Tahun 2024 masih lama. Sekitar 28 bulan lagi menuju tahun politik tersebut, namun baliho politik mulai marak di ruang publik. Aura kompetisi mulai terasa. Biasanya jika sudah dimulai, yang lain akan latah. Bukan tidak mungkin politisi lokal tingkat kabupaten pun juga akan memasang baliho untuk persiapan pemilihan kepala daerah (pilkada) yang juga direncanakan akan dilaksanakan pada 2024. Jika sudah demikian, maka ruang publik akan disesaki foto-foto dengan senyum manis dan jargon-jargon menarik.
Politisi melakukan personal branding lebih awal kepada publik bukanlah sebuah kesalahan. Apalagi jika sang politisi mempunyai agenda besar, misalnya mencalonkan diri pada pemilu atau pilkada. Tetapi fenomena saat ini menjadi sorotan publik bukan karena dilakukan sebelum masa kampanye, namun karena momentum yang tidak tepat, yaitu di tengah pandemi Covid-19 yang belum teratasi.
Pemasangan baliho yang dilakukan secara masif, berukuran jumbo, di tempat-tempat strategis, dan tersebar di seluruh wilayah terkhusus kota-kota besar jelas membutuhkan dana yang melimpah. Hal inilah yang menjadi bahan pembicaraan publik. Situasi pandemi menyebabkan banyak warga mengalami kemerosotan ekonomi.
Bermunculannya baliho politik demi meningkatkan citra figur dilakukan dengan biaya besar di tengah warga yang kesulitan bertahan hidup adalah sebuah ironi yang memang harus dinyinyiri. Padahal, jika para politisi mau beralih ke next level personal branding atau komunikasi politik yang lebih modern, maka fenomena baliho berjejal ini tak perlu terjadi lagi.
Dalam dunia komunikasi visual, baliho (juga spanduk dan sejenisnya) adalah media iklan luar ruangan yang mempromosikan sesuatu dan dipasang pada tempat-tempat strategis. Baliho iklan politik di Indonesia telah lazim sejak dimulainya reformasi ketika pemilu tidak lagi melulu diikuti oleh partai yang itu-itu saja. Regulasi pemilu di Indonesia memungkinkan munculnya partai-partai baru yang berkompetisi dalam merebut suara rakyat.
Tentu saja, partai-partai baru ini butuh memperkenalkan dirinya ke publik. Belum lagi pemilihan presiden (pilpres) dan pilkada yang juga dilakukan secara langsung, menambah konsumen baliho. Pejabat petahana dan politisi-politisi wajah lama yang juga ingin merawat konstituennya tentu sudah pasti menjadi pelanggan tetap baliho.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bedanya dengan iklan produk komersial biasa, baliho sebagai iklan politik adalah sarana komunikasi politik paling bawah kelasnya. Ini dikarenakan baliho adalah media satu arah, pasif, minim informasi detail, hanya pencitraan semata dengan foto besar tanpa manfaat lebih untuk masyarakat. Masih mending politisi bagi-bagi kaos, manfaatnya sangat terasa bagi kalangan bawah, atau politisi yang membiayai sunatan masal atau dangdutan 17 Agustusan. Biaya yang dikeluarkan bisa jadi sama atau malah pemasangan baliho dalam jumlah massif justru bisa jadi lebih besar.
Baliho, seberapa pun besar dan menariknya, hanya menyampaikan informasi sekadarnya. Sebagai sarana komunikasi ia hanya memenuhi unsur kognitif saja. Masyarakat yang melihat baliho, menjadi tahu nama dan foto yang ditampilkan, dengan sedikit informasi tambahan seperti partainya dan jargon yang diusung. Tapi mereka hanya sekadar tahu, bisa jadi tidak peduli. Kalaupun peduli, bisa jadi tidak tersentuh. Kalau pun tersentuh, belum tentu jadi pemilihnya. Telah terlalu banyak riset yang menyebutkan bahwa tingkat popularitas tidak menjamin tingkat keterpilihan kandidat.
Menggunakan baliho untuk komunikasi politik adalah komunikasi tanpa dialog. Sedangkan komunikasi yang efektif adalah komunikasi dua arah. Bagaimana Anda bisa dekat dan intim dengan politisi yang hanya Anda lihat senyum manisnya saja tanpa tahu apa yang akan dia kerjakan seandainya dia menjabat? Tapi sayangnya, para politisi kita masih berasyik-masyuk dengan media komunikasi politik jenis ini. Yang disasar hanya pemilih tradisional yang kagum dengan citra yang digambarkan oleh baliho.
Pemilih cerdas bahkan tidak peduli dan malah merasa baliho-baliho politik adalah sampah visual pada masa-masa kampanye pemilu. Pemilih cerdas akan mencermati rekam jejak, visi-misi dan program, bukan jargon dan simbol yang muncul pada baliho politisi.
Pada era digital ini, cara modern komunikasi politik memang harus memanfaatkan media digital. Data Internetworldstats menunjukkan pengguna internet di Indonesia hingga akhir Maret 2021 sebanyak 212,35 juta jiwa, atau sebesar 76,8% dari total penduduk Indonesia yang berkisar 276,3 juta. 160 juta di antaranya adalah pengguna media sosial. Belum lagi waktu yang dihabiskan oleh orang Indonesia untuk menjelajahi dunia maya melebih waktu rata-rata warga di negara lain.
Warganet di Indonesia menghabiskan 7-8 jam sehari untuk menggunakan internet baik untuk bersosial media maupun kegunaan yang lain. Angka rata-rata global hanya sebesar 6-7 jam saja. Data ini harusnya menjadi acuan marketing politik para politisi. Mendekati pemilih dengan cara baru yang lebih intens, dan membuka ruang untuk berinteraksi. Media sosial misalnya, menjadi alternatif paling mumpuni saat ini. Mulai dari nama Barrack Obama hingga Joko Widodo adalah politisi-politisi yang sukses menjabat dengan memanfaatkan media sosial.
Strategi marketing politik memang membutuhkan biaya besar. Baliho berbiaya besar, tapi sudah sangat ketinggalan. Kampanye masif hanya akan membuat kandidat menjadi dikenal, tetapi akan dipilih rakyat adalah persoalan lain. Banyaknya baliho akan menjadikan dana kampanye bengkak dan sudah sangat banyak kejadian dalam kompetisi politik yang bisa dijadikan contoh bahwa dana kampanye tidak berbanding lurus dengan kemenangan.
Apalagi di tengah situasi pandemi yang belum diketahui kapan ujungnya ini, masyarakat jelas tidak akan peduli dengan pencitraan monoton dalam baliho. Jika dananya dialihkan untuk membantu warga miskin yang belum terjangkau bantuan resmi pemerintah, maka yakinlah, itu adalah marketing politik paling cemerlang saat ini.
Ade Alifya, M.Si ASN Sekretariat KPU Kota Padang Panjang, Sumbar