Pancasila dan Jalan Tengah
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Pancasila dan Jalan Tengah

Jumat, 01 Okt 2021 10:28 WIB
Lilis Erfianti
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Ilustrasi hari lahir Pancasila
Ilustrasi: Fuad Hasim/detikcom
Jakarta -
Dalam khazanah teori ekonomi dan kebijakan publik, ada satu dilema klasik, yaitu antara otonomi individu beserta haknya dan kesejahteraan masyarakat. Di satu sisi, kesetaraan hak akan menimbulkan kesenjangan dalam kesejahteraan. Bayangkan, jika setiap individu bebas berupaya sesuai potensinya, jelas akan ada pihak yang terpental dari medan persaingan.

Apalagi kita paham betul posisi awal individu tidak pernah melulu setara. Ada yang sejak lahir sudah hidup berkecukupan dan punya modal besar sehingga mampu memulai usaha yang langsung sukses. Sementara, ada yang lahir dalam kondisi kekurangan, sehingga jangankan memulai usaha, untuk menghidupi dirinya sendiri saja sulit. Pendek kata, kesetaraan hak pasti akan melahirkan kesenjangan lebar antara kaum berpunya (the haves) dan kaum papa (the have-nots).

Di sisi lain, kesetaraan kesejahteraan dalam bentuk pemberian hak-hak khusus bagi orang paling lemah dalam struktur masyarakat justru akan menciptakan ketidaksetaraan dalam hak individu. Sebab, individu yang sudah meraih kesuksesan dengan ikhtiar mereka sendiri lantas mendapati diri "dituntut" menyerahkan sebagian hak mereka demi memberikan kepuasan bagi mereka yang paling tidak sejahtera.

Ciptakan Kesetaraan

Pendulum masalah di atas bahkan memiliki pembela-pembela yang tangguh. Pertama, kaum yang memberikan penekanan pada kesamaan hak didukung oleh Robert Nozick. Sebagai perintis mazhab neoliberal, Nozick menyatakan dalam Anarchy, State, and Utopia (1977) bahwa memaksa individu agar membantu orang lain demi satu konsepsi tentang keadilan sosial berarti menurunkan derajat otonomi individu. Sekaligus, itu mematikan fitrah individu sebagai makhluk otonom yang seyogianya memiliki kebebasan mengaktualisasikan potensinya dan menikmati hasil dari jerih payahnya tersebut.

Maka itu, Nozick menekankan bahwa setiap individu adalah "pengusaha" dan, karenanya wajib mengurus dirinya sendiri apabila terjadi kemalangan pada diri mereka. Jadi, negara berperan sebatas sebagai "negara minimal" yang tak lagi mengurusi kesejahteraan rakyat luas lewat konsep welfare care karena yang harus dianut adalah self-care. Lahirlah kemudian paham neoliberal.

Kedua, kaum yang memberikan aksentuasi pada aspek kesetaraan kesejahteraan dibela oleh John Rawls. Dalam Theory of Justice (1994), Rawls mengatakan prinsip keadilan paling utama adalah "memaksimalkan kepuasan kelompok orang yang paling tidak sejahtera." Artinya, Rawls menutup mata terhadap hak-hak individu selama "pelanggaran" terhadap hak-hak individu itu mampu menguntungkan orang yang paling tidak sejahtera. Padahal, bisa saja orang yang paling tidak sejahtera itu bernasib demikian karena mentalitas mereka sendiri. Alhasil, pemikiran Rawls ini menyebabkan ketidakadilan jenis lain, yaitu ketidakadilan terhadap hak-hak individu.

Lantas, apakah tidak ada jalan tengah? Untunglah, kita mengenal Amartya Sen. Sen mengangkat dilema ini dan mengingatkan satu hal yang dilupakan Nozick dan Rawls. Itulah masalah kapabilitas yang merupakan modal bagi individu untuk memiliki dan mempraktikkan kebebasan fitrahnya.

Dalam Inequality Reexamined (1992), Sen mengurai, intervensi negara mestinya ditujukan pada segi peningkatan kapabilitas individu demi meraih kemakmuran. Contoh, melek huruf adalah kapabilitas yang memungkinkan orang membaca dan berpengetahuan. Dengan kapabilitas itu, orang memiliki kebebasan untuk belajar, menuntut ilmu, dan meraih kesuksesan. Akan tetapi, orang di daerah terpencil tentu memiliki akses lebih terbatas pada pendidikan dibandingkan orang di perkotaan. Maka itu, pemerintah harus mengalokasikan anggaran lebih banyak untuk pendidikan di daerah terpencil.

Memang ada ketidakadilan "anggaran" atau "hak", tapi itu dilakukan demi menciptakan kondisi "kesetaraan kapabilitas" yang memungkinkan semua orang berhak mengaktualisasikan hak paling dasarnya, yaitu: kebebasan memilih. Singkatnya, "ketidakadilan" itu bertujuan menciptakan kesetaraan hak yang lebih dasariah, yaitu kebebasan memilih. Berbekal itu, Sen kemudian dikenal sebagai ekonom jalan tengah yang memperkenalkan elemen moral dalam khazanah teori ekonomi.

Jalan Tengah

Sesuai dengan jalan tengah Sen, Indonesia ternyata merambah jalan pikiran serupa lewat konsep Ekonomi Pancasila. Digagas persis 30 tahun silam (1981) oleh Mubyarto, konsep Ekonomi Pancasila dalam Indonesia kiwari (saat ini) mungkin dianggap usang karena embel-embel "Pancasila"-nya. Padahal, jika kita telaah lagi, konsep ini ternyata masih relevan.

Menurut Mubyarto dalam Ekonomi Pancasila (1981), sistem ekonomi Pancasila adalah sistem yang dijiwai Pancasila dan merupakan usaha bersama berasaskan kekeluargaan dan kegotong-royongan nasional. Setidaknya, ada lima prinsip dasar ekonomi Pancasila, yaitu: (1) peran dominan koperasi dalam kehidupan ekonomi; (2) harus ada rangsangan-rangsangan ekonomis maupun moral untuk menggerakkan roda perekonomian; (3) adanya komitmen sosial kuat terhadap pemerataan sosial; (4) menciptakan perekonomian nasional yang tangguh; (5) melaksanakan desentralisasi kegiatan ekonomi.

Betapa selarasnya dengan jalan tengah Sen. Sebab, ekonomi Pancasila memberikan ruang bagi otonomi individu dalam bentuk ikhtiar swasta dan desentralisasi kegiatan ekonomi tapi sekaligus menyarankan pentingnya rangsangan-rangsangan moral dalam menjalankan roda perekonomian. Artinya, seperti Sen, ekonomi Pancasila kental dengan muatan moral yang kerap absen dalam diskursus ekonomi yang rasional-teknokratis. Selain itu, komitmennya atas pemerataan mengakui pentingnya kebijakan ekonomi untuk menciptakan kesetaraan kapabilitas antarsesama demi meraih kebahagiaan versi masing-masing sesuai dengan kebebasan mereka memilih.

Dengan kata lain, ekonomi Pancasila mampu meretas jalan tengah antara pentingnya otonomi individu dan niscaya kesejahteraan. Sekaligus, konsep ini mendemitologiskan Pancasila dari mitos sebagai panacea (obat mujarab). Sebab, menderivasikan Pancasila ke dalam ranah ilmu pengetahuan berarti membuka Pancasila terhadap kritik ilmiah sebagaimana fitrah ilmu.

Pendeknya, Pancasila tidak lagi menjadi "agama sakral", melainkan sebagai ideologi yang terbuka terhadap perbaikan agar selalu relevan mengatasi tantangan zaman. Pertanyaannya, pada momentum Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober ini sudahkah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) mempersiapkan hal tersebut?

Lilis Erfianti guru di MTS Negeri Kabupaten Semarang, Jawa Tengah

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads