Kemarin saya diajak teman ngrasani asisten rumah tangga harian yang biasa membantu dia. Ya begitulah, hidup memang numpang ngrasani dan dirasani. Namanya diajak menggosip pasti tidak saya tolak. Jadi ceritanya, ART teman saya ini habis kena masalah. Dia dilabrak keluarga suaminya, dimarahi keluarga sendiri, dan masih dilabrak kedua istri suaminya (dia istri ketiga). Saya tidak membahas tentang drama poligaminya, nanti malah tidak jadi kolom, tapi sinopsis sinetron "Kumenangis".
Sebab dia dilabrak karena dianggap tidak perhatian kepada suaminya dan mementingkan diri sendiri. Sebagai informasi, suaminya ini sakit dan dititipkan di panti, sementara dia bekerja dengan membawa anaknya yang masih balita. Menitipkan suami di panti dipandang sebagai perbuatan yang mencerminkan kedurhakaan seorang istri. Padahal menurut informasi yang saya dapat dari teman saya, hanya Mbak ART itu yang mau merawat suaminya. Kedua istri dan keluarga lain tidak ada yang mau merawat dan membiayainya.
Di panti itu juga lebih terawat. Ada tenaga kesehatan, ada teman, dan tempatnya juga layak. Mbak ART itu terpaksa menitipkan ke panti karena dia harus bekerja dan jenis pekerjaannya mengharuskan dia keluar rumah. Dia juga masih punya anak balita. Jadi lebih baik memang menitipkan ke panti, membayar biaya, menjenguk ketika longgar, tetap memantau perkembangan suaminya. Menurutnya dia masih berbakti karena tidak menelantarkan suaminya. Daripada di rumah tidak ada yang merawat, lebih baik dirawat oleh tenaga profesional. Tapi tindakannya itu selalu dipandang salah oleh keluarga dan orang di sekitarnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kisah tersebut mirip dengan kisah yang sempat viral belum lama ini. Kita disuguhkan drama surat pernyataan tiga anak yang menitipkan orangtuanya ke panti dan menyerahkan segala urusan sang ibu kepada pihak panti. Sudah saya duga, pasti banyak netizen yang mengata-ngatai sang anak tanpa tahu kisah yang sebenarnya terjadi. Pokoknya ketika ada kasus anak menitipkan orangtuanya di panti jompo pasti selalu dipandang tindakan durhaka. Padahal tidak selamanya begitu.
Tapi, memang kebanyakan anggapan di masyarakat kita yang dianggap bisa durhaka itu hanya anak, seakan-akan tidak ada orangtua yang durhaka. Hanya sebuah foto yang diberi narasi tendensius, orang-orang berlomba-lomba menjadi hakim. Ditambah drama lagi karena ada seseorang yang memberi bantuan kepada sang ibu lalu netizen memujanya. Jujur, saya bagian ini sebal sekali. Seakan-akan anak yang bersangkutan memang tidak peduli dan citranya semakin memburuk.
Tambah sebal lagi karena kenapa pihak panti menyebarluaskan surat pernyataan tersebut. Etiskah menyebarkan dokumen seperti itu? Ketika pada akhirnya terbongkar bahwa kondisi sang ibu yang memang "susah dikendalikan" dan membuat anak-anaknya menyerah, apa masih patut dihakimi? Apa yang menghakimi itu sudah merasakan merawat orangtua dengan kondisi yang sulit seperti itu?
Sebagai orang yang juga sedang mengalami fase merawat orangtua yang sakit, saya bisa mengerti kenapa anak sampai menitipkan orangtua di panti. Merawat orangtua itu tidak mudah. Bahkan ketika sudah bilang ikhlas pun masih kecolongan sambat kok. Merawat orangtua bagi saya keputusan yang sangat besar dalam hidup. Harus banyak kompromi dengan keinginan-keinginan yang harus dilepaskan demi berada di dekat orangtua.
Sayangnya banyak orang tidak paham bahwa kondisi keluarga seseorang itu berbeda antara satu dan yang lainnya. Mungkin ada keluarga yang harmonis; hubungan orangtua dan anak yang baik, antarsaudara kandung, ipar, dan menantu yang rukun, orangtua tidak rewel, finansial cukup. Tidak terlalu menyusahkan kondisi tersebut. Kita bisa birrul walidain dengan tenang.
Tapi, ada juga keluarga yang tidak ada kedekatan emosional bahkan malah berkonflik antaranggota keluarga. Hubungan orangtua dan anak yang tidak baik, antarsaudara kandung tidak rukun, belum masalah lainnya. Memutuskan siapa yang merawat orangtua ini juga kerap menjadi masalah. Sering keputusan apapun yang diambil menjadi serba salah. Ada yang merasa melimpahkan tanggung jawab dan dilimpahkan tanggung jawab.
Jika anak sudah menikah, pasangan si anak juga belum tentu menerima ketika harus ikut merawat mertuanya. Tidak selamanya karena menantu durhaka, tapi yang namanya momong orangtua ini tidak mudah. Apalagi orangtua yang rewel dan ada bawaan karakter yang kurang baik sejak dulu. Si anak mungkin juga sudah punya anak-anak lagi. Mengasuh anak kecil dengan orangtua yang sering rewel tentu saja tidak mudah karena bisa mengganggu perkembangan dan keharmonisan rumah tangga.
Anak kandung saja masih kewalahan menghadapi orangtua sendiri, apalagi orang lain. Meski juga banyak kasus bahwa ada menantu yang lebih perhatian dari anak-anak sendiri dalam merawat orangtua.
Saya juga termasuk orang yang sering sambat ketika sedang merawat ibu. Bukan karena saya benci ibu saya sendiri. Tapi memang ibu saya jenis yang rewel ketika sakit. Kalau saya sedang oke, menghadapinya lebih selow, tapi kalau saya sendiri sedang capek dan ibu saya banyak maunya, tak jarang juga saya membentak. Apalagi ketika ibu saya sedang nge-blank. Lebih susah untuk diberi instruksi. Makan tidak mau, obat dimuntahkan (tapi kalau sedang sadar, ibu saya termasuk yang gampang minum obat), tidak mau istighfar ketika marah-marah. Semua orang dimarahi. Bahkan saya yang sering membersihkan kotoran beliau dan memandikannya.
Saya memang bukan tipe anak ideal yang selalu memperlakukan orangtua dengan lemah lembut. Ada kalanya memang sedikit kasar. Karena kalau tidak begitu banyak urusan terbengkalai. Saya paling kesal kalau dibanding-bandingkan dengan seseorang yang saya kenal dan kebetulan juga sedang mendapat jatah merawat ibu yang sakit. Teman tersebut sering membagi ceritanya ketika sedang merawat ibunya.
Dari ceritanya memang banyak yang mengundang haru. Dia tipe yang sabar dan ibunya sendiri juga tipe yang tidak rewel. Pokoknya kalau saya dibandingkan teman tersebut, saya jadi antagonis sekali. Padahal kondisi tiap orangtua itu berbeda. Ada yang mudah, ada yang sering membuat air mata terkuras. Makanya saya paling tidak suka kalau diceramahi oleh orang-orang yang tidak pernah merasakan merawat orangtua. Mereka tidak tahu kondisi kita ketika capek dan sampai membentak. Padahal sampai membentak ini karena sudah capek-capeknya, apalagi jika kita sendiri yang merawat orangtua. Dalam kondisi normal ya apa saya tega membentak ibu saya?
Mereka hanya tahu kalau kita harus selalu bersikap lemah lembut. Saya masih ingat ketika saya sendiri pada akhirnya jatuh sakit karena kecapekan mengurus ibu. Di waktu yang sama ibu saya juga sakit. Jadi orang sakit merawat orang sakit. Ketika badan panas tapi harus tetap stand by karena ibu kejang. Bahkan ketika saya menulis kolom ini saja ibu saya habis kejang. Ini bukan mencari simpati, tapi sebagai gambaran saja pada orang-orang yang suka berkomentar seenaknya, ternyata mereka juga tidak membantu kesusahan saya.
Merawat orang tua adalah ladang pahala. Ya, namanya ladang pastinya ada kemaraunya juga kan? Tapi kalau saya sendiri justru tidak menggagas pahala dan surga. Saya merawat ibu saya karena dia adalah ibu saya. Sudah cukup.
Mengingat kasus yang saya tulis di atas, saya bisa paham betapa sulitnya ketika merawat orang sakit sementara kita sendiri harus bekerja. Saya bisa paham kenapa ada orang yang terpaksa menitipkan orangtua atau kerabatnya di panti. Saya mungkin masih beruntung karena masih bisa bekerja dengan sistem mobile. Tapi banyak orang selain saya yang tidak punya pilihan lain dengan tetap harus bekerja di luar rumah.
Saya yang tidak terikat jam kantor saja, ketika sedang capek juga tetap sambat apalagi yang masih bekerja di kantor dan semacamnya. Ketika ibu saya kumat dan butuh perhatian penuh, saya tidak memusingkan soal izin dan sebagainya. Tapi banyak orang yang tidak seperti saya. Belum lagi ketika perhatian harus terpecah kepada pasangan dan anak-anak. Saya yang masih single saja terkadang masih mengeluh kok.
Saya jadi ingat berita selebritis yang tidak sengaja nongol di lini masa Twitter saya tentang Teguh 'Vagetoz' yang memilih fokus untuk merawat ibunya daripada menikah. Iseng saya baca replies dari netizen. Ternyata ada beberapa reply yang bilang bahwa Teguh hanya alasan saja. Menikah itu adalah ibadah, jangan ditunda-tunda.
Lha, enak saja asal komentar. Apa merawat ibunya itu tidak dianggap ibadah? Dikira mencari pasangan yang bisa menerima kondisi kita yang sedang merawat orangtua yang sedang sakit segampang itu? Sudah benar Teguh seperti itu karena tidak mau fokusnya terpecah. Ketika nanti dia punya istri, dia juga bertanggung jawab menafkahi. Pastinya tanggung jawab lebih berat. Saya sendiri juga memilih fokus merawat ibu daripada mencari pasangan. Ibu saya sudah menjadi prioritas yang paling saya dahulukan. Dan jujur saya saya bersyukur karena masih single.
Netizen ini memang pokoknya asal njeplak saja ketika ada sesuatu yang berbeda dengan kelaziman. Seperti utas seseorang yang ingin mencari panti jompo terbaik untuk masa tuanya, dianggap aneh dan ada komentar yang menghujat. Padahal wajar-wajar saja ketika seseorang memutuskan yang dianggap terbaik untuk hidupnya. Daripada merepotkan anak-anak, ada yang lebih suka menghabiskan masa tua dengan teman-teman sebaya. Mereka jadi tidak merasa kesepian.
Ada yang memang childfree dan tidak menikah jadi memilih ingin menghabiskan masa tuanya di panti jompo terbaik karena sudah sadar dengan konsekuensi yang dipilih dalam hidupnya. Mereka sendiri yang menentukan kebahagiaannya, kok netizen yang repot.
Gondangrejo, 13 November 2021
Impian Nopitasari penulis
(mmu/mmu)