Presiden Joko Widodo menargetkan akan ada 1 juta dosis vaksin per hari mulai Juli ini untuk mencapai herd immunity, sesuai pencanangan bahwa akhir 2021 akan ada 181,5 juta warga Indonesia sudah divaksin. Target ini tentu bukan hanya dibebankan kepada pemerintah, tetapi juga masyarakat yang memiliki peran sentral dalam keberhasilan vaksinasi.
Sejarawan Alison Bashford dalam Imperial Hygiene (2004:17) menyatakan, vaksinasi dimulai dengan preseden sebuah proses bernama inokulasi, yaitu praktik mencampurkan material penyakit kepada orang yang masih sehat agar terjadi kekebalan. Inokulasi cacar yang dipraktikkan pada era Turki Usmani terhadap Lady Mary Montague, istri Duta Besar Inggris untuk Istanbul ini dikenalkan ke Inggris dan negara-negara Eropa pada tahun 1700-an.
Teknik ini yang nanti dikembangkan ilmuwan Inggris Edward Jenner pada 1796 dengan praktik inokulasi cacar sapi hingga berhasil lebih efektif (1798), hingga kita sekarang mengenalnya dengan istilah vaksin (Donald R. Hopkins, 2002). Kemunculan teknik inokulasi hingga vaksinasi disebut penemuan besar dalam dunia medis, namun perjalanannya tak selalu mudah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Negara yang memperkenalkan vaksinasi mengalami tantangan dari masyarakat pada sepanjang abad ke-18 hingga 19. Ada beberapa alasan masyarakat menolak vaksin seperti alat tidak higienis, takut tertular, hingga alasan-alasan keyakinan dalam berbagai media, demonstrasi besar di Eropa tahun 1871, pembentukan organisasi anti vaksin (1880-an), sampai terbitnya UU hak menolak divaksin. (Mark Harrison dalam Disease in The Modern World, 2004).
Sejarawan medis Mark Harrison (2004) mengindikasikan bahwa perlawanan terhadap vaksin baru mereda ketika pihak pemerintah mampu menunjukkan data bahwa vaksinasi berhasil dan terbukti menurunkan angkat kematian akibat wabah. Baldwin (1999:266) misalnya, membandingkan tentara Prancis yang vaksinasinya lebih buruk menderita angka cacar lebih tinggi dengan korban 23000 tentara, sedangkan Prusia yang vaksinasinya lebih baik hanya kehilangan 500 prajurit.
Vaksinasi di Hindia Belanda
Sejarawan Peter Boomgaard dalam Smallpox, Vaccination, and the Pax Neerlandica, Indonesia, 1550-1930 meneliti dokumen yang menyebutkan wabah cacar sudah ada di Kepulauan Melayu sejak abad ke-16 dengan tingkat kematian cukup tinggi. Sama halnya seperti di Eropa, ketika inokulasi yang masuk ke Nusantara di bawah Pemerintah Kolonial Hindia Belanda pada tahun 1775 di Jawa dan Sumatera, hingga vaksinasi tahun 1800-an, perjalanannya tak selalu mudah.
Rupanya masyarakat memiliki anggapan tersendiri terkait wabah seperti cacar disebabkan oleh roh jahat, dewa, atau setan, hingga sihir. Beberapa cara mencegahnya dengan membuat perahu kecil atau rakit di mana penyakit itu dikirim ke hilir ke tempat asalnya. Ada juga menutup jalan, hingga menyediakan sesajen. (Peter Boomgard, 2003)
Setelah program vaksinasi diterapkan, mereka semakin resisten hingga memicu pemberontakan di Banten pada tahun 1820 dan Sipirok Batak pada tahun 1847. Masyarakat di beberapa wilayah seperti Aceh, Bali, sebagian pesisir Sumatera hingga Priangan percaya bahwa vaksinasi adalah upaya penjajah Belanda memberikan tanda khusus bagi para anak agar kelak ketika dewasa, mereka bergabung dengan para penjajah. Belum lagi dengan adanya efek kesehatan setelah seseorang divaksin seperti ada yang meninggal juga vaksin dinilai tidak efektif. (Boombard, 2003)
Ragam Upaya
Dalam Politik Cacar Zaman Kolonial (2021), Gani A Jaelani menyebutkan bahwa inokulasi dan vaksinasi oleh Belanda dilakukan untuk mendukung program kolonialisme yang memerlukan banyak pekerja yang sehat, guna melanggengkan agenda mereka di Indonesia.
Karenanya, beragam upaya dilakukan agar masyarakat mau divaksin, seperti dokter Batavia Van der Steege (1774 β 1778) menyuntik puteranya sendiri sebagai teladan; Inggris (1811-1815) ketika berkuasa memvaksin para imam; pelibatan para tokoh masyarakat dan ustaz sebagai juru kampanye vaksinasi; hingga penghitungan data statistik bahwa kematian akibat wabah seribu kali lebih tinggi dari kematian akibat divaksin. (Boombard, 2003)
Akhirnya, program vaksinasi berhasil ketika pemerintah Kolonial Belanda dengan memobilisasi para bangsawan dan pejabat lokal, kepala desa, para imam dan tokoh agama Islam dan memanfaatkan para imam dan tokoh agama sebagai vaksinator. (Boombard, 2003)
Bercermin dari keberhasilan vaksinasi masa silam, ada beberapa faktor penting pendorong keberhasilan program vaksinasi. Pertama, keteladanan dan kekonsistenan kebijakan. Kedua, tenaga medis dan kampanye vaksin perlu dimasifkan, melibatkan para tokoh masyarakat, tokoh agama hingga influencer. Boomgard (1986) mencatat ada 1210 mantri, 435 petugas vaksin, 415 petugas wabah terlibat dalam mensukseskan program vaksinasi, hingga tercatat jumlah vaksinasi di Pulau Jawa mencapai 1,4 juta dan 4,8 juta vaksinasi ulang pada tahun 1936, meningkat berkali lipat dibading abad ke-19.
Terakhir yang terpenting, data bahwa vaksin dapat mengurangi dampak wabah harus disampaikan. Gani A Jaelani (2021) mengutip Boomgard (1989) mengungkap bahwa pasca vaksinasi, tingkat kematian berkurang dari 50 per seribu kematian pada 1800, menjadi satu per seribu pada 1860. Kemampuan pemerintah menghadirkan data bahwa vaksinasi aman dan bisa menurunkan angka kematian akibat wabah merupakan kunci keberhasilan program vaksinasi.
Muhammad Rizki Utama mahasiswa Magister Ilmu Sejarah Universitas Padjadjaran
(mmu/mmu)