Tidak salah jika dikatakan dana Haji dengan sistem pengelolaan oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) seperti sekarang bersifat aman, likuid, dan dapat memberikan manfaat bagi jemaah haji. Hal ini disebabkan portofolio investasi yang dipilih rata-rata dengan tingkat risiko low to moderate. Mayoritas ditempatkan di sukuk dan penempatan di bank-bank Syariah.
Menjadi tidak aman jika melihat komposisi dari biaya haji. Biaya haji setiap tahun komposisinya nyaris sama: Biaya yang dibayar langsung oleh jemaah hanya setengahnya, sekitar 51% dan sisanya yang bersumber dari nilai manfaat investasi dana haji atau 49%. Trennya fifty-fifty.
Komposisi tersebut sangat riskan untuk keberlangsungan dana haji. Kenapa? Ini kata kuncinya: bahwa nilai manfaat dana haji yang setiap tahun digunakan untuk menomboki atau mensubsidi jemaah haji yang berangkat pada tahun berjalan diambil juga dari dana nilai manfaat calon Jemaah haji yang belum berangkat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jemaah yang belum berangkat mensubsidi jemaah yang berangkat. Meskipun sudah ada fatwa MUI bahwa praktik semacam ini boleh, tetapi dari segi sustainabilitas keuangan haji menjadi hal krusial.
Sebagai contoh, pada tahun 2020 (meskipun terjadi pembatalan keberangkatan jemaah haji tetapi besaran biaya haji telah diputuskan), dana nilai manfaat keuangan haji yang digunakan adalah Rp 7.16 Triliun. Jumlah itu bukan berasal dari jemaah yang berangkat di tahun 2020 semata, tetapi juga dari hasil investasi dana haji jemaah yang belum berangkat.
Dengan kata lain, dana sebesar itu adalah dana nilai manfaat keuangan haji yang diperoleh pada tahun berjalan dari total dana haji yang berjumlah seratus tiga puluh triliun lebih pada tahun 2020. Begitu juga untuk tahun-tahun sebelumnya. Jika tidak diubah, di tahun-tahun berikutnya pun akan mengalami hal sama.
Komposisi peruntukan nilai manfaat hasil investasi dana haji adalah pada dua kegiatan utama; pertama, untuk mensubsidi penyelenggaraan ibadah haji tahun berjalan, dan kedua untuk pembagian imbal hasil kepada calon jemaah melalui virtual account tahun berikutnya. Selain itu, dialokasikan juga untuk biaya operasional BPKH.
Dana haji menjadi tidak aman dan tidak likuid jika nanti ada keputusan politik atau kondisi genting di mana pendaftaran haji dihentikan. Jika pendaftaran haji dihentikan, maka dana haji akan berkurang drastis dan perolehan nilai manfaatnya juga akan bernasib sama. Anjlok. Jika kondisi ini terjadi, maka pelaksanaan ibadah haji terancam, karena dana untuk mensubsidi jemaah yang berangkat akan berkurang. Tidak akan cukup.
Kemungkinan terbesarnya, jika kondisi tersebut terjadi, biaya haji yang dibayar langsung oleh jemaah akan mengalami kenaikan yang sangat tinggi. Bisa jadi jemaah akan dipaksa bayar mendekati nilai ekonomis. Misal yang awalnya 35 jutaan menjadi dua kali lipat yaitu sebesar 70 jutaan atau mendekati nilai itu.
BPKH sebagai pengelola keuangan haji sudah mencium gelagat ini. Dalam rencana strategis BPKH, ada beberapa rencana yang dilakukan, di antaranya; pertama, menarik sebanyak mungkin pendaftar haji. BPKH meluncurkan program "haji muda" dan disosialisasikan secara masif dengan menggaet para publik figur, artis, tokoh ormas, dan sebagainya. Ini semata-mata untuk menggelembungkan dana haji agar nilai manfaat dana haji lebih banyak.
Bahkan, ke depannya, terbuka kemungkinan arah kebijakan pendaftaran haji adalah setiap bayi usia 1 hari bisa mendaftar haji. Berangkatnya tetap di usia 18 tahun sesuai dengan syarat haji yang harus sudah menginjak dewasa. Namun, ini memiliki dampak yang sangat besar pada bertambahnya antrean haji.
Rata-rata antrean sekarang secara nasional mencapai 18 tahun. Bahkan, di beberapa daerah seperti di Sulawesi Selatan, antrean haji mencapai 40 tahun lebih. Dengan target jumlah pendaftar haji setiap tahun tujuh ratus ribu hingga sejuta pendaftar, maka di setiap tahun akan menambah jumlah antrean sebanyak empat tahun. Hal ini karena kuota haji kita berada di angka 221 ribu. Rata-rata seperempat dari jumlah pendaftar.
Kondisi semakin panjangnya antrean haji akan lebih parah jika peraturan larangan dana talangan haji (PMA Nomor 24 tahun 2016) dicabut. Beberapa kalangan, termasuk BPKH dan perbankan syariah sedang berusaha ke arah itu.
Jadi, dari fenomena dana haji kaitannya dengan antrean, ada dualisme pemikiran, yaitu antara BPKH sebagai pihak pengelola dana dan antara Kementerian Agama sebagai penyelenggara haji. BPKH melihatnya hanya pada keberlangsungan dana haji, sementara Kementerian Agama melihatnya dari dampak jumlah antrean yang semakin banyak.
Penyelenggara selalu direpotkan dengan jumlah jemaah haji yang mayoritas diisi oleh lansia dan berisiko tinggi. Ini kadang tidak sejalan dengan target BPKH untuk terus menggelembungkan dana haji.
Kedua, menaikkan secara periodik biaya haji sebesar 5% pada setiap tahunnya hingga mencapai nilai ekonomis. Langkah ini adalah langkah rasional ,tetapi kadang susah diwujudkan, mengingat keputusan biaya haji kerap bernuansa politis. Apalagi jika mendekati atau pada saat pemilu, penetapan besaran biaya haji tidak lepas dari pengaruh suasana politik. Menaikkan biaya haji akan menjadi isu publik yang ditakutkan mempengaruhi elektabilitas.
Ke depan, BPKH harus diarahkan untuk mengubah skema investasinya dari yang berisiko low to moderate ke moderate to high. Investasi langsung ke infrastruktur perhajian di Arab Saudi harus menjadi fokus utama yang bertujuan untuk mengefisienkan biaya haji.
Namun, langkah ini sering dikeluhkan karena terganjal oleh klausul dalam Undang-Undang Pengelolaan Keuangan Haji. Jika terdapat kerugian maka harus dipikul oleh anggota badan pelaksana dan dewan pengawas BPKH. Ada klausul "tanggung renteng" dalam Undang-undang. Ini menjadi semacam tali yang mengikat BPKH untuk lebih bebas berinvestasi ke arah moderate to high.
Sebagai solusi alternatif, negara harus hadir dalam pengelolaan dana haji. Peran negara saat ini hanya melantik anggota BPKH dan Dewan Pengawas tanpa memberikan sepeser pun APBN terhadap lembaga ini. Operasional BPKH diambil dari nilai manfaat dana haji, bukan dari APBN. Besarannya paling banyak 5% dari nilai manfaat dana haji tahun sebelumnya. Namun, tetap saja menggerus dana haji.
Sebesar Rp 357 miliar dialokasikan untuk operasional BPKH, yang jika dilihat dari kinerjanya sama dengan kinerja saat dana haji dikelola oleh Kementerian Agama. Memang, jika dilihat besaran dana haji tumbuh lebih besar dibanding dengan saat dikelola Kementerian Agama, tetapi persentase hasil investasinya tidak jauh berbeda yaitu berada di kisaran 7 persenan. Ditambah lagi, jika dilakukan oleh Kementerian Agama tidak ada biaya operasional yang mencapai ratusan miliar.
Namun, undang-undang telah mengamanatkan bahwa pengelolaan keuangan haji dilakukan oleh BPKH. Negara dapat hadir dalam pengelolaan keuangan haji dengan memberikan dana operasional melalui APBN kepada BPKH atau pemberian modal dasar seperti yang dilakukan kepada badan atau lembaga lain, sehingga sustainabilitas keuangan haji lebih terjaga dan memberikan manfaat yang lebih besar kepada jemaah haji.