Beberapa hari lalu, ruang maya dibuat gempar oleh aksi unjuk kebolehan -sebut saja oknum- aparat kepolisian. Berbagai rentetan tindak kekerasan oleh oknum aparat polisi yang terjadi berdekatan, sukses menjadi trending topic di media sosial. Hal ini menambah eskalasi kekerasan yang dilakukan oleh oknum aparat yang kian mencoreng institusi Polri.
Aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh mahasiswa di depan Kantor Bupati Tangerang (13/10) menjadi momen aksi unjuk kebolehan oknum aparat. Ramai-ramai publik memberikan kecaman atas tindakan tersebut. Jika diamati seksama, gerakan membanting oleh oknum aparat itu bagi anak kelahiran 80-an dan 90-an biasa ditemukan di atas ring WWE Smackdown. Sebuah pertunjukan ekstrem, hanya saja kesemuanya gimmick dan setting-an --tak sungguhan bak gerakan banting oknum aparat.
Semua properti dan ring yang dibuat khusus untuk menghindari cidera para atletnya. Itu pun dilakukan oleh mereka yang profesional, dilatih bertahun-tahun sebelum naik ke atas ring. Di Indonesia, pemerintah mencabut izin siarnya, pasalnya banyak korban dari anak-anak mengalami patah tulang akibat di-smackdown teman sebaya. Bukan tidak mungkin, aksi smackdown oknum aparat itu akan kembali menginspirasi anak-anak, khususnya yang bercita-cita menjadi polisi.
Sebelum viral peristiwa smackdown oknum aparat di Tangerang, media sosial juga digemparkan peristiwa kekerasan yang dilakukan oknum aparat kepolisian di Bima, NTB (27/9); oknum Polantas secara brutal memukul dan menendang seorang mahasiswa pengendara sepeda motor. Penyebabnya sepele, oknum Polantas itu tak terima ditanyai kelengkapan surat izin merazia. Terbaru, hal serupa juga terjadi di Deli Serdang, Sumatra Utara (13/10); seorang oknum Polantas membokem pengendara hingga terkapar di aspal.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Walhasil, kebrutalan oknum aparat belakangan menjadi trending topic. Di Twitter, muncul tagar nyeleneh yang berujung teror dari beberapa akun. Entah penerornya itu oknum anggota atau preman digital, predikat mereka adalah sampah demokrasi. Bagaimana mungkin bisa diterima nalar waras, jika menyampaikan kritikan di negara demokrasi selalu disikapi dengan intimidasi dan represi. Secara serampangan, kritik terhadap institusi selalu dimaknai sebagai sebuah penghinaan.
Jauh dari Harapan
Beberapa preseden buruk oknum polisi belakangan kian memperburuk citra institusi kepolisian. Dalam laporan Kontras, sepanjang 2020 hingga September 2021 tercatat 814 kasus tindak kekerasan yang diduga melibatkan aparat kepolisian. Lebih lanjut, catatan itu menunjukkan sebagian besar kasus tersebut tidak mendapatkan proses hukum secara serius. Laporan ini mengindikasikan kegagalan Polri dalam mengayomi dan melindungi masyarakat.
Kendati demikian, dari aspek pelayanan, citra kepolisian menurut beberapa hasil survei mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Sayangnya, peningkatan signifikan hanya pada kualitas pelayanan administratif. Hasil Survei Cyrus Network misalnya, per 28 Mei - 1 Juni 2021 menunjukkan dari seluruh layanan Polri yang diuji, tercatat pelayanan mengurus SIM mendapatkan kepuasan tertinggi, yakni sebesar 90,3 persen, layanan membuat SKCK sebesar 82,8 persen, dan mengurus proses pengaduan masyarakat sebesar 79,4 persen.
Capaian pelayanan Polri dalam beberapa tahun terakhir memang patut diapresiasi. Namun, pada aspek mengayomi dan melindungi dengan pendekatan humanis kepada masyarakat masih jauh dari harapan. Catatan Kontras di atas hanya angka terakumulasi dari kasus yang mengapung ke permukaan. Belum lagi dengan rentetan kasus kekerasan dialami masyarakat rentan yang tidak terekspos. Tentu jumlahnya bisa lebih besar dan mengkhawatirkan.
Kehadiran institusi Polri amat penting bagi masyarakat. Peran strategis polri tidak saja melayani, namun juga melindungi dan mengayomi. Pada keadaan ini Polri adalah alat perlengkapan negara yang ditugaskan untuk menjaga keamanan dan ketertiban kehidupan masyarakat. Tupoksi Polri bagian dari pelaksanaan good governance. Maka, pendekatan humanis mutlak diperlukan bagi Polri dalam merespons pelbagai gejolak dalam masyarakat. Tanpa pendekatan humanis, mustahil peran mengayomi dan melindungi dapat dijalankan dengan baik.
Pendekatan humanis menjadi visi besar sekaligus tantangan institusi Polri. Padahal, spirit itu terpatri dalam visi Polri di bawah komando Kapolri Listyo Sigit. Gagasan humanis Kapolri menunjukkan usaha serius Kapolri untuk membangun citra positif di mata masyarakat. Sayangnya, usaha baik itu terus ternodai oleh kelakuan oknum anak buah yang gagal memaknai visi yang mengedepankan pendekatan humanis. Beberapa tindak kekerasan oleh oknum polisi belakangan mengindikasikan bahwa visi agung Kapolri masih melangit dan belum membumi.
Namun, masih banyak waktu untuk Kapolri melakukan evaluasi dan pembinaan secara menyeluruh. Dengan maksimalkan peran hierarkis institusi sampai ke tingkat Polsek, amat penting memberikan pemahaman nilai kemanusiaan kepada segenap jajaran anggota Polri dalam menjalankan tugas sebagai pelayan, pengayom,dan pelindung masyarakat. Polri humanis, Polri tegas. Slogan itu masih gagal dimaknai secara mendasar. Ketegasan justru kerap mengabaikan humanistik.
Begitu juga, penegakan sanksi dan pengawasan harus dilakukan secara konsekuen. Jangan sampai terkesan ada pembiaran terhadap kelakuan anak buah yang mengabaikan pendekatan humanis, bersikap arogan, dan berwatak represif. Karena visi Polri tidak saja usaha pembenahan internal, tetapi lebih jauh sebagai falsafah dalam membangun relasi keterikatan antara Polri dan masyarakat.
Ke depan, kita berharap tidak lagi ada watak arogansi dan sikap represif. Karena peran Polri tanpa kepercayaan masyarakat adalah fasis. Demikian pula, masyarakat tanpa Polri adalah anarki. Maka titik koordinatnya ialah keseimbangan hubungan kausalitas antar peran humanis Polri dan kepercayaan masyarakat yang meningkat kepada institusi tersebut.
Asrizal Nilardin mahasiswa Magister Hukum Universitas Islam Indonesia