Pemilu Presiden 2024 akan berlangsung tiga tahun lagi. Namun baliho-baliho para pejabat publik sudah mulai berserakan, memperkenalkan diri mereka sebagai tokoh Indonesia! Walau tak tersirat mereka katakan, tapi sudah tersampaikan demikian. Saya ada, dan saya eksis di 2024!
The Economist Intelligence Unit 2020, Indeks Demokrasi Indonesia 2019, dan Democracy Report 2020 secara serentak sependapat bahwa Indonesia akan mengalami penurunan sirkulasi demokrasi yang cukup signifikan pada 2021. Dikarenakan peran militer yang jauh lebih dominan dalam mengisi peran sipil jika dibandingkan dengan peran elite politik terutama di masa pandemi.
Lembaga Survei Indonesia (LSI) juga menyepakati hal yang sama. Dari hasil rilis survei yang dilakukan pada Januari 2021 yang lalu, LSI mendapati bahwa kepercayaan publik terhadap kinerja militer berada di posisi pertama, dengan tingkat kepercayaan mencapai 95%. Sementara Dewan Perwakilan Rakyat dan partai politik berada berturut-turut di tingkat paling bawah dengan skor masing-masing 69% dan 65%.
LSI juga mendapati bahwa kepercayaan publik terhadap penegakan hukum di Indonesia hanya sebesar 40%. Angka ini menurun drastis, jika dibandingkan dengan survei tahun lalu, sebesar 46%. Dengan kata lain, hanya dalam jangka satu tahun, kepercayaan publik terhadap penegakan hukum merosot tajam sebesar 6%.
Ancaman
Ini merupakan urgensi yang nyata di tengah pagebluk. Terlebih ambiguitas aturan sanksi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang fluktuatifβcenderung tidak efektif menanggulangi Covid-19. Apalagi jika mengaitkannya pada masalah pengangguran dan pengendalian harga sembako yang kian agresif. Maka mudah untuk mengamini bahwa kepercayaan publik terhadap penegakan hukum kian kronis.
Sementara di sisi lainnya, kondisi perkembangan teknologi dan pengaruh digitalisasi kian masif. Indonesia sangat beresiko menghadapi late-modernity, yang akan menjadi ancaman pada proses harmonisasi kebijakan berskala nasional kepada daerah, dikarenakan perubahan terhadap modernitas yang kian "menggila", namun tidak dibarengi dengan sistem reformasi kebijakan publik yang mumpuni. Oleh sebab itu perlu adanya kolaborasi peran elite pemerintah dan politik dalam mengisi diskursus dalam ruang publik.
Seyogianya peran elite politik sangat krusial dan haruslah andil sebagai leader, penuntun masyarakat untuk mengkampanyekan dan ikut terlibat langsung, mengambil bagian mengakuisisi ruang sipil berbarengan dengan pihak militer. Mengingat para elite memiliki basis dukungan yang besar dan militan. Sayangnya, beberapa oknum elite tidak sadar akan hal ini, atau bahkan tak peduli. Beberapa bahkan memanfaatkan bantuan sosial (bansos) sebagai alternatif kampanye, atau justru masuk kantong pribadi.
Lantas, apakah kekecewaan publik terhadap para elite politik tak berdasar? Belum lagi wacana pengadaan rumah sakit khusus pejabat, atau agenda pengadaan baju dinas DPRD Tangerang yang berbahan brand tersohor dunia Louis Vuitton (LV)βsudah dibatalkan karena dikritik oleh publik. Apakah itu semua belum cukup berdasar untuk memancing kejenuhan publik terhadap tingkah laku para elite?
