Kemajuan teknologi komunikasi telah mengubah bagaimana sirkulasi informasi di dalam masyarakat. Saluran informasi yang tersentral di kanal-kanal utama kini telah terdesentralisasi. Komunikasi yang dulunya berlangsung satu pihak ke publik (one to many) hari ini menjadi publik ke publik (many to many). Negara yang sebelumnya menjadi aktor terkuat kini kehilangan banyak kendalinya atas saluran-saluran informasi.
Desentralisasi saluran informasi dan melemahnya kontrol negara ini membuat setiap pihak bisa menyebarkan informasi sesuka hati, sesuai dengan kepentingan mereka masing-masing. Dampak negatif dan kebebasan ini adalah menjamurnya hoax dan disinformasi. Berita palsu, fitnah, dan propaganda mengalir deras melalui grup media sosial. Jaringan sosial dalam media sosial yang berkelindan kemudian memungkinkan hoax dan kawannya menyebar ke platform media lainnya.
Data Katadata Insight Center (KIC) tahun 2020 menyebutkan bahwa 30% sampai hampir 60% orang Indonesia terpapar hoaks saat mengakses dan berkomunikasi melalui dunia maya. Sementara hanya 21% sampai 36% saja yang mampu mengenali hoaks. Kebanyakan hoaks yang ditemukan terkait isu politik, kesehatan dan agama. Temuan ini mengonfirmasi bahwa masih banyak masyarakat yang imun terhadap propaganda dan hoax.
Menyebarnya kabar palsu dan fitnah ini banyak menimbulkan masalah. Polarisasi politik pun semakin menguat karena efek ruang gema. Meski elit politik sudah berada dalam satu perahu dan kita sekarang tidak melihat perbedaan pandangan yang tajam sebagaimana pilpres lalu, tetapi pendukungnya masih bertengkar di media sosial.
Selain itu kebencian terhadap pihak lain semakin menguat karena hasutan untuk membenci mereka yang "berbeda" dimanipulasi demi kepentingan politik jangka pendek. Mengutip Merlyna Lim, media digital tidak hanya membuat orang bebas untuk berbicara (freedom of speech) tetapi juga bebas untuk membenci (freedom to hate).
Untuk mengatasi semua ini, banyak pihak menyerukan pentingnya literasi digital bagi warga. Meskipun sering diucapkan sebagai solusi, tetapi detailnya tidak pernah jelas apa yang dimaksud literasi digital. Selain itu, beban dari semua masalah ini seolah ditumpuk di pundak warga serta mengesampingkan peran platform media sosial dan media itu sendiri.
Sebenarnya apa yang dimaksud literasi digital? Lebih spesifik, kemampuan apa yang mesti dimiliki warga negara sebagai pembaca dalam menghadapi lautan informasi ini?
Bill Kovach dan Tom Rosentiel dalam bukunya yang berjudul Blur: Bagaimana Mengetahui Kebenaran di Era Banjir Informasi dengan sangat baik menjawab pertanyaan ini. Menghadapi perubahan lanskap jurnalisme, menurut Kovach, pembaca mesti dibekali keterampilan (tradecraft) yang dia sebut sebagai cara skeptis untuk mengetahui (skeptic way to know).
Dalam cara pandang skeptis, pembaca mesti tahu setidaknya enam aspek dari sebuah produk jurnalistik yang meliputi: 1) jenis konten, 2) kelengkapan informasi, 3) kualitas sumber berita, 4) bukti pendukung, 5) penjelasan alternatif, dan 6) hal lain yang perlu dipelajari.
Dengan cara berpengetahuan skeptis tersebut, pembaca akan dapat membedakan konten jurnalistik. Apakah berita yang dia konsumsi termasuk jurnalisme verifikasi yang berdasar pada sumber dan bukti kuat atau hanya jurnalisme pernyataan yang bersumber pada pernyataan narasumber. Pembaca tidak akan terjebak pada propaganda jurnalisme kepentingan yang parsial atau jurnalisme pengukuhan.
Dengan memilah jenis jurnalisme (konten) atas sebuah berita, pembaca akan lebih selektif dan tidak mudah menyebar berita bohong dan propaganda oleh situs-situs jurnalisme kepentingan. Pembaca juga akan dengan hati-hati memahami sebuah isu. Selain lebih selektif memilih media yang mengusung jurnalisme verifikasi, pembaca juga dapat mencari penjelasan alternatif atas sebuah isu. Pembaca tidak akan terjebak pada framing, melainkan mencari informasi yang lengkap dan data pendukung lainnya.
Peran Media
Keterampilan skeptis pembaca saja tidak cukup. Media sendiri harus mampu menjawab tantangan. Dalam dinamika perubahan zaman, media mesti menyadari perannya yang semakin krusial dalam menyebarkan kebenaran. Media harus tetap menjalankan fungsinya sebagai penjaga pintu. Proses verifikasi tidak semestinya ditinggalkan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Peran media untuk memeriksa fakta (fact checking) harus diperkuat dan diperbanyak. Media mesti membangun kredibilitasnya dalam menyajikan fakta dan kebenaran. Singkatnya dari sisi supply media menyajikan jurnalisme verifikasi dan pemberi makna. Sementara dari sisi demand memiliki cara pandang skeptis yang hati-hati dalam mengonsumsi berita.
Pada akhirnya, memberantas hoax tidak cukup dengan kebijakan reaktif melalui hukuman pidana. Cara seperti itu permainan whac-a-mole, sebuah permainan populer dimana kita harus memukul kepala binatang yang keluar dari lubang. Hoax seperti kepala binatang yang keluar dari lubang itu yang selalu muncul dan kita tidak tahu dari lubang mana itu muncul. Kemudian kita memukulnya dengan hukuman pidana. Cara seperti itu tidak efektif dan terlalu reaktif.
Sebagaimana kata Bill Kovach dalam Blur, "Kebohongan telah menyebar ke seluruh dunia, sedangkan kebenaran baru bersiap-siap pakai celana." Memberantas hoax dan disinformasi perlu solusi yang lebih sistematis dengan meningkatkan skeptisisme warga negara dan mengembalikan peran media sebagai pemberi makna.
Grienda Qomara penulis, tinggal di Jakarta