Mayoritas perekonomian masyarakat Indonesia di dataran tinggi bertumpu pada sektor pertanian. Aktivitas pertanian akan turut menggeliat seiring dengan meningkatnya permintaan pangan. Namun demikian, aktivitas pertanian di dataran tinggi yang semakin intensif justru kerap menimbulkan polemik. Penyebabnya pengelolaan yang masih belum tepat.
Dataran tinggi di Indonesia yang berpotensi untuk usaha pertanian relatif luas yaitu berkisar 6,8 juta hektar(ha). Meski tak sebanding dengan luasan dataran rendah yang mencapai 87,2 juta ha, pertanian di dataran tinggi sangat strategis dalam mendukung swasembada pangan. Sekaligus juga menjamin ketersediaan lapangan kerja bagi masyarakat.
Sejak Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Lingkungan dan Pembangunan tahun 1992, komunitas internasional sepakat untuk meningkatkan kolaborasi antarnegara dalam pembangunan pertanian di kawasan dataran tinggi. Hal ini dikarenakan pertanian di dataran tinggi di banyak negara belum mendapat perhatian serius dari pemerintah. Padahal tingkat kemiskinan pedesaannya tergolong tinggi, produktivitas pertanian rendah, migrasi penduduk cepat karena minim lapangan pekerjaan, hingga potensi degradasi sumber daya alam yang tinggi akibat pengelolaan yang tidak tepat.
Aktivitas pertanian di lahan dataran tinggi dihadapkan pada faktor pembatas biofisik seperti lereng yang curam, kepekaan tanah terhadap longsor dan erosi, dan curah hujan yang relatif tinggi. Kesalahan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya lahan di daerah ini dapat menimbulkan kerusakan yang dampaknya bersifat multiplier effects.
Sebagai contoh Dataran Tinggi Dieng yang tersohor sebagai salah satu penghasil kentang terbaik di dunia. Di balik ketenarannya, erosi kerap terjadi di daerah tersebut akibat dari lapisan tanah atas yang semakin tergerus. Aktivitas pemupukan kimia secara intensif telah memicu terjadinya penggaraman bahkan penggurunan lahan. Pemberantasan hama dengan pestisida kimia telah menimbulkan pencemaran terhadap air sampai ke daerah hilir.
Petani kerap dituding menjadi aktor yang paling bersalah atas kerusakan sumber daya alam di dataran tinggi. Padahal jika ditilik lebih lanjut, tingkat penerimaan petani relatif lebih rendah dibandingkan dengan aktor lainnya sepanjang rantai pasokan seperti pengepul, pedagang besar, hingga industri pemrosesan. Artinya meski memang petani bertindak sebagai produsen, tetapi tanggung jawab pengelolaannya melibatkan multipihak.
Pada tahun 2019, Kementerian Pertanian telah meneken program pengembangan pertanian terintegrasi di dataran tinggi bernama The Development of Integrated Farming System in Upland Areas (UPLAND). Program tersebut bertujuan untuk mengakselerasi kemajuan pertanian di dataran tinggi di Indonesia yang bersifat komprehensif dan berkelanjutan dari hulu ke hilir.
Inisiasi ini sangat patut diapresiasi. Ada setidaknya 14 kabupaten tersebar di seluruh Indonesia yang dipilih sebagai pilot project. Untuk mendukung terselenggaranya program, pemerintah mengucurkan dana yang diperoleh lewat skema pinjaman dari lembaga donor luar negeri kepada setiap kabupaten terpilih.
Masing-masing kabupaten menerima hibah dana dengan nominal berbeda sesuai rencana pengembangan. Nominalnya tak tanggung-tanggung. Misalnya Kabupaten Banjarnegara yang menerima dana sebesar Rp 55,9 miliar untuk pengembangan komoditas domba dan sapi seluas 500 ha. Sedangkan Kabupaten Minahasa Selatan menerima dana berkisar Rp 128 miliar untuk pengembangan kentang seluas 1.040 ha.
Penuh Tantangan
Meski kabar perkembangan program UPLAND samar terdengar, kehadiran program ini memang membawa angin segar atas dilematika pertanian di dataran tinggi di Indonesia. Pengembangan pertanian berbasis agroekologi di dataran tinggi perlu dilakukan untuk mencapai usaha tani yang produktif dan berkelanjutan. Ambisi besar dari program UPLAND selama berjalan dalam kurun lima tahun ke depan yaitu mampu mendukung pertumbuhan ekonomi dari sektor pertanian minimal 5% per tahun.
Dengan cita-cita mulia serta gelontoran dana yang fantastis, perlu perencanaan dan implementasi strategis agar program UPLAND berjalan dan berdampak optimal. Pertama, proyeksi pengelolaan pertanian dilakukan dengan mengadopsi pertanian organik. Kesuksesan petani kecil di Dataran Tinggi Karo, Sumatera Utara yang beralih dari melakukan pertanian konvensional ke pertanian organik perlu dijadikan inspirasi.
Pertanian organik telah mampu meningkatkan penerimaan petani di Dataran Tinggi Karo hingga 180 persen dalam waktu tiga tahun. Praktik pertanian organik juga terbukti mengurangi tingkat degradasi lahan.
Praktik pertanian konvensional di dataran tinggi masih relatif tinggi. Akan sangat disayangkan jika program UPLAND tidak mampu untuk mendorong petani mengadopsi pertanian organik atau paling tidak semi organik. Program UPLAND harus menjadi solusi pertanian yang berkelanjutan baik secara ekonomi, sosial, dan sumber daya alam (lingkungan).
Kedua, penguatan sistem kelembagaan. Kelembagaan petani yang mapan diharapkan mampu meningkatkan nilai tawar petani, memperluas kemitraan dengan multipihak, mendukung penggunaan teknologi serta meningkatkan akses petani terhadap pasar dan permodalan. Khususnya jika produk pertanian dari program UPLAND diproyeksikan untuk masuk ke pasar ekspor, maka perlu pemetaan rantai pasokan yang jelas. Petani sebagai produsen harus mampu memiliki nilai tawar yang tinggi.
Ketiga, penyediaan sarana dan prasarana pertanian yang memadai sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Komoditas pertanian yang dipilih untuk program UPLAND mayoritas merupakan komoditas hortikultura meliputi bawang merah, bawang putih, manggis, pisang, kentang, dan kopi. Komoditas hortikultura memiliki karakteristik rentan terhadap kerusakan (perishable). Sehingga sarana dan prasarana pada proses pemanenan dan pasca panen sangat penting untuk disediakan.
Aktivitas pemanenan dan pascapanen yang tidak didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai akan meningkatkan potensi kerusakan produk. Hal ini dapat menurunkan tingkat penerimaan petani.
Program UPLAND akan penuh tantangan dalam mengharmonisasikan ketiga aspek tersebut. Diperlukan tekad dan komitmen yang kuat dari setiap pihak agar program berjalan maksimal. Keberhasilan program UPLAND akan mampu mengakselerasi resiliensi pertanian dan swasembada pangan bangsa. Serta dapat menjadi momentum peningkatan taraf kesejahteraan petani pada situasi global yang terdistorsi oleh pandemi.
Dian Yuanita W Mahasiswa Magister Manajemen Agribisnis UGM, peneliti agribisnis, Awardee LPDP, dan Anggota Asosiasi Logistik Indonesia
(mmu/mmu)