Mahkamah Agung (MA) menjatuhkan putusan terhadap permohonan uji materiil (judicial review) Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai Demokrat yang dimohonkan oleh beberapa eks kader partai melalui kuasa hukum mereka, Yusril Ihza Mahendra. Melalui amar putusan tersebut, MA menyatakan bahwa permohonan tidak dapat diterima.
Dengan demikian, asumsi publik yang berkembang mengenai turbulensi politik yang terjadi di dalam Partai Demokrat telah usai, sebab tidak ada jalan lagi bagi pihak-pihak tertentu (seperti Muldoko dkk) untuk menggeser kepemimpinan de jure dan de facto Partai Demokrat yaitu Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Pandangan demikian memang cukup populer, sebab hal ini tidak terlepas dari manuver politik eks kader yang merasa tidak puas dengan laju kepemimpinan partai demokrat saat ini, yang dinilai cenderung dikuasai oleh elite tertentu. Oleh karenanya, tidak tangggung-tanggung, dalam melancarkan manuver tersebut, para eks kader ini menggandeng pihak eksternal yang digadang akan menjadi simbol perubahan, termasuk dalam hal ini menggugat AD/ART partai yang dinilai tidak demokratis, tidak partisipatif, dan bertentangan dengan Undang-Undang Partai Politik.
Pandangan demikian memang cukup populer, sebab hal ini tidak terlepas dari manuver politik eks kader yang merasa tidak puas dengan laju kepemimpinan partai demokrat saat ini, yang dinilai cenderung dikuasai oleh elite tertentu. Oleh karenanya, tidak tangggung-tanggung, dalam melancarkan manuver tersebut, para eks kader ini menggandeng pihak eksternal yang digadang akan menjadi simbol perubahan, termasuk dalam hal ini menggugat AD/ART partai yang dinilai tidak demokratis, tidak partisipatif, dan bertentangan dengan Undang-Undang Partai Politik.
Sebaliknya, pihak AHY justru melihat kondisi tersebut sebagai ancaman, sehingga berbagai langkah seperti Kongres Luar Biasa (KLB) dan bahkan pengujian AD/ART dianggap sebagai ancaman serius terhadap eksistensi partai. Ini artinya, secara reflektif, putusan MA mengenai pengujian AD/ART tidak terlepas dari peristiwa politik tersebut.
Namun demikian, dalam pandangan saya, membatasi diskursus pengujian AD/ART partai politik hanya berdasarkan dinamika Partai Demokrat merupakan bentuk kemiskinan argumentasi berbasis literasi yang selama ini tertutup akibat keributan politik semata. Sebab kendati dinamika politik Partai demokrat telah usai, namun diskursus mengenai pengujian Ad/ART partai politik akan tetap bergulir dan menjadi bola liar yang jika tidak disediakan instrumen hukumnya akan menjadi tsunami demokrasi pada masa mendatang.
Absennya pengujian AD/ART partai politik dapat menjadi ancaman serius terhadap keberlangsungan demokratisasi partai politik.
Badan Hukum Publik
Dalam pertimbangan putusan, MA menyebutkan argumentasi tidak dapat diterimanya permohonan dengan menyebutkan tiga poin utama. Pertama AD/ART bukan sebagai norma hukum yang mengikat. Kedua, parpol bukan sebagai lembaga negara, badan, atau lembaga yang dibentuk oleh undang-undang atau pemerintah atas perintah undang-undang. Ketiga, tidak ada delegasi dari undang-undang yang memerintahkan partai politik untuk membentuk peraturan perundang-undangan.
Di satu sisi, pertimbangan tersebut cukup dapat dimengerti dalam lapangan hukum administrasi secara sempit. Mengingat kedudukan partai politik berangkat dari kolektivitas individu masyarakat dalam berserikat, layaknya badan hukum pada umumnya. Namun di lain sisi, pertimbangan hukum demikian sangat minim kajian filosofis.
Partai politik kendatipun bukan lembaga negara dibentuk oleh UUD/undang-undang namun secara fungsional menjalankan fungsi publik, sebagaimana yang tercantum dalam UUD 1945. Oleh karenanya partai politik tidak dapat dipersamakan dengan badan hukum (privat) layaknya Perseroan Terbatas (PT) maupun organisasi masyarakat pada umumnya.
Jimly Ashiddiqie misalnya menempatkan partai politik sebagai Badan Hukum Publik; hal ini didasari pada kepentingan yang menyebabkan terbentuknya partai politik dalam negara demokrasi. Untuk memberi dukungan dan afirmasi terhadap pandangan Jimly tersebut, saya mencoba menghubungkan dengan kegiatan/penyelenggaraan dana kampanye oleh partai politik yang wajib dilaporkan kepada KPU sebagai lembaga publik, pasca pelaksanaan pemilu, kendatipun keuangan kampanye tersebut dapat berasal dari keuangan partai atau tidak dibiayai oleh negara.
Pandangan senada selanjutnya dan cukup radikal juga dikemukakan oleh Indroharto ketika menafsirkan Pasal 1 angka 2 UU PTUN berkaitan dengan siapa saja yang dapat dikualifikasi sebagai Badan/Pejabat. Lebih lanjut menurutnya siapa saja yang berdasarkan peraturan perundang-undangan melaksanakan suatu bidang urusan pemerintahan, ia dapat dianggap berkedudukan sebagai Badan Tata Usaha Negara (Publik).
Bertalian dengan hal tersebut, berbagai ketentuan mengenai penyelenggaraan partai politik selain ditentukan oleh undang-undang, partai politik sebagai badan otonom yang mandiri juga diberikan wewenang untuk mengurus kepentingan manajemen, organisasi, dan finansialnya yang bersentuhan langsung dengan individu anggota maupun calon anggota. Dengan demikian partai politik juga mendapat delegasi dari undang-undang untuk menyelenggarakan kepentingan umum sehingga pada dasarnya partai politk dapat dikualifikasi sebaga badan/pihak publik (yang dapat digugat dalam lapangan hukum publik).
Hal ini disebabkan dalam menentukan subjek hukum sebuah Badan termasuk badan hukum publik atau Badan hukum privat tidak semata menggunakan pendekatan struktural, melainkan juga berdasarkan pendekatan fungsional.
Sebagai contoh perbandingan kasus, penentuan suatu badan sebagai badan hukum publik secara fungsional dapat dilihat dari Putusan MA Nomor 05/G/K/2011/PTUN-PDG, yang mengabulkan gugatan Syarifudin dkk, yang ketika itu melawan Ketua Kerapatan Adat Nagari III di PTUN. Baik dari judex factie (hakim tingkat pertama) hingga judex juris (hakim tingkat banding dan kasasi), secara afirmatif menempatkan Ketua Kerapatan Adat Nagari III seolah sebagai Badan Publik kendatipun Kerapatan Adat tidak dibentuk oleh undang-undang atau perintah atas suatu undang-undang.
Hal demikian tidak terlepas dari pemahaman mengenai fungsionalisasi suatu organ badan hukum. Oleh karena itu, penting untuk melihat suatu persoalan hukum tidak hanya berdasarkan satu kaca mata, yaitu hukum administrasi negara semata, melainkan juga harus diimbangi dengan pemahaman hukum tata negara, sebagaimana yang pernah dikemukakan Openheim, Staatsrecht zonder Administratief is vleugel lam, en Administratiefrecht zonder Staatsrecht is vluegel vrij --hukum tata negara tanpa hukum administrasi negara akan lumpuh, sebaliknya hukum administrasi negara tanpa hukum tata negara akan cenderung bebas dan liar sehingga sukar untuk dikendalikan (Ariefin P Soeria Atmadja, 2009)
Penutup
Pada dasarnya dalam pembentukan AD/ART, partai politik membutuhkan pengesahan Menteri Hukum dan HAM. Namun demikian, peran Kemenkum HAM hanya memberikan legitimasi/legalitas sebuah AD/ART dan tidak diberikan hak meninjau (review) mengingat hal tersebut dapat tergolong sebagai intervensi pejabat politik terhadap partai tertentu. Hal yang diharapkan menjadi solusi atas problematika tersebut justru telah kandas dengan Putusan MA Nomor 39 P/HUM/2021. Dengan demikian, apakah ini artinya AD/ART partai politik tidak dapat tersentuh oleh hukum, dan menjadi hak prerogatif pemegang saham dalam partai tersebut?
M Reza Baihaki alumnus Magister Hukum Kenegaraan Universitas Indonesia
(mmu/mmu)