Pagi tadi, di sebuah grup Whatsapp, ada seorang kawan membagi sebuah tabel. Isinya deretan peringkat, dan dalam pemeringkatan itu Indonesia nangkring di anak tangga terpuncak alias menjadi jawara di atas segala jawara.
Hampir saja saya berteriak, "Horeee!" sambil bersyukur bahwa akhirnya kita pernah juga dapat ranking satu. Tapi sepersepuluh detik kemudian saya sadar, tabel tersebut menunjukkan peringkat negara dengan kasus-baru-terbanyak dalam angka terinfeksi Covid.
Saya tidak tahu tabel itu dari mana, versi siapa, sebab si pembagi juga tidak menunjukkan sumbernya. Mungkin pemeringkatan semacam itu juga bukan tafsir tunggal, sebab awal bulan lalu Bloomberg menyebut Indonesia masih sedikit lebih baik daripada Malaysia dan Filipina.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, apa pun itu, tetap saja negeri kita yang kadang tercinta kadang enggak ini tampak sangat kedodoran dalam perkelahian melawan monster korona. Sebagian orang bilang karena pemegang otoritasnya tidak kompeten, sebagian lainnya bilang karena warga masyarakatnya tidak kooperatif, yang lain bilang karena kebijakan yang diambil mencla-mencle, ada lagi yang mengatakan strategi tegas tak dapat dijalankan karena ora kuat ngragati, ada yang mengatakan Indonesia terlalu berat dengan beban populasi padahal minim energi, dan entah apa lagi.
Mau disebut apa pun istilahnya dan bagaimana pun pemetaan akar masalahnya, faktanya Indonesia kacau balau. Kabar kematian muncul setiap saat. Berita-berita duka berhamburan nyaris tanpa henti. Itu sudah.
Sampai-sampai, saya berpikir Indonesia ini kok sial banget, ya. Kalau kita menengok negara-negara yang relatif sukses dalam pertarungan ini, sebutlah Selandia Baru dan Taiwan, selalu ada unsur "keberuntungan" di tangan mereka. Mereka jadi negara maju lebih dulu, jumlah penduduknya juga jauh lebih sedikit sehingga beban kerja lebih ringan dan kontrol bisa lebih efektif, pemerintahannya pun dapat diandalkan.
Tentang pemerintahan yang dapat diandalkan itu, dalam bayangan saya yang awam politik ini, tetap saja terbentuk dari proses simultan yang sinambung dengan proses-proses sejarah sebelumnya. Entah itu terkait demokrasi, sedangkan demokrasi juga dihidupi oleh rakyat berikut kualitas rakyat yang menjalankan demokrasi itu, terkait juga dengan seberapa banyak dan seberapa perkasa kekuatan-kekuatan kepentingan macam-macam yang dalam beberapa sisi bisa sangat memengaruhi kekuasaan, dan lain-lain.
Artinya, tetap ada faktor beraroma keberuntungan dalam mata rantai perjalanan sejarah. Dan, sekian poin ketidakberuntungan membawa kita pada situasi belum cukup matang saat tiba-tiba krisis menghantam.
Sementara itu, yang namanya krisis global semacam pandemi ini tidak memandang kesiapan negara per negara. Covid datang ya datang saja, tak pilih kasih. Negara yang siap dengan segala bentuk modalnya akan lebih siap, yang tidak siap dengan segenap bekalnya ya remuk redam.
Yang saya maksud dengan bekal di sini bukan semata duit. Duit sih jelas vital. Tapi ada juga karakter pemerintahan, kompetensi pemegang otoritas, karakter komunal masyarakat, beban jumlah penduduk, kualitas keterdidikan rakyat, bagaimana sikap warga suatu negara dalam menghadapi kebenaran ilmiah, empati kolektif yang memunculkan kekompakan dalam berjuang bersama menghadapi wabah, dan sebagainya dan sebagainya.
Kita? Dalam situasi bekal yang boleh dikata belum cukup, pukulan tiba-tiba datang, dan pukulan dengan tenaga yang sama akan membawa efek yang berbeda-beda tergantung dari siapa penerima pukulannya.
Wabah global selalu mirip-mirip free fight liberalism. Anda mungkin pernah mendengar banyak anekdot terkait tarung bebas ini. Misalnya analogi tentang hewan-hewan yang dijejerkan untuk lomba lari. Di atas kertas, lomba itu fair sekali. Ada garis start yang sama, jarak tempuh yang sama, alat pencatat waktu yang sama. Adil sekali. Sportif sekali.
Tetapi, ternyata tetap ada yang berbeda, dan itu adalah "bekal" masing-masing peserta. Coba lihat saja, hewan-hewan yang "bebas" mengikuti lomba lari itu adalah cheetah, lalu gajah, lalu kambing, dan terakhir bebek. Apakah akhirnya lomba itu beneran adil?
Seperti itulah dunia dalam menghadapi wabah. Krisis ini tidak adil, dan virus-virus memang tidak bakal peduli dengan prinsip keadilan.
Peta situasi semacam itu juga mengingatkan saya dengan beberapa diskusi terkait dunia digital yang saya ikuti secara intens sebulan terakhir. Saya selalu menyampaikan bahwa dalam perkara internet pun, Indonesia berada dalam ketidakadilan proses sejarah.
Coba lihat, negara-negara yang disebut maju itu sudah relatif lebih mapan dengan kualitas manusianya. Penduduknya secara umum sudah melek baca, melek informasi, mesin pengolah data di kepala masyarakatnya sudah lebih siap pakai. Atau dengan istilah yang lama-lama saya bosan menuliskannya: tingkat literasi mereka sudah tinggi.
Maka, ketika tiba-tiba internet datang, lalu media sosial juga merangsek masuk, mereka sudah punya kesiapan bekal dalam menghadapi banjir bandang informasi.
Bandingkan dengan kita. Tingkat pendidikan masih ala kadarnya, sistem sekolah juga tidak jelas dan penuh bopeng persoalan di mana-mana, lebih-lebih lagi soal kemampuan membaca masyarakatnya.
Nah, di saat seperti itu internet datang. Secara ajaib kita jadi salah satu konsumen gawai paling gila di dunia, bahkan kemudian kita jadi juara tiga pengguna media sosial paling rakus sedunia.
Bayangkan situasinya. Beberapa tahun lalu ada riset yang mengatakan bahwa dari sampel 61 negara, Indonesia menduduki peringkat ke-60 dalam soal literasi. Saya sendiri punya banyak kritik untuk alat ukur dalam pemeringkatan tersebut, tapi tetap saja tidak bisa mengelak bahwa manusia Indonesia masih sangat kepayahan dalam hal membaca. Nah, taruhlah tingkat literasi kita memang nomor 60, tingkat penggunaan medsos kita ada di nomor 3. Hasilnya? Dalam bahasa kasarnya: otak kita ranking 60, jempol kita ranking 3! Maka tak perlu heran kalau jempol-jempol bergerak tanpa bekal otak yang memadai.
Begitulah hasil dari tarung bebas di medan sejarah. Setiap perubahan, setiap krisis, memang tak peduli siapa-siapa yang disasar. Tak ada keadilan di sini, dan memang tidak ada siapa pun yang bisa kita tuntut untuk menegakkan keadilan dalam proses ini. Dari situ akan terus lahir kondisi klasik, yaitu yang kuat dan punya bekal cukup dalam menghadapi krisis akan semakin kuat, yang lemah dan minim modal akan semakin lemah.
Sama dengan pertarungan bebas dalam ekonomi. Yang kaya akan semakin kaya, yang miskin akan semakin miskin.
Tiba-tiba, saya jadi ingat diri saya sendiri. Dalam menghadapi krisis wabah ini, saya, dan mungkin juga Anda, punya bekal yang relatif cukup. Pemahaman informasi cukup, nalar cukup, tabungan cukup. Kita bahkan bisa ngendon tenang bersembunyi di dalam cangkang rumah kita. Banyak pekerjaan yang membawa hasil ekonomi bisa kita kerjakan secara daring, mau cari makanan juga bisa pakai jasa ojol, mau beli vitamin dan sumber-sumber nutrisi pendongkrak imun juga ada duitnya.
Tapi di sudut-sudut sebelah sana, ada jutaan orang yang tidak bisa seperti kita. Sumber penghidupan mereka tak bisa digali dengan cara online, akses internet tak punya, vitamin mahal dan susu cap hewan galak pun tak pernah terlintas di benak mereka.
Dan kita semua, baik saya-Anda maupun mereka, menghadapi serbuan wabah yang sama, wabah yang tak pilih-pilih siapa yang diserangnya. Lalu, siapa "pemenang"-nya?
Mungkin kita yang serba berkecukupan akan menang. Tapi ini bukan jenis kemenangan yang membanggakan....
Iqbal Aji Daryono penulis, tinggal di Bantul
(mmu/mmu)