual yang diam dan tidak berani melapor karena ketidakjelasan mekanisme penyelesaian serta perlindungan bagi korban, bahkan dalam beberapa kasus malah korban yang dilaporkan balik karena dianggap mencemarkan nama baik.
Terkait dengan frasa "tanpa persetujuan korban" dalam aturan tersebut yang dianggap melegalkan zina sesungguhnya tidak dapat dimaknai seperti itu, sebab unsur tersebut merupakan syarat yang digunakan dalam konstruksi tindakan kekerasan. Tidak ada satu pun pasal dalam Permendikbudristek ini yang secara tertulis melegalkan perbuatan zina. Selain itu zina juga telah diatur tersendiri dalam KUHP.
Frasa "tanpa persetujuan korban" bukan berarti jika saling setuju dan suka sama suka bisa melakukan perilaku seksual atau mesum secara terbuka. Justru itu dilarang karena sudah ada aturan disertai sanksi mengenai larangan berbuat asusila, dan terdapat pula nilai-nilai yang hidup ditengah masyarakat, seperti agama, kesusilaan, dan moralitas yang melarang perbuatan zina dan mesum.
Hukum tidak hanya apa yang ada di atas kertas; meski seks bebas tidak diatur dalam Permendikbudristek 30/2021 bukan berarti hal tersebut dilegalkan. Apabila tetap merasa keberatan terhadap aturan tersebut, dimungkinkan secara konstitusional mengajukan Uji Materiil di Mahkamah Agung.
Ditinjau dari segi kemanfaatan sebagai salah satu tujuan hukum, Permendikbudristek 30/2021 lebih baik ada untuk menangani kekerasan seksual di lingkungan kampus sebagai wilayah rentan kekerasan seksual, daripada tidak ada aturan sama sekali. Komitmen negara juga diperlukan untuk mengatasi kekerasan seksual di sektor lain yang masih rentan di antaranya sektor kepegawaian dan ketenagakerjaan serta ruang publik lainnya melalui pembentukan instrument hukum yang berkeadilan, tegas, dan berpihak kepada korban.
Fahmi Ramadhan Firdaus, S.H, M.H peneliti Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (PUSKAPSI) Fakultas Hukum Universitas Jember