"Karena air dari keran itu banyak kumannya, Dek. Kalau kamu langsung minum bisa sakit perut, bisa mencret nanti," jawab saya sekenanya. Tapi dasar anak-anak, jawaban saya itu tidak membuatnya puas. "Tapi orang di film tadi itu bangun tidur kok langsung minum dari keran cuci piring sih?"
Seketika saya mengernyitkan dahi, membalik badan ke arah istri, mengangkat dagu meminta "bantuan" jawaban. Bukan kali pertama anak saya meminta penjelasan atas pertanyaan-pertanyaan sederhana. Pertanyaan tentang air minum itu salah satunya.
"Sekarang kamu tidur dulu, besok ayah jelaskan ya!" sebuah jurus pamungkas untuk menghindari perdebatan teknis menjelang tidur dengan anak. Ketika akhirnya ia pulas tertidur, justru saya yang kepikiran. Sial.
Tidak tahu bagaimana dengan Anda sekalian, tapi pertanyaan-pertanyaan seperti yang dilontarkan anak bungsu saya itu cukup sering hinggap (dan akhirnya mengganggu) di pikiran. Celakanya, pertanyaan-pertanyaan seperti itu datangnya ketika menjelang waktu istirahat di malam hari dan membuat overthinking. Kadang terpicu oleh rasa penasaran anak, tapi seringnya hasil ngelamun melihat fenomena di sekitar.
***
Sebagai orang yang tumbuh di lereng pegunungan kapur, saya pernah mengalami masa kecil meminum air sendang langsung dari alirannya. Tanpa botol atau gelas, langsung dengan tangkupan dua tangan, mirip potongan adegan di film silat kolosal ketika sang tokoh pendekar mengembara pada terik siang dan kehausan di tengah perjalanan. Sejauh ingatan, tak pernah saya mengalami diare atau sakit pencernaan setelah minum air sendang dari celah batu yang di atasnya menjulang pohon besar itu.
Tentu jika dikejar dengan pertanyaan serius, saya tidak punya jawaban saintifik atas klaim "higienitas" air sendang itu. Ketika ada orang dari manca desa bertanya tentang higienitas air sendang kami, Jagatirta selalu menjawab setengah berseloroh, "Ora ana ceritane kebo watuk." Tidak ada ceritanya kerbau batuk. Turun-temurun belum ada cerita warga mengalami sakit pencernaan atau tenggorokan setelah minumi air sendang tersebut.
Di desa, tempat saya menghabiskan masa kecil, di setiap kecamatan (setidaknya) ada dua sumber mata air sendang yang oleh warga sekitar digunakan untuk keperluan konsumsi, sanitasi, dan irigasi persawahan. Bagi warga yang secara geografis tidak mendapat kemewahan air sendang tersebut biasanya akan menggali sumur dengan kedalaman tertentu untuk mendapatkan air tanah yang layak untuk digunakan untuk kebutuhan sehari-hari.
Kehidupan tersebut berlahan sirna ketika belakangan daerah sekitar sendang-sendang tersebut dijadikan lokasi penambangan batu kapur. Keberadaan tambang menjadikan sumber mata air tercemar dan orang tidak lagi berani mengkonsumsinya. Sumber air yang tadinya tidak pernah surut akhirnya menjadi kering di musim kemarau. Sebagian sumber mata air lain dijadikan objek wisata yang dikelola pemerintah desa atau pemodal dari luar kota.
Kemudian kami dibiasakan mengkonsumsi air sumur yang harus direbus dulu, dan pada akhirnya mengandalkan air dalam kemasan galon ketika merantau di kota dewasa ini.
***
Dari hasil "riset" kecil-kecilan saya mendapati data pada 2018 jumlah mata air di seluruh indonesia mencapai 10.321 mata air. Angka tersebut menurut orang awam seperti saya adalah jumlah yang besar walaupun dijelaskan juga selama 10 tahun terakhir laju hilangnya sumber mata air tersebut mencapai 40%.
Sungguh ironis, jumlah air yang begitu melimpah justru kebanyakan dikuasai, dikelola, dan dikomersilkan oleh perusahaan-perusahaan Air Minum Dalam Kemasan (AMDK). Badan POM mencatat ada 7.780 produk AMDK yang terdaftar yang diproduksi oleh 1.032 perusahan di seluruh Indonesia pada 2020.