Wajar jika masyarakat kesal. Wajar pula jika masyarakat marah. Sayangnya, kemarahan rakyat itu tak ditanggapi dengan serius; justru cenderung ditenggelamkan, diintimidasi, dan diancam. Jati (2021) mengungkapkan bahwa ada indikasi keterlibatan intelijen dan militer yang terlalu jauh dalam mengawasi media sosial dan lewat nomor tidak dikenal. Ini ditujukan kepada mereka yang vokal terhadap kebijakan pemerintah saat ini. Mengapa harus ada pihak-pihak tertentu yang melakukan tindakan sejauh itu? Jawabannya sederhana. Karena partai politik, pemerintah, dan wakil rakyat telah gagal memenuhi tugasnya.
Seharusnya pandemi Covid-19 mampu menyadarkan para elite akan arti penting demokrasi. Bayangkan saja, bahkan dengan situasi seperti saat ini, ada saja orang yang memanfaatkan bansos, yang diperuntukkan untuk masyarakat. Bayangkan apabila masyarakat tidak bersuara secara lantang dan keras, maka penyelewengan seperti ini tentu tidak akan pernah terungkap.
Media Kritik
Fenomena meme dan mural adalah bentuk kejenuhan publik akan kondisi pandemi yang belum pasti kapan akan berakhir. Saat membaca laman kolom detikcom (25/7) dengan judul Biarkan Mural-Mural Itu Viral yang ditulis dengan apik oleh Mushab A. Aris, membuat saya tersadar. Bahwa hal itu memang merupakan sebuah keresahan, kemuakan, dan ketidaknyamanan publik terhadap perilaku para elite. Bahwa kritikan sering sekali dianggap dapat merusak citra baik status quo.
Padahal sebenarnya tidak demikian. Jika mural itu tak melanggar aturan, maka biarkan saja, kata Aris, dan saya sepakat dengan hal itu. Biarkan saja, setidaknya sampai pandemi ini selesai. Biarkan mural itu menjadi jam alarm, yang akan mengingatkan kita, bahwa Indonesia belum baik-baik saja.
Kebanjiran meme harus ditanggapi sama dengan mural. Dahulu, sewaktu Pemilu Gubernur DKI dan Pemilu Presiden pada 2019, meme tentang para calon gubernur dan calon presiden menjadi suatu bahan guyonan yang lucu. Kelucuannya berada pada saat debat para calon yang menawarkan visi dan misi, dengan tingkah laku dan tanggapan mereka yang cenderung nyeleneh.
Namun kini berbeda. Meme saat ini tidak membuat kita tertawa, namun tersenyum sinisβbenar-benar sinis. Karena informasi yang disajikan begitu jenaka sekaligus mencemaskan. Walaupun cenderung didramatisasi dan dianalogikan, namun pada kenyataannya makna meme tak berbeda jauh dari arti yang sebenarnya.
Jika mural menyampaikan pesan, maka meme menyampaikan kebobrokan. Ya sudah, biarkan saja demikian! Diviralkan saja biar seluruh Indonesia tahu, dengan apa yang terjadi di Sumatera sampai yang terjadi di ujung Papuaβselama itu bukan hoax dan melanggar aturan hukum.
Di era keterbukaan informasi saat ini, percuma jika menghapus terus-terusan, menghalang-halangi atau memberikan sanksi pada para seniman mural dan meme yang menyampaikan pesan dan kesan mereka terhadap kepuasan kinerja pemerintahan saat ini.
Mural dan meme harus dilihat sebagai suatu media kritik yang sah dan musti ditanggapi dengan serius. Pesannya singkat, sederhana, dan langsung pada intinya, sehingga pada hakikatnya itu adalah media yang tepat untuk mengkritik kebijakan pemerintah, sikap elite politik, atau tingkah laku partai politik.
Pada akhirnya sebagai sebuah negara yang berprinsip demokrasi, yang menjunjung hak rakyat setinggi-tingginya, para elite harus membuka ruang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk menyampaikan aspirasi mereka. Intinya, jangan baper-baperanlah! Kerja saja yang benar! Jadi pejabat memang tak selamanya, tapi konsekuensinya seumur hidup.
Anrickson Sarumpaet mahasiswa FISIP USU, anggota GMKI
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini