Jika ada yang bertanya kepada saya hari apa yang paling tidak saya sukai, saya akan selalu menjawab dengan konsisten: Selasa. Setiap hari Selasa tiba, ketegangan selalu menyelimuti hati dan pikiran saya. Ini hari deadline yang menyebalkan, sebab saya harus menulis kolom rutin mingguan.
Menulis memang menyenangkan dan membahagiakan, dan saya telah memutuskan memilih menulis sebagai jalan setapak kehidupan saya. Tetapi, tak bedanya dengan Muhammad Ali yang jujur mengakui bahwa ia membenci setiap detik dari latihannya, saya pun demikian. Saya membenci setiap ketegangan dan proses mengolah tulisan-tulisan saya.
Tentu saja saya tidak ada seujung upilnya Muhammad Ali. Tapi ini adalah tentang betapa menulis merupakan rangkaian proses, dan dalam rangkaian proses selalu ada situasi sakit-sakit-enak. Dimulai dengan sakitnya mencari ide, sakitnya berjuang menata kalimat-kalimat agar cakep dan membawa efek tuturan yang sesuai dengan apa yang kita rencanakan, dan berujung dengan rasa enak ketika akhirnya tulisan selesai.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sudah? Belum. Masih ada proses sakit-enak lain yang menanti, yaitu setelah tulisan ditayangkan dan dibaca orang. Enak akan datang ketika orang-orang membaca tulisan kita lalu paham maksud kita, lebih-lebih lagi ketika mereka menyepakati atau menyukainya. Sebaliknya, sakit akan terasa ketika ternyata banyak pembaca tidak mengerti yang kita maksud dalam tulisan kita, salah paham, akibat kita sendiri yang gagal meracik kata-kata.
Selama pergulatan sakit-enak itulah, bukan cuma sekali dua kali saya ingin menyerah. Menyerah karena merasa tulisan saya semakin lama semakin hancur kualitasnya, menyerah karena para pembaca yang semakin bosan dengan model tulisan saya yang itu-itu saja, menyerah karena gagasan saya yang tak beranjak ke mana-mana.
Namun, dalam saat-saat genting ketika kadang saya dihantam rasa nyaris putus asa, Tuhan menghadirkan tiga guru yang kerap berbincang dengan saya, dan cerita-cerita mereka membangkitkan lagi setrum yang mengecas baterai menulis saya.
Guru pertama adalah Mas Salim, sebut saja namanya begitu. Dia sosok intelektual senior yang sangat disegani para aktivis lawas di Jogja. Ketika masa mahasiswa dulu kala, saya hanya bisa memandanginya dari kejauhan dalam forum-forum besar, saat Mas Salim menyedot perhatian ratusan orang dengan rentetan tembakan kata-katanya.
Belakangan, ketika saya mulai menua dan menemukan kesempatan untuk banyak nongkrong bersama Mas Salim, meluncur satu kisah yang sangat sederhana tapi terus membekas dalam ingatan saya.
Ceritanya, Mas Salim itu dulu juga sering sekali menulis di media. Lingkup topik yang ia tulis luas sekali. Mulai kebudayaan, pendidikan, sastra, hingga keagamaan. Lalu suatu hari, ketika beliau hadir di sebuah hajatan manten seorang kolega, tiba-tiba seorang lelaki menghampirinya.
"Mas Salim?" sapa orang itu.
"Iya. Siapa ya?" sahut Mas Salim.
"Anu, Mas. Mas nggak kenal saya. Tapi saya ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya. Duluuu sekali, bertahun-tahun lampau, saya membaca satu tulisan njenengan. Di situ ada satu kalimat bla bla bla, dan saya sangat terkesan dengan kalimat itu. Sejak saat itu, hidup saya berubah, Mas. Saya benar-benar memegang kalimat itu sampai sekarang." Begitu ungkap lelaki itu dengan serius.
Saya menulis bla bla bla karena saya tidak ingat kalimat apa yang ditulis Mas Salim dan mengubah hidup si lelaki muda itu. Saya lupa karena saking tidak menariknya kalimat itu, saking saya merasakannya sebagai kalimat yang sangat biasa dan tidak ada istimewa-istimewanya.
Tetapi, justru di situlah poinnya. Mas Salim sendiri pun tidak merasa bahwa kalimatnya itu inspiratif dan potensial mengubah diri seorang manusia. Tidak sama sekali.
"Begitulah, Bal," akhirnya Mas Salim menyimpulkan, "Tidak usah ragu-ragu menulis. Sebab kita tidak pernah tahu seberapa tulisan kita akan berpengaruh bagi pembacanya. Setiap tulisan akan menemukan pembacanya sendiri."
Saya termenung. Lalu sejak itu, meski sakit dan enak tetap menjadi paket yang tak dapat dilepaskan dari proses menulis, saya jadi merasa lebih sumeleh. Ikhlas.
Guru kedua adalah Mas Edi. Dia penulis kawakan, pernah menjadi cerpenis sangat produktif, juga esais dan penulis buku yang seribu kali lipat lebih produktif ketimbang saya. Suatu kali, saya bertanya kepada Mas Edi, apa resepnya kok bisa sangat produktif.
"Lah, tulis ya tulis saja, Bal. Nggak usah terbebani dengan target bagus-bagusan tulisan. Nikmati saja prosesnya." Kira-kira begitu kata Mas Edi.
Lalu dia melanjutkan bahwa kadang dia membaca tulisan-tulisan lamanya, dan merasa malu sendiri. "Kok bisa ya aku dulu nulis begini, ngawur banget," katanya. Tapi dia tidak akan menyembunyikan tulisan yang dia rasa jelek itu. Itulah bagian dari sejarahnya, juga bagian dari perjalanan pikiran-pikiran dia.
Sedikit banyak, tuturan Mas Edi itu menjadi penyembuh galau saya. Sering sekali saya merasa tulisan saya keren, tapi belakangan ketahuan bolong argumen di sana-sini, usang idenya, dan akhirnya membikin bosan banyak pembaca. Di kasus lain, saya sudah lemas karena merasa tulisan saya busuk sekali, tapi tak disangka malah banyak yang senang lalu membaginya ke sana dan ke sini.
Saya lalu berusaha menyimpulkan bahwa kualitas tulisan separuhnya bisa dinilai secara objektif, dengan ukuran-ukuran tertentu. Namun sisanya tetap misteri. Dan dalam ruang misteri itu, saya malah jadi bisa lebih sumeleh lagi.
Guru ketiga, sebut saja namanya Puthut. Dia sahabat lama saya, pernah sangat terkenal sebagai cerpenis pilih tanding sejak masa kuliahnya. Sampai sekarang dia masih aktif menulis, terutama esai. Saking tingginya jam terbang dan keterampilan teknis dia, bahkan delapan buku terakhirnya dia tulis dengan HP saja.
Pernah suatu malam, saya bercerita bahwa sebuah penerbit meminta tulisan-tulisan saya untuk dibukukan. Tapi saya bilang prosesnya masih lama, sebab saya masih sibuk menyeleksi sendiri tulisan-tulisan itu. "Nggak semuanya layak e, Bro," kata saya.
Mendengar itu, Puthut langsung menyambar, "Halah, rasah dipikiirrr! Nggak usah dipikir!"
Intinya, saya sendiri yang terlalu ribet, kata dia. Hampir sama dengan Mas Salim dan Mas Edi, Puthut pun mengatakan bahwa kecemasan-kecemasan kita sebagai penulis itu tidak penting.
Kami lalu berbincang tentang rutinitas menulis kolom mingguan. Saat itu saya baru satu setengah tahun punya kolom tetap. Puthut bercerita bahwa dia pun pernah menulis kolom tetap selama delapan bulan di sebuah majalah budaya. Dari pengalamannya itu, Puthut menyimpulkan: "Menulis kolom mingguan itu tidak usah bagus tulisannya, tulisan jadi saja sudah bagus!"
"Tulisan jadi saja sudah bagus," katanya. Kalimat itu serasa melengkapi kalimat indah sebelumnya: "Halah, rasah dipikiirrr!"
Dengan dua bekal kalimat dari Puthut itu, di atas fondasi dua nasihat dari Mas Salim dan Mas Edi, kaki-kaki saya sudah tak sering lemas lagi. Saya jadi lebih tahan dalam melangkah.
Tak terkecuali ketika menyelesaikan tulisan ini. Saya tahu tulisan ini akhirnya hanya jatuh jadi sekadar cerita remeh-temeh motivasi. Tapi tak mengapa. Sesekali rasanya perlu menulis yang begini-begini. Minimal agar saya tidak terlalu ngoyo dalam menuntut diri sendiri.
Tapi... aduh, kok saya tiba-tiba jadi cemas, ya. Nanti kalau pembaca pada kecewa bagaimana....
Iqbal Aji Daryono penulis, tinggal di Bantul
(mmu/mmu)