Kolom

Ironi Pemburu Susu Sapi di Masa Pandemi

Sunardi Siswodiharjo - detikNews
Jumat, 09 Jul 2021 16:16 WIB
Foto ilustrasi: iStock
Jakarta -

"Awas!" demikian salah seorang karyawan sebuah supermarket mengingatkan seorang teman lainnya untuk segera menyingkir dari serbuan para pembeli yang terlihat mulai berhamburan dan panik menyerbu kemudian berebut sebuah tumpukan kaleng produk "susu beruang". Dalam video yang berdurasi sekitar 30 detik yang sempat viral tersebut, adegan diakhiri dengan robohnya troli belanja salah seorang pembeli dan isi berupa kaleng susu yang berantakan ke lantai.

Sungguh pemandangan yang tak biasa; inilah fenomena panic buying. Sebagai orang yang pernah bergelut langsung di industri susu selama hampir 15 tahun, saya merasa terusik dengan kejadian di atas. Sebab, susu merek beruang (Bear Brand) sejatinya adalah susu sapi murni yang telah disterilisasi belaka, serupa kandungan nutrisinya dengan susu merek lain dengan proses yang sama. Tidak ada yang berbeda secara signifikan.

Tetapi di saat yang sama, saya juga menyadari akan kehebatan dan kesaktian orang-orang jenius dan sangat kreatif dalam tim pemasar yang menyertai produk susu ini. Menjadi market leader dan bahkan bisa disebut sebagai single player di pasaran selama bertahun-tahun adalah buktinya. Mereka mampu menanamkan "kesaktian" susu sapi murni bermerek beruang ke benak konsumen dengan sangat kuat. Konsumen percaya bahwa susu tersebut sangat istimewa dan dapat memberikan beberapa manfaat kesehatan.

Namun, bila ditelisik lebih jauh, sejatinya tidak ada yang terlalu mengherankan dengan fenomena di atas. Setidaknya ada tiga perkara yang bisa membantu memahami kejadian tersebut. Pertama, semburan berita bohong atau hoaks tentang khasiat "susu beruang". Semburan makin kencang saat tren kasus Covid-19 semakin meningkat serta dimulainya PPKM Darurat oleh pemerintah.

Kejadian diperburuk dengan perasaan fear of death sebagian orang sehingga akhirnya rela melakukan kenekatan demi memperoleh "susu beruang". Hoaks adalah informasi yang sesungguhnya tidak benar, tetapi dibuat seolah-olah benar adanya. Disebutkan bahwa manfaat "susu beruang" mampu membersihkan paru-paru, menghilangkan racun dari tubuh, mematikan virus Corona, dan seterusnya. Tentu semua ini dibantah oleh para ahli dan praktisi kesehatan karena kurangnya bukti ilmiah atau pendukung yang ada.

Efek Plasebo

Kedua, adanya efek plasebo saat mengonsumsi "susu beruang". Jangan dulu meremehkannya. Efek plasebo mengacu pada fakta bahwa keyakinan akan efektivitas dari suatu penanganan akan dapat membangkitkan harapan yang membantu mereka menggerakkan diri mereka untuk sembuh misalnya. Meski masih kontroversial secara etika, efek plasebo terbukti benar terjadi adanya.

Umur produk susu merek beruang sendiri sudah lebih dari 100 tahun di dunia; pertama kali diperkenalkan tahun 1906 di Swiss. Sementara di Indonesia umurnya sudah lebih dari 90 tahun --masuk ke Tanah Air pada tahun 1930. Pada waktu itu, awalnya "susu beruang" hanya bisa didapatkan di toko-toko obat China. Dipercaya bisa mengobati penyakit, jadi fungsinya sudah identik dengan obat dan bukan sekadar minuman susu steril. Sejak itu masyarakat makin percaya khasiat akan sebuah merek susu yang sangat legendaris ini terlepas dari kandungan nutrisinya.

Ketiga, masih rendahnya literasi gizi di dalam masyarakat. Minat baca boleh tinggi, namun daya baca belum tentu. Ada kejadian unik dan lucu; masih saja ada sebagian orang yang bertanya-tanya, apakah benar produk susu steril merek Bear Brand ini mengandung susu beruang? Sebuah bukti bahwa kemampuan literasi gizi kita masih kurang. Jika masyarakat jeli untuk cek dan baca label kemasan pada produk, maka tidak akan ditemukan ada satu tetes pun susu beruang yang ditambahkan pada komposisi bahannya. Iklan di TV atau media digital lainnya turut memperparah keadaan karena tidak pernah menampilkan gambar atau image sapi sebagai sumber susu di dalam iklan tersebut.

Dikutip dari laman FAO, Juni 2020, tentang fakta-fakta susu, menyebutkan bahwa sekitar 83% persen produksi susu dunia adalah susu sapi, selebihnya sekitar 14 persen susu kerbau, 3 persen susu kambing atau domba dan kurang dari 1 persen susu unta. Oleh karenanya, produk susu sapi memang sangat dominan di antara jenis-jenis susu yang lain. Tentu tidak ada susu beruang di dalam daftar ini.

Memperbaiki Literasi Gizi

Seorang ahli gizi bahkan sampai gusar mengomentari kejadian langkanya stok dan fenomena perburuan dan bahkan rebutan "susu beruang", dengan memberikan sedikit peringatan nyelekit kepada khalayak ramai, terutama yang masih ingin ikut-ikutan berebut. "Please be smart," katanya. "Susu beruang" yang diburu dan diperebutkan itu sama dengan susu steril merek lain.

Secara objektif, sebagian kebaikan susu sapi murni ini adalah karena kandungan protein dan mineral yang cukup tinggi. Tiap 1 gelas (250 ml) terdapat sekitar 7,7 g protein atau setara dengan 30% AKG (Angka Kecukupan Gizi), mengacu pada Peraturan Kepala BPOM No. 9 Tahun 2016 tentang Acuan Label Gizi atau ALG. Demikian juga dengan kandungan kalsium 300 mg atau sepadan dengan 46% AKG untuk anak usia 1 – 3 tahun. Belum lagi kandungan phosphorus 250 mg atau 50% AKG.

Saat pandemi kita memang butuh protein tinggi untuk menggantikan sel yang rusak sehingga imunitas terjaga. Sayangnya, lemak yang ada di dalam susu sapi bukanlah lemak sehat karena terdapat kandungan kolesterol di dalamnya.

Sekarang ini, di saat pandemi, yang terpenting adalah selalu menjaga imunitas tubuh dengan pola makan seimbang, makanan tinggi protein seperti susu, makanan tinggi serat sebagai sumber prebiotik yang mampu menyehatkan pencernaan semisal buah dan sayur. Jangan lupa olah raga rutin serta istirahat yang cukup.

Susu memang sumber protein yang baik. Namun, paradigma gizi kini lebih mengutamakan pemenuhan gizi seimbang, sehingga susu tak lagi menjadi penyempurna kebutuhan gizi, melainkan sama dengan sumber protein lain seperti ikan, daging, atau kacang kedelai. Jadi masihkah kita akan ikut-ikutan berburu "susu beruang"?

Sunardi Siswodiharjo food engineer, alumnus Teknologi Pangan UGM, R&D Manager – Multinational Food Corporation (2009-2019), pemerhati masalah nutrisi dan kesehatan




(mmu/mmu)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork