Seorang teman pemilik penerbitan tempat saya sedang memproses buku mengirim pesan melalui WhatsApp, "Mbak, maafkan, bukumu agak tertunda ya, Mbak. Masnya yang merapikan bukumu dan keluarganya sekarang sedang positif covid, Mbak." Dia mengirim pesan itu dengan permintaan maaf yang sedemikian rupa karena pastinya buku saya sudah pasti mundur terbitnya.
"Nggak papa, Mbak. Sebenarnya aku juga sudah pesen sama editorku kalau ada apa-apa denganku, buku itu tetap lanjut. Yang penting sekarang sehat saja dulu, Mbak. Buku bisa dipikir belakangan," begitu saya membalas pesan teman saya. Saya berusaha menenangkan walau sebenarnya pesan saya mengandung kengerian. Setidaknya itu yang dirasakan editor dan tukang gambar saya ketika saya menyebut "kalau ada apa-apa denganku...."
Editor dan ilustrator saya sempat ngomel-ngomel karena saya berpesan untuk meneruskan buku itu jika saya tidak bisa melanjutkan. Toh semua urusan dengan penulis (saya) sudah beres. Jadi tidak ada lagi perdebatan soal isi dan tampilan menurut penulis. Buku sudah tahap pracetak.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Mbok ya optimis sih kita bisa bertahan, jangan seperti mau mati begitu," keluh teman saya.
"Bukannya mau mati, tapi kalau beneran mati dan aku belum berpesan apa-apa nanti kamu yang susah juga kan?" balas saya dan membuat dia menyerah.
Saya berusaha menjelaskan padanya kalau hal seperti ini penting. Akan sangat merepotkan jika nanti saya meninggal, tapi belum sempat berpesan apa-apa. Mungkin dia belum terbiasa saja menghadapi hal seperti ini. Menurutnya seperti drama sinetron lebay, main wasiat-wasiatan. Padahal sebelumnya kepada teman lain, saya pun sudah mewariskan password email dan media sosial saya, memberi tahu letak folder-folder penting di laptop saya seperti naskah dan sebagainya, dan tempat saya menyimpan pin ATM dan urusan perbankan lainnya serta catatan daftar utang saya.
Tentu saja dia adalah teman yang sangat saya percaya untuk urusan ini. Karena saya tidak berani langsung bicara dengan keluarga untuk hal seperti ini. Setidaknya jika nanti harus ada urusan keluarga, dia bisa menyampaikan.
Belum lama ini saya melihat tweet seorang pengusaha dan politikus muda yang sudah berwasiat kepada keluarga dekatnya kalau saja dia meninggal, istrinya meninggal, atau mereka berdua meninggal. Skenario apa yang dilakukan ketika anak mereka menjadi yatim, piatu, atau yatim-piatu. Hal-hal tersebut antara lain: saling memberitahu pin ATM untuk suami-istri, terbuka mengenai deposito, asuransi, saham rumah, utang piutang, skenario pengelolaan aset, pendidikan anak, bagaimana mencari nafkah pasca salah satu meninggal, dan membuat draf surat hak waris. Tentu saja segala dokumen dan hal-hal penting sudah mereka wasiatkan kepada keluarga inti yang mereka anggap dekat.
Saya melihat balasan atas tweet itu, banyak orang yang mengaku tidak siap dengan hal seperti ini. Banyak yang bahkan membayangkannya sudah takut dulu. Kita masih hidup dan sehat kok sudah berbicara yang aneh-aneh. Meski beberapa tweet balasan juga membenarkan hal tersebut dan mereka juga telah melakukannya.
Saya jadi teringat teman saya ketika mau ditinggal orangtuanya berangkat haji. Teman saya sudah dipasrahi segala dokumen penting dan cara-cara mengurusnya kalau saja ibu dan ayah teman saya ini tidak bisa pulang karena meninggal. Apalagi kalau meninggal di waktu haji, jenazahnya pun tidak bisa dipulangkan ke Tanah Air. Jadi orangtua teman saya sudah membuat skenario kalau saja anak-anak mereka harus ditinggalkan orangtuanya untuk selamanya. Jadi ketika hal tersebut terjadi, anak-anak mereka tidak terlalu bingung dan nggrambyang karena sudah punya pegangan sebelumnya.
Sekilas memang sepertinya kami yang berwasiat seperti ini lebay ya. Bisa juga malah dibilang menakut-nakuti. Seram? Jelaslah. Mana ada yang siap meninggal dan ditinggalkan orang yang disayang. Tapi sungguh saya punya pengalaman pribadi yang membuat saya mendukung orang berwasiat jauh-jauh hari. Berwasiat ini bukan melulu tentang urusan harta. Tapi seperti saya tadi, urusan pekerjaan agar orang yang dipasrahi warisan pekerjaan kita tidak kebingungan atau urusan utang agar tidak membuat susah baik yang meninggal atau yang diutangi.
Jadi dulu selama hidup, bapak saya termasuk yang tertutup untuk urusan keuangan dan dokumen penting. Baginya semua hal yang penting beres. Seumur hidup saya tidak tahu berapa gaji bapak saya ketika masih aktif menjadi PNS atau ketika sudah pensiun. Saya buta sekali hal semacam itu. Saya pun tidak pernah yang namanya mengutak-atik barang pribadi bapak saya apalagi surat-surat penting. Bagi saya ya sudahlah wong ya saya tidak ada urusan dengan semua itu. Setidaknya pikiran itu bertahan sampai bapak saya mulai sakit-sakitan dan bolak-balik rumah sakit hingga akhirnya meninggal.
Ketika mengurus dokumen di rumah sakit, perawat sempat menanyakan KARIP (Kartu Identitas Pensiun) bapak. Saya yang memang selalu bertugas mengurus administrasi seketika bengong. Apa itu KARIP? Kalau KTP, BPJS, SK Pensiun saya masih paham. Bapak saya yang waktu itu masih dirawat saya tanya sambil sedikit ngomel karena saya tidak pernah diberitahu apa itu KARIP dan kegunaannya. Dan parahnya, saya tidak tahu bentuk dan di mana menyimpannya. Petugas administrasi rumah sakit membolehkan menyertakan kopiannya saja. Syukurlah, waktu itu om saya masih menyimpan fotokopi surat KARIP bapak hingga akhirnya saya bisa mengurus administrasi perawatan bapak di rumah sakit.
Pasca meninggalnya bapak, urusan surat menyurat ini belum juga selesai. Ternyata ketika seorang pensiunan PNS meninggal, harus mengurus segala sesuatunya di kantor TASPEN. Sebenarnya soal ini saya paham, yang tidak paham adalah syarat-syarat surat ini sungguh benar-benar membuat saya menangis. Banyak berkas yang saya tidak paham dan harus disertakan aslinya. Seharian kami sekeluarga harus mencari di mana SK Pensiun bapak, KARIP bapak yang akhirnya ketemu setelah kami putus asa mencarinya, dan segala surat-surat lain. Kami sempat ngomel kepada bapak, kenapa di saat hidupnya kok tidak menyimpan surat-surat ini dengan rapi dan memberi tahu anak-anaknya. Bahkan saya baru tahu berapa gaji bapak saya ya ketika mencari surat-surat tersebut.
Belajar dari pengalaman tersebut, saya berusaha tidak ingin menyusahkan orang-orang yang berhubungan dengan saya ketika saya meninggal. Paling tidak meminimalisasinya. Saya pernah menonton podcast seorang desainer sekaligus selebriti terkenal Tanah Air yang bercerita ketika bapaknya meninggal dan masih punya tanggungan uang di bank. Uang tersebut tidak seberapa jika dibandingkan harta sang desainer, tapi itu adalah uang yang harus diambil karena wasiat almarhum bapaknya. Masalah menjadi rumit karena bapaknya tidak memberi tahu pin ATM tersebut. Ternyata memang menjadi menyusahkan bagi ahli waris untuk mengurusnya.
Saya jadi paham seorang teman yang tidak mendepositokan uangnya di saat pandemi agar uang tersebut menjadi uang bebas saja. Jadi tidak terlalu merepotkan orang lain yang akan mengurus uangnya ketika nanti terjadi apa-apa dengannya. Jadi sebenarnya apa yang kami lakukan ini bukan pesimis atau menakut-nakuti, tapi justru realistis. Kalau soal umur panjang dan berkah siapa sih yang tidak mau? Tapi namanya ajal siapa juga yang tahu?
"Mbok jangan suka mikir aneh-aneh deh. Mikir saja kita bisa kumpul-kumpul lagi saat pandemi berakhir sajalah."
"Jangan mikir mati. Fokus saja nanti saat pandemi berakhir, kita mau ngapain saja."
Itu adalah respons beberapa teman saya tentang kelakuan saya ini yang menurutnya membuat vibe negatif. Saya dibilang membuat suram dan menurunkan imun karena membicarakan kematian. Saya disuruh fokus membuat rencana sampai pandemi berakhir agar kami bisa bercerita betapa tidak terlupakannya menjalani hidup di saat pandemi. Nah, pertanyaannya, ketika pandemi berakhir, memangnya kita yakin masih hidup?
Gondangrejo, 10 Juli 2021
Impian Nopitasari penulis cerita, tinggal di Solo
Simak juga 'Sosok Doni Penolong Anabul Terlantar di Kala Pandemi COVID-19':