Sejak pandemi melanda masyarakat dunia, kehidupan manusia dapat dikatakan berubah 180°. Apa yang terjadi? Pandemi memaksa masyarakat untuk menerapkan physical distancing, menghindari kerumunan, yang memunculkan konsekuensi berupa pembatasan sementara berbagai aktivitas masyarakat, seperti aktivitas sekolah, perkantoran, peribadatan, hiburan, pariwisata, dan lain-lain.
Masyarakat dianjurkan untuk stay at home dan sebisa mungkin melaksanakan kegiatan - yang sudah seharusnya dilakukan - dari rumah. Lalu, apa kaitannya adaptasi pola kehidupan baru masyarakat di masa pandemi dengan upaya diet karbon?
Diet karbon merupakan bagian dari upaya mitigasi perubahan iklim. Berdasarkan United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), secara sederhana mitigasi dalam konteks perubahan iklim adalah upaya untuk mengurangi emisi dan meningkatkan serapan emisi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa kunci untuk solusi terhadap masalah perubahan iklim terletak pada penurunan jumlah emisi gas rumah kaca yang dilepaskan ke atmosfer.
Pada skala nasional, Pemerintah Indonesia telah meluncurkan Indonesia Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience 2050. Berdasarkan dokumen yang diterbitkan pada tahun 2021 tersebut, Skenario Rendah Karbon dan Resilien Iklim menyasar target pengurangan emisi melalui Sektor Pertanian, Kehutanan, dan Penggunaan Lahan Lainnya, Sektor Energi, Sektor Limbah, serta Sektor Industrial Process and Product Use.
Sementara itu, bagaimana dengan pengurangan emisi karbon pada skala individu/komunitas? Carbon Footprint adalah kuncinya.
Berdasarkan Center for Sustainable Systems, University of Michigan, Carbon Footprint atau jejak karbon adalah total emisi gas rumah kaca yang disebabkan secara langsung maupun tidak langsung oleh individu, organisasi, suatu peristiwa, atau produk.
Untuk dapat melaksanakan diet karbon, diperlukan identifikasi terhadap aktivitas yang menjadi sumber penghasil karbon, untuk kemudian dapat diambil strategi untuk menekan sumber-sumber penghasil karbon tersebut.
Lebih lanjut, dijelaskan bahwa sumber-sumber emisi mencakup makanan, emisi rumah tangga, dan transportasi yang dilakukan secara personal. Sementara itu, melansir The New York Times, untuk menghitung jejak karbon, beberapa hal yang harus diketahui, mencakup:
- Kira-kira berapa mil jarak perjalanan yang Anda tempuh dengan menggunakan mobil, bis, kereta, atau pesawat;
- Penggunaan energi di rumah Anda;
- Berapa banyak yang Anda habiskan untuk berbelanja; serta
- Komposisi makanan Anda.
Selama masa pandemi, aktivitas tatap muka berbagai pertemuan dibatasi. Artinya, masyarakat terpaksa tinggal dan melaksanakan aktivitas dari rumah. Dilihat dari sudut pandang mitigasi perubahan iklim, kebijakan pembatasan kegiatan ini memberikan dua konsekuensi logis, pertama, penurunan secara signifikan tingkat mobilitas masyarakat, kedua peningkatan tingkat konsumsi listrik rumah tangga.
Tingkat mobilitas masyarakat mengalami penurunan. Google, pada periode 4 April - 16 Mei 2020, menganalisis mobilitas masyarakat selama Pandemi Covid-19 sebagaimana dilansir dalam Kompas.com, sebagai berikut: 1) mobilitas di bidang retail dan rekreasi mengalami penurunan sebesar 37%; 2) mobilitas belanja kebutuhan harian dan obat-obatan mengalami penurunan sebanyak 8%; 3) Mobilitas ke sejumlah tempat terbuka yang bersifat umum mengalami penurunan sebanyak 43%; 4) Mobilitas dalam menggunakan transportasi publik (mendatangi stasiun, terminal, bandara, dan sebagainya) mengalami penurunan mencapai 53%; terakhir 5) Mobilitas menuju tempat kerja mengalami penurunan sebanyak 22%. Sementara laporan PPKM Darurat Hari ke-12 yang disampaikan pada tanggal 14 Juli 2021, DKI Jakarta mengalami penurunan mobilitas hingga 21,3%.
Berdasarkan perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca dari Kegiatan Energi Tahun 2018, Sektor Transportasi menyumbang emisi sebesar 26,44% dari total emisi kegiatan energi, berada di urutan kedua di bawah sumber emisi dari Industri Energi (penggunaan bahan bakar pada pembangkit listrik dan panas, kilang minyak, dan proses batu bara).
Sementara itu, Institute for Essential Services Reform (IESR) memberikan ilustrasi bahwa perjalanan menggunakan mobil berbahan bakar bensin atau solar sejauh 1 km akan menghasilkan emisi sebanyak 200 gram CO2. Data tersebut menunjukkan bahwa penurunan mobilitas dapat memberikan dampak positif yang cukup signifikan terhadap penurunan emisi karbon dari sektor transportasi.
Namun demikian, sebagaimana disebutkan sebelumnya, penurunan tingkat mobilitas ini berbanding terbalik dengan peningkatan konsumsi energi rumah tangga. Dilansir dari pikiran-rakyat.com pada Juni 2020, konsumsi listrik rumah tangga pada periode awal pandemi COVID-19 naik sebesar 13-20%.
Hal ini memang terlihat berdampak buruk jika dipandang dari kacamata mitigasi perubahan iklim, mengingat konsumsi energi rumah tangga menyumbang emisi sebanyak 4,25% dari total Emisi kegiatan Energi. Akan tetapi,
jika ditinjau secara lebih detail, peningkatan konsumsi listrik rumah tangga ini diiringi dengan penurunan konsumsi listrik di sektor industri, bisnis, sosial dan pemerintah, yang masing masing turun sebanyak 40%, 20%, dan 10% pada periode yang sama.
Dengan demikian, kondisi peningkatan dan penurunan ini secara tidak langsung saling mengimbangi satu sama lain dalam hal emisi yang dihasilkan. Selain itu, upaya mengalihkan sumber bahan bakar pada pembangkit listrik ke sumber energi yang lebih sustainable dalam jangka panjang membawa harapan besar untuk mengurangi kekhawatiran akan kontribusi emisi dari pemakaian listrik.
Memang, terdapat beberapa perdebatan dari kebijakan pembatasan kegiatan ini, utamanya dilihat dari dampak yang dirasakan oleh masyarakat. Salah satunya adalah rasa jenuh yang mendera ketika masyarakat harus selalu stay at home.
Namun, rasa jenuh justru memunculkan beragam kreativitas. Berbagai hobi baru muncul untuk mengusir kejenuhan di kala masa pembatasan kegiatan masyarakat, seperti hobi bersepeda, hobi memasak, hobi berkebun, hobi beternak, dan lain sebagainya.
Dampak lainnya di antaranya penyesuaian terhadap metode bekerja. Jika semula masyarakat sudah sangat nyaman bekerja, belajar dengan cara konvensional, maka tingkat efektivitas dalam bekerja dan belajar perlu penyesuaian ketika metode yang digunakan berubah menjadi virtual.
Namun, dalam jangka panjang, penyesuaian ini akan memberikan dampak positif terhadap perwujudan konsep smart dalam kehidupan sehari-hari.
Saat ini merupakan momentum yang tepat untuk menarik kebiasaan pada pola hidup baru menjadi pola hidup yang permanen dilakukan oleh masyarakat. Di tengah sulitnya mengubah perilaku masyarakat, adanya 'paksaan' selama masa pandemi ini secara langsung maupun tidak langsung telah berhasil mengubah pola hidup masyarakat.
Sebagai contoh, pola melakukan perjalanan. Momentum yang dimaksudkan adalah dalam arti seluruh masyarakat harus membiasakan lebih selektif dalam menentukan metode pelaksanaan aktivitas, dengan mempertimbangkan efektivitas dan efisiensinya dari sisi konsumsi energi.
Misalnya, aktivitas rapat di sebuah kantor yang semula selalu dilaksanakan secara tatap muka, dimana seluruh pihak yang terlibat hadir secara langsung dan mengharuskan mereka melakukan perjalanan, maka dapat dipertimbangkan mengenai kemungkinan kegiatan rapat tersebut dilaksanakan secara virtual, sehingga tidak mengharuskan dilakukannya perjalanan.
Hal ini sangat relevan untuk diterapkan di Indonesia mengingat masifnya penggunaan kendaraan pribadi oleh masyarakat untuk melakukan aktivitas sehari-hari, terutama masyarakat di wilayah/kota yang belum memiliki sistem transportasi publik yang memadai dan terintegrasi.
Contoh lainnya, hobi bersepeda, yang ramai muncul di masa pandemi dari komunitas sepeda, dapat ditarik menjadi sebuah kebiasaan guna mengoptimalkan penggunaan sepeda untuk melakukan perjalanan apapun yang masih memungkinkan.
Bike to Work dapat digaungkan kembali bahkan lebih kencang. Jika diimplementasikan oleh banyak kalangan, hal ini akan berkontribusi nyata terhadap pengurangan emisi karbon dari penggunaan kendaraan bermotor, mengingat perjalanan menuju tempat kerja merupakan aktivitas yang rutin yang dilakukan hampir setiap hari.
Atau, sesederhana memilih untuk menggunakan sepeda untuk belanja ke toko yang berada di dekat rumah dibandingkan dengan menggunakan sepeda motor. Contoh ini merupakan aksi kecil dan sederhana yang berdampak nyata.
Hobi lainnya yang ramai muncul di tengah kebosanan menjalani pembatasan kegiatan adalah berkebun dan beternak. Memanfaatkan hobi ini untuk menghasilkan bahan pangan yang dapat dikonsumsi, baik berupa sayuran maupun hewan ternak, merupakan salah satu aksi nyata mengurangi jejak karbon pada skala individu dan skala rumah tangga.
Berawal dari individu, beberapa individu membentuk komunitas, beberapa komunitas membentuk masyarakat perkotaan. Adaptasi terhadap pandemi memunculkan kontribusi positif berupa kebiasaan dan pola baru kehidupan yang lebih rendah emisi karbon. Bermula dari skala individu, jika di-upsize ke lingkup yang lebih besar, serta dilengkapi dengan intervensi Top-Down dari Pemerintah berupa program-program mitigasi secara keseluruhan beserta program adaptasi terhadap perubahan iklim, keseluruhan ini secara agregat dapat membentuk masyarakat perkotaan yang berketahanan iklim.
Retno Kumala Wardani, Juara Favorit Karya Tulis PUPR Kategori PUPR
(ads/ads)