Foto itu masuk ke grup Whatsapp RT 36. Dua orang, laki-laki dan perempuan, tampak melambaikan tangan. Yang lelaki berkaus hijau, yang perempuan berbaju merah bata. Keduanya bermasker, tapi gurat kecil di sudut mata mereka menunjukkan dengan jelas: mereka sedang tersenyum, atau bahkan tertawa.
Itu foto yang buram, kabur. Bukan karena dijepret dengan ponsel lawas atau murah. Semurah-murahnya ponsel sekarang toh sudah dilengkapi fitur kamera penyedia kebutuhan selfie berkualitas tinggi. Foto itu kabur lebih karena kameranya tampak di-zoom secara paksa, alias dipencet dari jarak yang cukup jauh. Si pemotretnya memang wajar tidak berani mendekat, sebab dua orang yang difoto itu sedang menjalani isoman yang ketat.
***
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lelaki berkaus hijau itu Pak Mugi, rekan ronda saya tiap malam Minggu, yang sering saya sebut-sebut dalam cerita-cerita saya. Dan perempuan di sebelahnya tentu saja Bu Jini, istri Pak Mugi.
Akhirnya, memang virus sialan ini menyambar juga kawan-kawan saya satu demi satu. Pak Mugi bukan orang pertama di grup ronda saya yang kena. Sebelumnya Mas Zainul sudah duluan, dan syukurlah sembuh dengan cepat.
Tetapi, bukan cepatnya pemulihan itu yang ingin saya kisahkan. Melainkan bagaimana tiba-tiba mata saya mbrambangi, terharu sekali, melihat foto Pak Mugi dan Bu Jini, berikut pesan-pesan yang bermunculan kemudian di grup Whatsapp kami.
"Semangat, Pak Mugiii!"; "Mugi-mugi Pak Mugi enggal dangan, semoga lekas sembuh."; "Fokus di pemulihan, Pak Mugi! Nggak usah mikir aneh-aneh, nanti kita sepedaan lagii!"; dan sebagainya.
Semuanya ucapan standar belaka. Tapi saya melihat foto yang semestinya beku seketika menyambut ucapan-ucapan itu. Gurat di sudut-sudut mata Pak Mugi seolah semakin kentara, yang artinya bibir di balik masker itu semakin lebar membuka tawa. Tangan yang ia lambaikan seakan juga bergerak-gerak, dan diangkat semakin tinggi.
Pesan-pesan dan foto serupa mungkin banyak muncul juga di dinding medsos Anda. Tapi tanpa menganggap remeh, kita mesti ingat bahwa orang-orang di medsos itu tidak melihat langsung kawan medsosnya yang kena korona, tidak berdekatan rumahnya dengan mereka, dan tidak bakalan merasa terancam jika virus yang telanjur menempel di badan teman mereka mendadak mubal-mubal alias tersebar ke udara sekitarnya.
Maka, jujur saja, dukungan sosial di WAG kampung itu level ketulusannya saya kira ratusan kali lipat di atas dukungan di lini masa. Beda, sangat beda.
Para warga RT 36 itu bukan tak mungkin diliputi khawatir mengingat Pak Mugi habis datang jumatan di Masjid Muttaqin beberapa hari sebelumnya. Atau sepulang dari sawah Pak Mugi nongkrong-nongkrong di gapura bersama bapak-bapak lainnya. Apalagi Bu Jini, yang memang aktivis di kalangan ibu-ibu, dan sering jadi penggerak acara rupa-rupa. Sangat mungkin telah telanjur terjadi interaksi antara mereka berdua dengan banyak warga lainnya.
Terlebih lagi, muncul indikasi bahwa virus itu didapat bukan dari kampung, melainkan dari pergaulan Pak Mugi di luar kampung dengan mantan teman-teman kerjanya di pabrik tekstil. Sudah tentu, pikiran menyalahkan itu bisa muncul. Bukan mustahil yang berkelebat di otak banyak orang adalah omelan semacam "Wah, virus dari luar kok malah dibawa Pak Mugi masuk ke RT kita?"
Namun, yang saya saksikan sama sekali tidak seperti itu. Andai yang terjadi seperti itu, jelas tidak mungkin ada tetangga yang mau-maunya memotret Pak Mugi dan Bu Jini dari luar gerbang rumah mereka, lalu membaginya segera di grup WA. Andai bukan dukungan dan harapan baik yang muncul, tentu banyak orang di grup WA RT 36 memilih diam saja, pura-pura tidak membaca pesan-pesan yang bermunculan dengan gencarnya.
Barangkali saya terkesan cuma melebih-lebihkan perasaan saya. Sayangnya, dugaan Anda kali ini agak meleset. Sebab beberapa pekan silam saya mendengar satu jenis cerita lain.
Alkisah, rekan sekantor seorang kawan saya kena Covid juga. Awalnya ya biasa saja, isoman sewajarnya. Malangnya, respons yang muncul dari tetangganya jauh dari harapan. Sang korban Covid itu betul-betul dikucilkan oleh orang-orang di kompleksnya. Tidak pernah dipastikan kebutuhan hariannya, orang yang lewat selalu bergegas pergi jauh-jauh dari depan rumahnya, bahkan beberapa kali kalimat nyelekit terlontar lewat pesan WA.
Akibatnya mengerikan. Rekan kawan saya itu akhirnya sembuh dari Covid-nya, tapi tidak selamat kejiwaannya. Ya, dia depresi berat. Dalam kondisi terpuruk fisik dan mental, takut menghadapi bayang-bayang gelap kematian, eh ternyata deritanya disempurnakan dengan hantaman-hantaman psikis dari orang-orang yang terdekat-secara-geografis. Limbunglah dia. Jasmaninya sembuh, tapi sekarang dia malah harus dirawat di sebuah rumah sakit jiwa.
Artinya, dukungan dari orang-orang terdekat secara geografis itu bukan perkara main-main. Virus ini menyerang fisik kita, bukan menyerang akun medsos atau software di laptop kita. Segenap konsekuensi yang kita hadapi jika tergigit virus ini adalah konsekuensi-konsekuensi kasat mata yang akan sangat melibatkan orang-orang terdekat di sekitar rumah kita.
Bahkan jika fisik kita kena, bukan cuma konsekuensi fisik yang kita hadapi. Ada risiko munculnya perasaan bersalah, tersisih, menjadi pencemar lingkungan, bahkan rasa dicampakkan yang menyakitkan.
Maka, pagebluk ini sepertinya menjadi pengingat bahwa kita tidak perlu fanatik-fanatik amat dengan revolusi empat kosong apalagi lima kosong atau nanti-nantinya enam kosong dan seterusnya. Kita masih akan selalu membutuhkan senyum dan ucapan "Monggo, Mas!" dari tetangga kita, hantaran makanan dari bapak-ibu di RT kita, atau sekadar sikap yang tidak menyalahkan kita di saat kita sedang ambruk-ambruknya.
***
Saat saya menuliskan kisah ini, Pak Mugi sudah sembuh dari cengkeraman korona. Barangkali namanya sendiri, Mugiharjo, turut mengantarkan kesembuhan itu. Mugi artinya semoga, harjo bermakna baik, selamat, beruntung. Jadi setiap saat bukan cuma tetangga, bahkan KTP-nya sendiri mendoakannya.
Namun, di belakang Pak Mugi telah menyusul korban-korban tumbang lainnya di kampung kami. Pak Polisi Lanjar dan adiknya, satu lagi dari RT 39 saya lupa namanya, dan baru kemarin siang korona mampir juga ke tubuh Mbak Wiwik, tetangga persis di belakang rumah saya.
Barangkali kita masing-masing cuma urut kacang, tinggal menunggu waktu. Siapa yang tahu? Tapi kena ataupun tidak, saya berjanji besok-besok akan lebih rajin lagi datang arisan RT, kerja bakti, ronda, dan membatalkan niat semula untuk diam-diam keluar dari grup WA.
Iqbal Aji Daryono penulis, tinggal di Bantul
(mmu/mmu)