Entah apa yang menjadi penghambat bagi pemerintah untuk mewujudkan penyediaan air (layak) minum yang mudah dan murah untuk warganya. Statistik hilangnya sumber mata air tersebut semakin menambah gusar.
Ketika disergap overthinking, otak dungu saya kerap bertanya-jawab tentang problematika air minum ini. "Kenapa sumber air bersih justru diprivatisasi oleh korporasi?" Ah, mungkin itu karena pemerintah kita masih fokus di lini kehidupan yang lain, sehingga lebih baik (sementara) fokus penyediaan air layak minum diserahkan ke mekanisme pasar, toh masyarakat kuat-kuat aja kok beli air isi ulang.
"Kalaupun pemerintah belum mampu mengelola dan menyediakan air layak minum, kenapa tidak membuat regulasi agar dana Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan AMDK diarahkan untuk membangun program penyediaan air layak minum untuk rakyatnya?" Itu kan kamu aja yang nggak tahu, mungkin sudah jalan seperti itu. Apa kamu lupa dulu ada iklan yang salah satu narasinya sumber air su dekat? Jangan kau pikir itu cuma gimmick marketing!
"Kan teknologi penjernih air sudah ada sejak lama, klaimnya pun bombastis, air keruh disaring pakai produk penjernih itu langsung siap untuk diminum. Lantas kenapa pemerintah tidak mengambil alih produk itu dan didistribusi ke seluruh perumahan di Indonesia saja?" Ya kan itu masalah hak paten produsen mesin penjernih itu, emangnya kau pikir biayanya murah. Emangnya nggak ribet!
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu bertalu-talu di kepala. Tidak jarang otak menjawab pernyataan dengan pertanyaan lagi. "Oke, deh! Kalau memang biaya dan ubarampe hak paten teknologi penjernih air itu tadi mahal bin ribet, minimal kan pemerintah, dari hierarki terendah di pedesaan misalnya, didorong saja untuk mengelola air minum bagi warganya agar tidak perlu lagi beli air isi ulang atau merebus air untuk minum. Itu kan boros uang, boros energi!" Caranya gimana? "Ya gimana, kek. Menyediakan tangki air bersih tiap RT beserta alat penjernih yang kelas-kelas pinggir jalan itu, kek. Dialirkan ke setiap rumah, dikelola menggunakan skema koperasi desa, terus bayarnya berdasarkan meteran penggunaan."
"Memangnya kalau penyediaan air yang layak minum dikelola oleh negara kamu yakin akan bisa menyejahterakan rakyatnya? Kamu nggak lihat itu bagaimana pelayanan pemerintah terhadap monopoli penyediaan listrik? Justru keberadaan perusahaan AMDK itu bagus, biar rakyat punya daya beli dan opsi dalam memenuhi kebutuhan dasarnya!" Iya pula.
"Jangankan air layak minum, penyediaan air bersih untuk mandi dan sanitasi oleh PDAM saja masih jauh dari kata bagus. Lihat itu tab mention akun Twitter radio Suara Surabaya @e100ss dengan kata kunci air PDAM isinya keluhan pelanggan yang airnya keruh serupa kopi Janji Jiwa!"
Ya, melamun memang dapat mengakibatkan timbulnya dialog-dialog absurd dalam diri seperti di atas.
***
Bahkan setelah 76 tahun kemerdekaan Indonesia, pemerintah kita belum berhasil menjalankan amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 45. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Bagi bangsa Indonesia, yang alamnya termasyur gemah ripah loh jinawi ini, air layak minum (tap water) yang aksesnya mudah dan murah, itu masih sebatas imaji.
Semakin miris ketika membaca artikel di beberapa situs panduan wisata bagi turis asing bahkan memberikan "imbauan" untuk tidak meminum air langsung dari keran ketika sedang berwisata di Indonesia. Imbauan serupa juga sering kita temui tertempel di dekat wastafel kamar mandi beberapa hotel. Pengelola hotel tentu tidak mau dikomplain oleh tamunya gara-gara mencret selepas minum air dari keran wastafel.
Jangan berharap Anda lari pagi di taman kota kemudian menghampiri keran air dan meminumnya untuk melepas dahaga. Atau membayangkan membasahi kerongkongan dengan tap water dari wastafel kamar ketika terjaga di malam hari. Bangsa kita masih jauh dari itu semua.
Bisa sih, tapi tetap harus sedia obat diare. Hehehe.
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini