Di luar bulan Agustus, masih ada dua waktu lain yang kerap dijadikan momentum oleh jaringan terorisme untuk melakukan serangan yang dalam bahasa mereka dikenal dengan istilah amaliyah (Bahasa Arab yang bermakna operasi). Yaitu Tahun Baru Masehi dan Bulan Puasa atau Ramadhan.
Sebagai kejahatan yang memiliki motif ideologi keagamaan, pemilihan tiga waktu di atas dilakukan oleh para teroris dengan menggunakan pembenaran secara hukum agama (tabrir syar'iy). Waktu pertama dan kedua dipilih (Agustus dan Tahun Baru) karena kedua waktu tersebut merupakan "hari raya" bagi mereka yang ditetapkan sebagai musuh oleh para teroris.
Sebagaimana dimaklumi, pada bulan Agustus terdapat momen peringatan Hari Kemerdekaan setiap tanggal 17. Sementara para teroris tidak mau menerima NKRI dengan alasan yang sedikit-banyak berbeda-beda antara satu kelompok teror dengan kelompok yang lain. Adapun Tahun Baru Masehi dianggap sebagai hari raya umat Kristiani.
Lalu bagaimana dengan bulan Ramadhan yang disucikan oleh umat Islam, termasuk oleh para teroris yang secara kebetulan di Indonesia banyak yang beragama Islam? Jawabannya adalah karena para teroris meyakini aksinya sebagai amal kebajikan puncak atau jihad yang memiliki pahala sangat besar. Keutamaan dan pahala amal kebajikan ini diyakini akan semakin sempurna bila dilakukan di bulan suci seperti bulan Ramadhan.
Inilah yang membuat sebagian teroris di Indonesia berlomba-lomba untuk melakukan aksi kekerasan yang dianggap sebagai jihad, khususnya pada bulan Agustus, Tahun Baru, dan lebih khusus lagi pada Bulan Ramadhan. Terlebih lagi Ramadhan juga disebut dengan nama Bulan Jihad (syahrul jihad).
Tentu saja Islam tidak ada kaitan dengan klaim yang kerap disampaikan oleh para teroris, walaupun sebagian teroris kerap mengaitkan aksinya dengan ajaran Islam (sebagaimana telah disampaikan di atas). Benar bahwa ada konsep jihad dalam Islam. Begitu juga dengan konsep mati syahid (al-isytisyhad), perang (al-qital), pengkafiran (at-takfir), thaghut, masjid dirar, dan ajaran-ajaran lain yang kerap dijadikan sebagai pembenaran secara syariat atas aksi-aksi yang dilakukan oleh para teroris.
Dengan kata lain, aksi-aksi yang dilakukan oleh para teroris kerap diatasnamakan ajaran-ajaran tersebut. Serangan terhadap aparat maupun tempat ibadah, contohnya, kerap diatasnamakan sebagai jihad. Tidak hanya tempat ibadah kalangan di luar Islam seperti aksi pengeboman di beberapa gereja di Surabaya (2018) dan Katedral Makassar (2021), melainkan juga tempat ibadah kalangan umat Islam sendiri seperti penyerangan Masjid Az-Zikro di Mapolresta Cirebon pada 2011.
Semua itu dilakukan dengan keyakinan bahwa aksi tersebut adalah jihad yang mengandung banyak keutamaan. Hal yang harus diperhatikan, ajaran-ajaran tersebut tidak seperti pemahaman dan pengamalan sebagian pihak yang terlibat dalam jaringan terorisme. Ajaran tentang jihad dan perang, contohnya, harus mengacu pada sejumlah ketentuan. Salah satunya adalah dalam rangka membela diri (lid-difa').
Pun demikian, contoh lain, dengan konsep mati syahid. Ajaran ini tak hanya kerap disalahpahami, melainkan dipahami secara salah oleh para teroris. Mengingat hal paling mendasar dari kematian ini adalah tidak adanya unsur kesengajaan dalam proses kematiannya. Pemenuhan unsur kesengajaan atau ketidaksengajaan dalam proses sebuah kematian bisa dilihat dari penyebab yang dilakukan seperti membawa bom atau membawa pensil.
Orang meninggal karena membawa bom patut diduga ada unsur kesengajaan dalam proses kematiannya, karena dampak bom pada umumnya menimbulkan kematian. Tapi orang meninggal karena membawa pensil patut diduga tidak ada unsur kesengajaan dalam proses kematiannya, karena pensil pada umumnya tidak menimbulkan dampak kematian.
Di sini dapat disimpulkan secara hukum Islam, orang yang melakukan bom bunuh diri atau penyerangan di sejumlah tempat (khususnya dalam beberapa waktu terakhir) masuk dalam kategori bunuh diri, bukan mati syahid. Karena adanya unsur kesengajaan dalam proses kematiannya.
Lalu, bagaimana dengan status NKRI yang tidak diterima oleh para teroris dengan alasan yang berbeda-beda? Bahkan sebagian dari mereka melakukan aksi angkat senjata dengan menyerang aparat atau simbol-simbol negara.
Harus ditegaskan, hubungan antara agama dan negara dalam Islam atau secara lebih spesifik terkait dengan bentuk atau nama negara dalam Islam (apakah khilafah, kerajaan, negara Islam, dan yang lainnya) merupakan persoalan yang dalam fikih dikenal dengan istilah khilafiyah (perbedaan pandangan). Hal ini terjadi karena Al-Quran dan Hadis sebagai sumber utama hukum Islam tidak mewajibkan secara eksplisit atau mengharamkannya secara eksplisit.
Karena itu, berkembanglah pandangan-pandangan yang bersifat diametral di kalangan para ahli dan juga pelaku kekuasaan dalam Islam: sebagian mengatakan negara Islam (baik dalam bentuk khilafah, kerajaan Islam atau lainnya) adalah wajib, sedangkan sebagian lain mengatakan negara Islam tidak wajib (inilah yang menjadi pilihan dan diikuti oleh para pendiri bangsa dengan mendirikan NKRI).
Namun demikian, menghalalkan darah dan jiwa (dengan melakukan penyerangan seperti dilakukan oleh para teroris) dalam persoalan yang bersifat khilafiyah adalah ketersesatan yang bersifat ganda; di satu sisi mereka tidak menyadari ini sebagai persoalan khilafiyah, di sisi lain (dengan menyerang dan menghalalkan darah) para teroris telah merobohkan alasan utama Islam diturunkan dengan semua ketentuan hukumnya, yaitu demi kemaslahatan manusia dan kehidupan.
Tak ada manusia yang diuntungkan dari aksi terorisme. Sebaliknya, serangan terorisme acap menimbulkan korban jiwa, termasuk dari kalangan umat Islam yang dijadikan sebagai pembenar atau dalih serangan (untuk membela). Maka semua pihak harus melakukan upaya-upaya nyata untuk menyelesaikan persoalan ini. Hingga tidak ada lagi orang yang tertarik untuk menjadi pelaku terorisme dan tidak ada lagi orang yang menjadi korban terorisme.
Hasibullah Satrawi alumni Al-Azhar, Kairo, Mesir; pengamat terorisme
(mmu/mmu)