Pandemi tak kunjung usai menghadapkan kita untuk selalu terhubung dengan media sosial di mana pun, kapan pun, dan dengan siapapun. Bisa dibilang media sosial sudah menjadi teman akrab kita sejak sebelum pandemi berlangsung, dan semakin menjadi teman sejati saat pandemi tiba. Tanpa medsos, kita tidak akan tahu bagaimana kondisi dunia saat ini. Bahwa, beberapa negara seperti Amerika Serikat, Italia, Selandia Baru, dan lain sebagainya telah melepaskan masker. Namun, melalui medsos kita juga akan tahu bagaimana virus corona telah menyerang ribuan orang di penjuru dunia, tak terkecuali di Indonesia.
Selama pandemi tingkat pengguna medsos di Indonesia juga mengalami peningkatan. Menurut laporan dari We Are Social, sekitar 170 juta penduduk Indonesia aktif bermedia sosial, setara dengan 61,8 persen dari total populasi. Hal tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia telah melek media. Melihat prosentase tersebut sebenarnya medsos bisa menjadi alat efektif untuk melakukan kampanye atau menyebarkan informasi di tengah pandemi, khususnya berkaitan dengan isu kesehatan yang saat ini begitu penting.
Dalam artikel berjudul News Coverage of Coronavirus in 2020 is Very Different Than it Was For Ebola in 2018 disebutkan, sepanjang Januari 2020 lebih dari 41.000 artikel berita cetak berbahasa inggris menyebut kata "virus corona" dan hampir 19.000 menjadikannya sebagai berita utama (data LexisNexis). Sedangkan, menurut Steven Miller profesor di Sekolah Jurnalisme dan Studi Media Rutgers juga mengatakan bahwa pemberitaan virus corona mempunyai intensitas penyebaran cepat. Artinya, liputan tentang virus corona sudah menyebar luas di penjuru dunia dan setiap orang bisa cepat menangkap informasi tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Karakteristik Berbeda
Melihat karakteristik medsos sebagai media baru, jelas berbeda dengan media lama. Dalam buku Media Sosial: Perspektif Komunikasi, Budaya, dan Sosioteknologi, ditulis oleh Rulli Nasrullah (2017), dikatakan bahwa medsos memiliki beberapa karekter khusus seperti, interactivity, simulasi, penyebaran (Share). Meski masih ada karakteristik lainnya, namun tiga hal itu cukup menjadi dasar, mengapa kampanye di media sosial sebenarnya bisa menuai perubahan besar.
Pertama, interactivity. Karakteristik ini menjadi karakter dasar dari media sosial, yaitu terbentuknya jaringan antarpengguna. Hal ini berhubungan dengan adanya komunikasi timbal balik (dua arah), seperti memberi like, komentar, atau suscribe. Oleh sebab itu, saat kita menyebarkan informasi lewat medsos, kita bisa melihat bagaimana respons masyarakat virtual, apakah mereka pro atau kontra terhadap informasi yang kita berikan.
Dengan adanya respons masyarakat virtual, akhirnya kita bisa menentukan seberapa besar penerimaan informasi dari masyarakat. Jika kita sudah mengetahui penerimaan tersebut, kita bisa membuat strategi yang lebih besar untuk menentukan langkah ke depan.
Kedua, simulasi sosial, berarti medsos menjadi tempat terbentuknya masyarakat virtual. Layaknya dunia nyata dunia maya juga memiliki aturan dan budaya sendiri. Hal ini, karena terjadi interaksi antarmasyarakat virtual. Tidak heran jika kita melihat fenomena bahwa dunia maya dan dunia nyata hampir menjadi satu, dan kita tidak bisa membedakannya.
Bahkan, di dunia maya juga bisa terbentuk komunitas-komunitas virtual. Mereka terikat dalam aturan, budaya, hingga tujuan yg sama, layaknya komunitas di dunia nyata. Biasanya kita akan menjumpai dalam bentuk fanpage di Facebook, kanal Youtube, hingga Instagram. Maka dari itu, medsos bisa menjadi medium untuk berkampanye mengenai suatu isu, karena cakupannya lebih luas, tidak terbatas ruang dan waktu. Cukup menyajikan sesuatu hal yang menarik agar orang mengikuti kita.
Ketiga, penyebaran atau share, artinya masyarakat virtual bisa mendistribusikan konten ke mana pun, kapan pun, dan kepada siapapun selama terkoneksi dengan jaringan internet. Kita bisa menyebarkan informasi dengan cepat, dari satu pengguna ke pengguna lain, atau dari satu komunitas virtual ke komunitas virtual lain, entah dengan sistem broadcast atau sejenisnya, sehingga informasi lebih mudah dan cepat menyebar.
Sayangnya, keunggulan medsos tidak diimbangi dengan, sikap bijaksana kita dalam menggunakannya. Kita bisa melihat, hoaks dan ujaran kebencian nyatanya masih membanjiri dunia maya, bahkan di tengah pandemi sekali pun. Ironis, bukan? Saat masyarakat virtual mendamba informasi penting, agar jiwa dan pikirannya tenang dan tidak panik selama wabah ini, justru harus dihadapkan dengan berbagai kontrovesi pemberitaan tentang virus corona.
Optimalisasi
Meskipun kampanye untuk mematuhi protokol kesehatan sudah dilakukan, sejak awal pandemi hingga sekarang, hal tersebut masih terbukti belum memberikan dampak besar bagi negara ini. Nyatanya masih saja orang mengabaikan diri untuk memakai masker, sebagian masyarakat tetap mudik, dan kini masalah bertambah dengan kehadiran orang yang takut vaksinasi. Mengapa demikian?
Sebenarnya kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan pemerintah atau menyalahkan masyarakat itu sendiri. Tetapi, bisa saja informasi penting tersebut tidak sampai ke masyarakat dengan baik. Artinya, terdapat problem selama proses informasi tersebut menyebar di dunia maya.
Saat informasi penting menyebar ke dunia maya, informasi yang seharusnya menjadi penting kehilangan esensinya karena tertutup dengan informasi-informasi lain yang mengalihkan perhatian publik. Misalnya, saat pemerintah memberitakan informasi bahwa seluruh masyarakat harus mentaati prokes di mana pun berada, tetapi di sisi lain muncul pemberitaan mengenai desas-desus calon presiden pada Pilpres 2024. Atau, saat pemerintah memberikan larangan mudik, tetapi muncul pemberitaan tentang warga negara asing masuk Indonesia.
Belum lagi, kebijakan-kebijakan paradoksial juga membuat bingung masyarakat. Misalnya, saat terdapat larangan berkerumun namun pemerintah memperbolehkan tempat wisata yang notabene bisa menciptakan kerumunan. Tentunya, informasi yang seharusnya menjadi penting tertutupi oleh informasi lain yang masih simpang siur. Akhirnya masyarakat mengalihkan perhatian dari hal yang semestinya diperhatikan.
Kehadiran medsos sebagai media baru tentu harus dioptimalisasi peranannya agar tidak menjadi sia-sia, dan bukan malah menambah masalah. Pertama, sebagai pengguna medsos kita perlu lebih bijaksana dalam bermedia, menyaring, memilih dan memilah informasi yang akan masuk ke dalam pikiran kita. Karena informasi yang kita terima bisa berpengaruh terhadap pola pikir dan perilaku kita.
Kedua, pemerintah sendiri dalam menyebarkan informasi jangan sampai menimbulkan paradoksal. Pemerintah bisa menyampaikan kebijakan dengan runtut, sistematis, dan jelas sehingga tidak menciptakan kebingungan dan miskomunikasi.
Ketiga, pemerintah bisa mengoptimalkan medsos sebagai media untuk melakukan kampanye kesehatan, melalui Tiktok, Instagram, Youtube, dan sejenisnya dengan menyajikan konten-konten edukasi dan mengesampingkan konten-konten yang masih belum pasti (sebatas wacana), agar masyarakat tetap fokus terhadap isu kesehatan dan tidak mengalihkan perhatian.
Keempat, pemerintah harus tegas menindak penyebar hoaks, karena bisa membuat masyarakat salah paham dan kepanikan.
Dalam menghadapi pandemi ini, kita membutuhkan sinergitas bersama, khususnya dalam berselancar di medsos. Kita harus bisa menjaga jari-jemari agar tidak mudah menyebarkan hoaks ataupun informasi yang belum jelas sumbernya. Karena pandemi juga bukan perihal kesehatan fisik, tetapi juga pikiran.
Dina Arifana mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro