Di antara debu-debu kering tertiup angin, suasana kota yang hampir mati, Bernard Rieux, seorang dokter di Kota Praja Oran, terus bekerja keras tanpa lelah. Meski ia tahu usahanya mungkin akan sia-sia, tetapi sebagai seorang dokter ia merasa tak boleh menyerah menghadapi pandemi sampar yang menerjang Oran.
Bernard Rieux, tokoh utama dalam novel Sampar karya Albert Camus ini, terus bergulat dengan warga, menyaksikan satu per satu warga terus terpapar. Pekerjaannya kini tak lagi soal medis, tak lagi melakukan keahliannya 'menyembuhkan', melainkan hanya melakukan diagnosis untuk menyimpulkan siapa yang harus masuk dalam karantina.
Memang bukan perkara mudah menghadapi pandemi yang menghadirkan kematian saat demi saat dan begitu mengejutkan, tanpa aba-aba. Pengelolaan pemerintahan tak lagi bisa dengan standar kehidupan normal. Ini soal ketakutan, kekhawatiran, kegelisahan, dan meningkat pada situasi kejiwaan yang goyah.
Situasi yang keseluruhannya menyangkut hal ikhwal psikologis ini akan melahirkan ketidakpercayaan. Warga tak acuh lagi dengan seluruh aturan-aturan resmi, dan kemudian melawannya: melakukan kampanye balik dengan menyebarkan informasi bohong dan pada titik tertentu berbentuk fitnah. Pesan yang beredar tak lagi terkendali melalui media sosial dan aplikasi perpesanan, masuk ke dalam rumah tangga. Piranti-piranti pengujian informasi sebagai hoaks bahkan bisa lumpuh dengan bah informasi ini.
Komunikasi Reflektif
Menghadapi situasi seperti ini, perlu memikirkan strategi komunikasi baru, menggantikan model komunikasi satu arah, komunikasi instruktif dari atas ke bawah yang mengandung secara samar ancaman yang bersembunyi di balik aturan pengetatan. Meski begitu, masyarakat yang sudah tak percaya itu mampu menangkapnya secara gamblang, dan responsnya terlontarkan melalui akun media sosial mereka dan grup-grup aplikasi perpesanan.
Perubahan strategi semacam ini mengandaikan pendekatan dialog dengan berbagai pihak tak hanya elitnya, melainkan menjangkau masyarakat kebanyakan. Jurgen Habermas menyebutnya sebagai tindakan komunikasi reflektif. Tindakan komunikasi yang tidak melakukan klaim-klaim kebenaran dari satu pihak saja, berdasarkan kekuasaan, melainkan menuju pada bentuk konsensus mengenai sebuah tindakan sosial.
Dengan komunikasi seperti ini, kita sedang berimajinasi seluruh lapisan masyarakat bisa terlibat membentuk konsensus dalam menghadapi pandemi yang mengancam kehidupan mereka, mengancam harapan untuk tetap bisa bertahan dan menjalani hidup bersama keluarga.
Tindakan-tindakan soial sebagai konsensus dalam pencegahan meluasnya suatu pandemi menjadi rasional dan argumentatif. Kekuatannya: semua rencana tindakan dirancang secara bersama-sama sebagai sebuah kesepakatan.
Tentu saja ini tidak mudah mengubahnya. Kebiasaan mengelola negara dengan satu arah, monolog atau bahkan cenderung stand up, perubahannya seakan memicu munculnya ketakutan pemegang kekuasaan: kecemasan akan hilangnya harga diri. Tetapi dengan begitu justru semakin menguat ketidakpercayaan yang memang tumbuh sejak awal di antara masyarakat. Lalu berganti dengan propaganda pelemahan terhadap legitimasi penguasa.
Perlu keteguhan dan keyakinan yang rasional dan argumentatif, berbarengan dengan menumbuhkan kesadaran kritis pada level komunitas. Perlu keberanian membagi kekuasaan dalam merumuskan tindakan sosial yang menyamankan masyarakat kebanyakan, dan mengambil keputusan berbasis pada keyakinan dan kepentingan masyarakat.
Komunikasi multiarah dan reflektif akan menumbuhkan sikap optimis masyarakat, sebab mereka mengetahui ragam argumentasi yang melatari setiap keputusan terkait dengan penanggulangan pandemi. Masyarakat tak lagi menjadi objek, tetapi sebagai objek yang aktif dan terlibat secara langsung dalam penanggulangan bencana yang mengancam kehidupan setiap orang yang terjangkiti: kematian yang tak terduga, dan tak bisa diduga.
Konteks Indonesia
Bangsa Indonesia dalam menghadapi Covid-19 juga menampakkan berbagai situasi kejiwaan masyarakat: muncul ketidapercayaan, banjirnya media sosial dan aplikasi perpesanan dengan informasi bohong dan pengabaian terhadap aturan penguasa.
Penguasa akan baik manakala mulai mengubah strategi komunikasinya dalam proses penanggulangan pandemi Covid-19. Tidak lagi menggunakan landasan kekuasaan dan menutup diri dari keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan. Semakin masyarakat bisa terlibat secara luas, akan semakin melahirkan kesadaran dan tanggung jawab sosial dalam setiap diri warga negara.
Pemegang kekuasaan negara tak perlu lagi selalu berada dalam sangkar tertutup: eksklusif. Membuka diri kepada warga negara dalam pengambilan keputusan mengenai pandemi Covid-19 ini akan jauh lebih baik. Bukankah membagi kekuasaan dalam pengambilan keputusan bukanlah sesuatu yang tabu?
Mukhotib MD pekerja sosial, tinggal di Magelang
(mmu/mmu)