Presiden Joko Widodo mengungkapkan keinginannya agar anak muda lebih berminat menjadi petani. Hal itu disampaikan pada acara pengukuhan duta petani milenial Kementerian Pertanian, Jumat (6/8). Pernyataan Presiden Jokowi ini kiranya patut dielaborasi lebih lanjut.
Pertanian merupakan sektor penting dalam perekonomian kita. Sektor pertanian menyerap sekitar 35 persen dari jumlah tenaga kerja. Ironisnya, saat ini sektor pertanian kita tengah menghadapi problem yang tidak ringan. Salah satunya ialah adanya fenomena aging farmer atau penuaan petani yang fatalnya tidak dibarengi dengan regenerasi.
Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, jumlah petani per 2019 mencapai 33, 4 juta orang. Dari jumlah tersebut, jumlah petani muda di Indonesia yang berusia 20-39 tahun hanya 2,7 juta orang atau setara dengan 8 persen dari total petani. Sedangkan 30,4 juta orang lainnya, atau sekitar 91 persen berusia di atas 40 tahun, dengan mayoritas usia mendekati 50-60 tahun. Dari data yang sama, dari periode 2017 ke 2018 terjadi penurunan jumlah petani usia muda sebesar 415.789.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Data di atas menunjukkan adanya ketimpangan demografis tenaga kerja pertanian. Fenomena aging farmer ini bisa dilihat dari banyaknya tenaga kerja pertanian yang menginjak usia 50-60 tahun. Sedangkan macetnya regenerasi petani itu tampak pada kian menyusutnya jumlah petani muda dari tahun ke tahun.
Kondisi ini sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga dialami oleh nyaris seluruh negara di dunia. Seperti di Amerika Serikat, Kanada, dan sebagian besar Asia Tenggara. Kenyataan ini tentu tidak bisa dipandang sepele. Tersebab, regenerasi sumber daya manusia merupakan unsur penting dalam membangun pertanian berkelanjutan.
Sejumlah Faktor
Fenomena aging farmer yang berbanding terbalik dengan regenerasi petani ini tentu bukan kebetulan semata, melainkan dilatari oleh sejumlah faktor. Pertama, faktor sosio-kultural; pertanian tidak lagi dianggap memiliki gengsi secara status sosial. Harus diakui, pamor pertanian telah kalah jauh dengan naiknya subkultur baru yang berkembang di era digital saat ini.
Kedua, dari sisi ekonomi sektor pertanian kerap dianggap tidak menjanjikan secara finansial dan masa depan. Ketiga, semakin menyusutnya lahan pertanian sebagai konsekuensi dari masifnya ekspansi lahan pemukiman. Di banyak wilayah, menyusutnya lahan juga kerap didahului oleh adanya konflik agraria antara masyarakat dengan pengusaha atau pemerintah.
Keempat, adanya miss and match dunia pendidikan dimana anak muda berpendidikan tinggi cenderung menghindar dari pekerjaan sebagai petani. Kelima, terbatasnya diversifikasi dan inovasi yang membuat sektor pertanian ketinggalan zaman. Terakhir, kurangnya dukungan keluarga dan lingkungan untuk mendorong anak muda menjadi petani.
Dari uraian di atas bisa disimpulkan bahwa merosotnya minat anak muda menjadi petani dilatari oleh multifaktor yang kompleks dan saling berkait-kelindan. Maka, tanpa kebijakan nyata, pernyataan Presiden Jokowi yang menginginkan anak muda terjun ke sektor pertanian hanya akan menjadi wacana belaka.
Fenomena aging farmer yang tidak diimbangi dengan regenerasi petani ini akan berdampak pada ketahanan pangan kita. Jika persoalan ini tidak segera ditangani, tingkat ketergantungan kita pada bahan pangan ekspor dipastikan akan terus meningkat. Untuk itu, pernyataan Presiden itu kiranya bisa ditindaklanjuti, baik oleh pemerintah, masyarakat dan stakeholder terkait.
Mengubah Citra
Mendorong minat anak muda menjadi petani dapat dilakukan dengan mengubah citra sektor pertanian itu sendiri. Di kalangan kaum muda, pertanian masih kerap dipahami hanya dalam lingkup aktivitas menanam, merawat dan memanen. Padahal sebenarnya tidak demikian. Mosher dalam buku Getting Agriculture Moving menjelaskan bahwa sektor pertanian memiliki ruang lingkup yang luas, meliputi proses produksi pertanian, pengolahan hasil pertanian, pemasaran komoditas pertanian dan aktivitas penunjang lainnya.
Mendekonstruksi citra pertanian pada tentu harus dibarengi dengan upaya mengembangkan pertanian sebagai sebuah sektor industri yang bertumpu pada inovasi dan teknologi. Sektor pertanian harus didesain sebagai bagian dari industri agroindustri dan agrobisnis modern, yang adaptif pada teknologi dan memiliki daya saing sekaligus nilai ekonomi yang tinggi.
Tidak kalah pentingnya ialah pemerintah perlu memastikan ketersediaan lahan, benih, pupuk dan segala infrastruktur penunjang pertanian lainnya. Indonesia perlu mencontoh negara-negara seperti Australia dan Jepang yang menunjukkan keberpihakan kepada petani dengan memberikan sejumlah insentif. Insentif tersebut tidak harus berupa uang, namun juga dukungan peralatan dan pelatihan keterampilan di bidang agribisnis/industri.
Dalam konteks jangka panjang, keluarga dan masyarakat juga perlu mengenalkan pertanian sejak dini kepada anak-anak. Sangat disayangkan manakala regenerasi petani itu justru mandek lantaran keluarga petani dan masyarakat pada umumnya tidak menghendaki anak-anaknya terjun di sektor pertanian.
Arfi Hidayat lulusan Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman
(mmu/mmu)