Virus itu Sudah Sampai di Sekitar Rumah Kita
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Jeda

Virus itu Sudah Sampai di Sekitar Rumah Kita

Minggu, 04 Jul 2021 15:09 WIB
Mumu Aloha
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
mumu aloha
Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom
Jakarta -

Ibu-ibu penjual getuk itu terkantuk-kantuk. Ia sandarkan punggungnya ke dinding di sisinya. Ketika saya datang, ia tergeragap. "Kok tumben, Mas siang," ia langsung menyambut dengan basa-basi akrab seperti biasanya.

"Iya, Buk Minggu-Minggu bangun siang," kata saya, sambil mengamati dagangannya, yang tak seperti biasanya, ketika saya datang tinggal separo atau malah hampir habis.

"Masih banyak, Buk?"

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Iya, nggak ada orang...." sahutnya dengan nada sedih.

Ini hari kedua PPKM Darurat, yang telah ditetapkan oleh pemerintah hingga tanggal 20 Juli nanti, menyusul lonjakan kasus Covid-19 yang disebut-sebut sebagai "gelombang kedua", yang mengganas lagi sejak pasca-Lebaran.

ADVERTISEMENT

Kata-kata ibu penjual getuk langganan saya di Pasar Pondok Labu, Jakarta Selatan itu membuat saya membatin: sebenarnya kebijakan dari pemerintah itu "ngaruh" juga ya. Artinya, kalau pemerintah bilang A, maka masyarakat pun akan mengikutinya. Terbukti, PPKM Darurat membuat pasar jadi sepi, karena orang-orang tidak keluar rumah.

Tentu saja, sepinya pasar, atau secara khusus lagi ibu penjual getuk, tidak bisa dijadikan ukuran kepatuhan masyarakat. Tapi, minimal, memang ada bukti-bukti yang bisa mengarah pada kesimpulan seperti itu. Misalnya, kemarin, pada hari pertama penerapan PPKM Darurat, beredar foto-foto dan video di media sosial yang memperlihatkan Jalan Sudirman, Jakarta Pusat kosong melompong, karena adanya penyekatan.

Lagi-lagi, lengangnya jalan Sudirman juga tetap tidak bisa dilihat sebagai gambaran kepatuhan masyarakat. Tapi, saya jadi berpikir begini: kita itu memang cenderung selalu reaktif dalam menyikapi pandemi ini, ketimbang mempersiapkan diri, mental, dan mindset untuk menganggapnya sebagai sesuatu yang berjangka panjang.

Aparat begitu sigap pada hari pertama, melakukan penyekatan di berbagai titik, tapi sebagian warga melihatnya secara pesimistik bahwa semua itu terjadi sebagai bentuk "euforia hari pertama" terhadap kebijakan yang diterapkan. Seorang teman, dengan agak sedikit bernada sinis mengatakan, "Coba, kita lihat saja Senin besok!"

Pulang dari membeli getuk, saya baru menyadari bahwa di sisi pasar berjajar mobil-mobil polisi, satpol PP, dan entah apalagi, pokoknya mewakili pihak berwenang yang sedang bertugas mengawasi dan menegakkan kebijakan pemerintah. Saya pun jadi penasaran, dan membatin, coba lihat besok.....

Tidak hanya pihak aparat yang kadung dianggap cenderung tidak konsisten. Dari sisi masyarakat pun sama saja. Satu-dua hari penerapan PPKM Darurat, jalanan terlihat sepi, pasar sepi, warung-warung sepi. Tapi, sampai berapa hari lagikah semua itu akan bertahan? Seorang teman yang lain, yang tak kalah sinis, dalam sebuah obrolan di WA dengan saya nyeletuk: gitu aja terus sampai lebaran monyet!

Saya tahu, atau minimal berharap, teman saya hanya sedang sarkastik karena lelah dengan keadaan. Seperti kita semua, atau sebagian besar dari kita, yang juga mulai lelah. Tapi bukankah semua ini karena sikap dan perilaku kita juga, yang mungkin terlena karena menganggap kondisi mulai membaik, ekonomi perlahan terasa pulih, ditambah dengan adanya vaksinasi?

Lonjakan "gelombang kedua" yang terjadi saat ini kurang-lebih akibat dari cara kita melihat pandemi tersebut yang lebih bersifat reaktif ketimbang melihatnya sebagai peristiwa jangka panjang, yang mestinya perlu penyikapan yang lebih konsisten dan bersifat antisipatif. Ketika pemerintah Singapura mengumumkan bahwa mereka akan hidup berdamai dengan Covid, dan menganggapnya sebagai flu biasa, mereka telah menempuh berbagai upaya yang sistematis, jangka panjang, dengan peta yang jelas.

Sementara kebijakan kita sejak awal selalu setengah-setengah, tambal-sulam, menghabiskan banyak anggaran untuk hal-hal yang kurang relevan terhadap usaha menekan penyebaran pandemi itu sendiri. Yang paling mendasar, kita tidak memiliki sense of crisis yang serius. Kemudian, kita masih saja memperlakukan penanganan pandemi dengan pendekatan upacara-upacara, jargon-jargon, dan hal-hal yang bersifat simbolik-administratif-birokratis lainnya.

Sesederhana untuk tidak berkerumun atau membuat kerumunan saja, susahnya setengah mati. Kita masih saja membaca berita ada seorang lurah di sebuah wilayah yang tak jauh dari Jakarta, menggelar resepsi hajatan di hari pertama PPKM Darurat! Artinya, bahwa setelah sejauh ini, setelah berbagai kebijakan yang berganti nama, kita masih saja tergagap-gagap, konyol, tidak serius, salah persepsi, meremehkan, minim pemahaman yang bahkan paling mendasar, mengenai apa yang sebenarnya sedang terjadi, apa yang sedang kita hadapi, dan apa yang harus kita lakukan.

Ini memang bukan saatnya lagi untuk saling menyalahkan. Dan, sejatinya memang tidak pernah ada saat yang "tepat" bagi kita untuk saling menyalahkan. Tidak kemarin, tidak juga sekarang atau pun nanti. Saling menyalahkan hanya akan membuat kita berputar-putar dalam labirin yang menjerat dan tiada ujung pangkal. Yang kita perlukan sekarang adalah bangun kembali dan terus-menerus kesadaran bahwa kita sedang krisis; kondisi sedang tidak baik-baik saja.

Jika itu saja mampu kita pahami dengan jernih, niscaya usaha-usaha lain yang mengikutinya akan bergerak maju menuju upaya-upaya yang relevan, terarah, dan terukur terkait penanganan pandemi ini. Tapi kita tahu, alangkah tidak sederhananya apa yang dibilang "itu saja" tadi. Terbukti, setelah satu tahun lebih, kita kembali ke hari-hari awal masa pandemi, dan bahkan lebih buruk lagi.

Sampai di rumah setelah membeli getuk di pasar, saya berbincang dengan tetangga yang sedang berjemur di depan rumahnya. Dia bercerita bahwa saudaranya di Tangerang sedang dirawat di rumah sakit karena terkena Covid. Sejumlah tetangga dekat sini juga kini sedang melakukan isolasi mandiri karena seisi rumah positif Covid semua. Wilayah RT sebelah bahkan lebih parah, katanya, lebih banyak lagi keluarga yang terkena virus. Saya tertegun-tegun.

Selama ini saya berpikir bahwa untunglah wilayah tempat tinggal saya baik-baik saja, tidak pernah ada kabar orang terkena Covid, sejak gelombang awal hingga lonjakan kembali pasca Lebaran ini. Ternyata, saya yang ketinggalan berita. Saya terlalu sibuk membaca berita-berita yang terjadi di luar sana. Solo, Jogja, Semarang, dan Surabaya meledak --menyusul Kudus dan Bangkalan, Madura. Di mana-mana dikabarkan rumah sakit membludak, kehabisan fasilitas, dan sebagainya. Orang-orang kesulitan mendapatkan perawatan.

Teman-teman di Facebook, Twitter, dan grup WA setiap hari mengabarkan berita duka. Semua itu membuat saya tanpa sadar tenggelam dalam ilusi ketenangan, karena sampai pada titik ini, saya masih baik-baik saja. Bisa jadi saya memang sudah terlena. Kadang-kadang saya keluar rumah tanpa masker, dengan pembenaran dalam hati, ah, cuma ke warung sebelah ini.

Saya berusaha mempercepat untuk mengakhiri obrolan dengan tetangga saya. Buru-buru saya masuk ke rumah dengan pikiran yang mendadak dipenuhi kecemasan dan kekhawatiran. Virus itu ternyata sudah "sampai" di sekitar rumah saya, tanpa saya pikirkan sebelumnya. Pada saat yang bersamaan, muncul semacam kesadaran baru: saya selama ini mungkin selalu menuntut orang-orang di sekitar saya untuk sadar, taat, dan patuh pada kebiasaan baru protokol kesehatan; tanpa saya sadari saya lupa berintrospeksi, melihat ke diri sendiri, apa yang sudah saya lakukan selama ini.

Saya tahu, saya tidak boleh panik. Tetap waspada, dan jangan terlena. Kita bukan pengambil dan penentu kebijakan. Kita mungkin sudah frustrasi pada mereka yang tidak percaya Covid, anti-vak, dan kaum semacamnya. Kita kini tinggal bergantung dan percaya pada diri sendiri. Lakukan saja hal-hal paling sederhana yang bisa kita lakukan. Diam dulu di rumah sejauh itu memang memungkinkan, dan tak ada kondisi lain yang memaksa. Pakai masker dobel kalau "aturan"-nya sekarang seperti itu. Jauhi dan hindari kerumunan. Klise dan mulai bosan mendengarnya itu semua? Baik, tapi pikirkan ini: dalam situasi penuh kekalutan dan ketidakpastian seperti saat ini, yang bisa kita lakukan hanya mengontrol hal-hal yang berada dalam kontrol kita. Dan kita tahu, kita bisa. Berusahalah sampai batas kemampuan. Bertahanlah.

Mumu Aloha wartawan, penulis, editor

Simak juga 'Luhut: Kasus COVID-19 Akan Naik 10 Hari ke Depan, Ini Masa Kritis':

[Gambas:Video 20detik]



(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads