Judul: Finding Meaning: Mencari Makna di Balik Dukacita; Penulis: David Kessler; Alih Bahasa: Lina Jusuf; Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2021; Tebal: 257 Halaman
Satu tahun belakangan ini wabah virus corona (Covid-19) telah membuat masyarakat dunia berduka. Di Indonesia saja, jutaan warga telah tertular dan ratusan ribu meninggal dunia karenanya. Saat angka penularan meningkat drastis, sirene ambulans hampir tiap waktu berdengung, pengumuman kematian saling bersahut-sahutan, dan posting-an duka di media sosial tiap hari berseliweran. Maut jadi terasa begitu dekat dengan kita semua.
Wabah ini tidak hanya merenggut nyawa orang-orang yang kita cintai, tapi juga menaburkan pilu bagi mereka yang ditinggalkan. Hal ini membuat tahun-tahun ini penuh dengan perjuangan. Tidak hanya perjuangan untuk sembuh dan terhindar dari corona, tapi juga perjuangan untuk sembuh dari perasaan duka.
Hadirnya buku David Kessler—Finding Meaning: Mencari Makna di Balik Dukacita—saya pikir dapat menjadi pegangan sekaligus penguat di situasi seperti ini. Ditulis oleh seorang ahli dukacita dan kematian terkemuka dunia, buku ini dapat menjadi panduan sekaligus pelukan hangat bagi siapa saja yang saat ini tengah berduka.
Gagasan utama Kessler dalam buku ini, menemukan kebermaknaan merupakan tahapan yang penting untuk menyembuhkan perasaan sedih karena kehilangan. Menemukan kebermaknaan akan membantu seseorang "memahami kedukaan" dan "menemukan jalan untuk terus melangkah maju".
Kessler menjelaskan bahwa menemukan kebermaknaan bisa bermacam-macam bentuknya. Mulai dari hal kecil seperti menemukan cara untuk mengenang orang yang dicintai, lalu mensyukuri momen tersebut. Bisa juga dengan membangun pemahaman baru tentang hidup. Atau, melakukan tindakan besar yang berasas pada peristiwa kehilangan.
Potensi Pikiran
Apabila menemukan makna dapat membantu seseorang menjadi lebih baik setelah kehilangan, pertanyaannya, apakah semua orang mampu melakukannya? Kessler dengan tegas menjawab, "Semua orang bisa menemukan makna." (hlm. 16).
Kebermaknaan tidak hanya hadir pada orang-orang yang ditinggal mati secara "wajar", tapi juga mampu diraih oleh mereka yang ditinggal karena kondisi kematian yang memilukan, seperti bunuh diri dan kecanduan obat terlarang. "Semua kehidupan memiliki makna, tak peduli seperti apa pun berakhirnya." (hlm. 124).
Setiap dari kita mampu menemukan kebermaknaan karena adanya potensi pikiran yang kita miliki. Pikiran kita yang fleksibel dan responsif ini mampu menciptakan kisah dan makna dari suatu peristiwa, termasuk peristiwa kehilangan. Sebagaimana yang dikatakan Kessler, "...kita bisa mengendalikan pikiran kita. Pikiran kita membentuk makna." (hlm. 64).
Kemampuan pikiran dalam merajut kisah dinilai ampuh sebagai obat penyembuh. Bahkan, "Kebermaknaan bisa mulai dan berakhir dengan kisah yang kita ungkapkan." (hlm. 43). Oleh karena itu, menciptakan kisah bermakna dari suatu kehilangan, lalu menyampaikannya lewat lisan atau tulisan, baik itu untuk diri sendiri maupun orang lain, sangat disarankan. Upaya ini akan membantu kita memahami dengan lebih baik, mengubah sudut pandang, hingga menemukan sisi positif atas peristiwa duka yang menimpa kita.
Menyikapi Dukacita
Dalam buku ini, Kessler tidak hanya menjelaskan perihal pencarian makna, tapi juga mengupas berbagai hal yang terjadi dalam peristiwa duka itu sendiri. Hal mendasar yang cukup penting untuk digarisbawahi ialah perbedaan antara "kepedihan" dan "penderitaan" dalam suasana duka.
Ketika orang yang kita cinta meninggal dunia, perasaan alamiah yang akan muncul dalam diri kita ialah "kepedihan". Kessler menyarankan kita untuk tidak menyangkal hal ini. Malah sebaliknya, perasaan sedih ini harus dirasakan dan diresapi. Bahkan, kepedihan ini juga perlu disaksikan oleh orang lain. Kessler mengatakan, "Membiarkan kepedihan kita dilihat orang dan melihat kepedihan orang lain merupakan obat mujarab bagi jiwa dan raga" (hlm. 26).
Saat kita melihat orang lain merasakan dan memancarkan perasaan duka yang sama, saat itulah kita mulai menyadari bahwa kedukaan kita bermakna. Meski demikian, saat orang yang kita cintai pergi meninggalkan kita, Kessler berharap kita tidak hanya berkutat dengan perasaan pedihnya saja. Melainkan kita juga harus mampu merasakan cinta kita dan cinta orang yang pergi meninggalkan kita.
"Kita mungkin merasa bahwa cinta itu tak bisa diapa-apakan karena kita tak bisa memeluk lagi orang yang kita sayangi, namun cinta itu tetap ada. Jika membiarkan diri merasakannya, kita akan menemukan kebermaknaan yang besar." (hlm. 199).
Sementara itu, sisi gelap dukacita yang mestinya dihindari ialah penderitaan. Ia merupakan kebisingan dan prasangka yang muncul karena ketidakmampuan pikiran dalam menerima kehilangan. Penderitaan kerap membuat kita menyalahkan diri sendiri maupun orang lain. Bila tidak segera dihentikan, kita akan selalu dihantui oleh rasa bersalah. Hal ini dapat membuat kita sulit untuk kembali pulih.
Sebab, "Untuk mulai bisa menyembuhkan, kita harus mengembalikan kuasa kepada Tuhan, ...atau apa saja yang kita yakini." (hlm. 106). Bukan malah menganggap nyawa orang yang kita cintai ada di bawah kendali kita.
Buku ini begitu relevan untuk dibaca di situasi seperti ini. Lewat buku ini, Kessler tidak hanya mampu memberikan pengetahuan penting mengenai kematian dan dukacita, tapi juga mampu menjelma menjadi seorang sahabat yang akan merangkul dan mentransfer energi positif kepada siapa saja yang tengah berduka. Pembaca akan merasakan hal tersebut melalui berbagai kisah nyata yang ia ceritakan dan kalimat penguat yang tuliskan.
Saya pikir, semua orang perlu membaca buku ini karena sebagaimana kematian, kedukaan juga merupakan hal yang dekat dengan diri kita. Dengan demikian, kita perlu belajar tentangnya agar kita bisa menghadapinya dengan bijaksana. Selain itu, ilmu ini juga penting agar kita tahu bagaimana besikap terhadap orang yang tengah berduka. Buku ini akan mengajarkan hal tersebut. Selamat membaca.
Ahmad Yazid pengajar di IAIN Pontianak
(mmu/mmu)