Ada hal yang lebih mendebarkan selain menunggu detik-detik pengumuman penentuan tanggal 1 Ramadhan atau 1 Syawal, yaitu menunggu detik-detik pengumuman perpanjangan masa Perlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Harap-harap cemas masyarakat kemudian pecah—mungkin ditambah dengan perasaan kesal—karena akhirnya pemerintah mengumumkan PPKM kembali diperpanjang.
Fakta Kebijakan
Masa PPKM pertama dimulai pada 21 hingga 25 Juli 2021. Kemudian dilanjutkan, mulai 26 Juli sampai 2 Agustus 2021. Lalu, diperpanjang lagi pada 3 Agustus hingga 9 Agustus. Dan, seterusnya setiap satu minggu sekali.
Selain soal masa PPKM yang selalu diperpanjang, instrumen hukum yang digunakan sebagai dasar pelaksanaan PPKM masih terkesan tambal sulam. Apabila menelisik kembali beragam aturan yang telah diterbitkan pemerintah, mulai dari PPKM Mikro, PPKM Darurat, hingga PPKM berlevel, setidaknya ada 19 aturan yang dikeluarkan oleh Menteri Dalam Negeri dalam bentuk instruksi.
Terkait dengan PPKM Mikro, Mendagri telah mengeluarkan Inmendagri No. 4/2021, Inmendagri No. 6/2021, Inmendagri No. 9/2021, Inmendagri No. 11/2021, dan Inmendagri No. 14/2021. Seluruh Inmendagri tersebut pada pokoknya adalah memperpanjang pemberlakuan PPKM Mikro yang mulanya diatur dalam Inmendagri No. 3/2021.
Substansi perubahan yang dilakukan dalam setiap inmendagri tersebut terbatas pada penambahan jumlah daerah yang diinstruksikan untuk menjalankan PPKM. Kemudian, menambah ketentuan tentang himbauan tidak mudik serta menginstruksikan bagi masyarakat yang hendak berpergian menggunakan transportasi untuk menyiapkan beberapa dokumen perjalanan.
Menariknya, perintah kepada Kepala Daerah untuk menegakkan 5M serta menguatkan 3T baru muncul pada Inmendagri No. 11/2021. Barulah dalam Inmendagri No. 14/2021, Pemerintah Pusat menginstruksikan seluruh Kepala Daerah (baik di tingkat provinsi dan kabupaten/kota) untuk menjalankan PPKM Mikro dengan penetapan zona yang diserahkan pada otoritas masing-masing dengan indikator yang diberikan oleh Pemerintah Pusat.
Selain itu, melalui Inmendagri No. 23/2021, pemerintah menambahkan rincian pelaksanaan 3T yang jelas dan detail. Pelaksanaan testing—misalnya—harus ditingkatkan dengan target positivity rate <10% terhadap suspek. Bahkan Inmendagri ini juga merinci berapa target jumlah tes per hari yang berbeda di setiap provinsi dan kabupaten/kotanya.
Setelah PPKM Mikro, pemerintah mengeluarkan istilah baru, yaitu PPKM berlevel, yaitu Level 4, 3, 2, dan 1 yang diatur dalam 10 instrumen dalam bentuk inmendagri. Perjalanan PPKM berlevel (untuk Jawa dan Bali) dibuka melalui Inmendagri No. 22/2021 tentang PPKM Level 4 di Jawa dan Bali. Inmendagri No. 24/2021 tentang PPKM Level 4 dan Level 3 di Jawa dan Bali. Inmendagri No. 27/2021 tentang PPKM Level 4, Level 3 dan Level 2 di Jawa dan Bali. Terakhir, Pemerintah mengeluarkan Inmendagri No. 32/2021 tentang PPKM Level 3, Level 2, dal Level 1.
Meskipun terjadi beberapa perubahan dalam materi muatannya, namun perubahan istilah dari PPKM Mikro ke PPKM berlevel ini tampaknya hanya terbatas pada perubahan istilah dan warna zona menjadi level. Sebab, hampir seluruh materi muatannya, khususnya mengenai teknis pembatasan di setiap sektor—memiliki kesamaan dengan materi muatan Inmendagri yang mengatur tentang PPKM Mikro.
Sifat Kebijakan
Dari paket kebijakan yang telah dikeluarkan tersebut, masyarakat tampaknya belum mendapatkan perubahan yang berarti dalam hal penanganan Covid-19 selain jalan yang disekat dan diminta untuk tetap berada di rumah. Selain itu, banyaknya instrumen yang telah diterbitkan justru juga tidak memberikan kepastian mengenai apa indikator keberhasilan dari program PPKM dan kapan akan diberhentikannya PPKM.
Materi muatan yang tertulis dalam Inmendagri tersebut pun tampaknya hanya berorientasi pada penundukan masyarakat. Sehingga seolah-olah masyarakatlah yang menjadi biang keladi penyebaran Covid-19.
Memang harus diakui bahwa penyebaran Covid-19 juga dipengaruhi oleh tingkat mobilisasi masyarakat. Namun yang patut digarisbawahi adalah mobilisasi masyarakat merupakan sebuah keniscayaan dalam rangka mempertahankan kehidupannya. Tugas pemerintah adalah memberikan koridor serta memberikan jaminan dan kepastian atas pembatasan yang dilakukan akibat koridor yang diciptakan.
Dengan berubah-ubahnya kebijakan pembatasan semakin memperlihatkan bahwa langkah yang diambil pemerintah belum komprehensif dan belum optimal. Ketidakoptimalan ini juga menjadi gambaran bahwa pemerintah juga berkontribusi terhadap tingkat penyebaran Covid-19. Tentunya kontribusi ini dikanalisasi melalui pembuatan dan penerapan kebijakan yang belum optimal.
Fakta tersebut sekaligus menegaskan bahwa saat ini Indonesia belum unggul dalam kebijakan publiknya. Kegamangan pemerintah dalam membuat kebijakan pandemi pada akhirnya membuat makna 3T bertransformasi dari "testing", "tracing", dan "treatment" menjadi "tidak tepat", "terlambat", dan "tambal sulam".
Mitigasi
Keterlambatan memang merupakan sebuah kekurangan dalam kebijakan. Namun keterlambatan akan lebih baik dibandingkan dengan tidak sama sekali. Ketidaktepatan dalam mengambil langkah juga dapat diperbaiki dengan mengubah orientasi penanganan. Sementara tambal sulam merupakan wajah yang kurang elok untuk terus dipertahankan, karena memperlihatkan sebuah ketidaksiapan.
Maka dari itu, alangkah baiknya langkah penanganan Covid-19 diperbaiki. Tentu tujuannya adalah menggeser langkah pemerintah ke arah yang lebih berorirentasi pada aspek kemanfaatan. Elemen yang sebaiknya diperhatikan adalah: (i) struktur dan tanggung jawab; (ii) review dan perbaikan; dan (iii) komitmen.
Struktur dan tanggung jawab berkaitan dengan mekanisme mengorganisasi kebijakan yang dimulai dari penunjukan lembaga yang berwenang, teknis penerapan kewenangan, serta mekanisme pertanggungjawabannya. Tentunya lembaga ini harus mampu mengidentifikasi permasalahan, baik di masa sekarang maupun di masa yang akan datang. Tujuannya tentu adalah memitigasi potensi munculnya permasalahan baru ketika sebuah kebijakan, serta menciptakan jalan keluar.
Review dan perbaikan tentu berkaitan dengan substansi sebuah instrumen yang akan dijadikan pedoman dalam penanggulangan Covid-19. Perbaikan ini tentu tidak sebatas hanya pada pemenuhan aspek kepastian hukum demi menampilkan kepada masyarakat bahwa pemerintah sedang bekerja, melainkan harus benar-benar mengorientasikan pada aspek kemanfaatan. Sehingga masyarakat bisa mengukur dan memprediksi langkah apa yang dapat diambil untuk membantu pemerintah menyelesaikan pandemi.
Terakhir adalah komitmen. Tentu ini adalah asas dalam pemerintahan yang meskipun tidak tertulis, namun melekat dalam setiap diri orang, terkhusus pemerintah. Ketika sudah mengambil langkah, maka langkah itu yang senantiasa mesti ditekuni, diperhatikan dan diperbaiki apabila menemui kegagalan, terlebih ketika produk kebijakan tersebut gagal uji publik.
Harapannya, dengan menggunakan tiga langkah sederhana tersebut, langkah yang terlambat, tidak tepat, dan tambal sulam tersebut, bisa berubah menjadi langkah baru yang bisa membawa Indonesia keluar dari resesi kebijakan.
Eko Prasetyo peneliti HICON Law & Policy Strategies
(mmu/mmu)