Sebagai manusia yang separuh hidupnya tidak bisa lepas dari media sosial, saya kadang asyik memperhatikan betapa khusyuknya orang berbalas komentar di kolom-kolom yang tersedia. Perhatian saya seringkali tertuju pada satu tulisan yang diunggah sebuah akun, lalu ramai mendapat perhatian dan tanggapan dari banyak orang. Tanggapan dan komentar itu kadang bisa mencapai ribuan. Seakan ada daya magnetik yang menarik banyak orang untuk masuk berpayah-payah mengetik banyak kata. Padahal tidak ada jaminan si pengunggah tulisan itu masih ada waktu menanggapi satu per satu komentar yang banyak itu, atau hanya sekadar membacanya.
Belakangan tiap kali memperhatikan hal semacam itu, saya justru merasa seperti ketemu cermin. Seperti ada bayangan muka saya di setiap komentar-komentar itu. Saya sepenuhnya sadar, pergulatan berbalas komentar itu juga pernah saya tekuni cukup lama. Bahkan dulu tidak cukup hanya membalas komentar saja; pada zaman itu saya juga merasa perlu untuk terus mencari lawan, untuk berbalas keseruan berkomentar di laman banyak grup yang saya ikuti. Kadang diselingi perdebatan, adu emosi, adu gagah, dan lain sebagainya. Ada kepuasan batin manakala saya merasa mampu mematahkan pendapat lawan debat.
Grup yang saya maksud bisa banyak bentuknya, bisa grup yang membincang tentang sejarah, teologi, budaya, kesenian, dan lain sebagainya. Ada gairah yang membuncah tiap kali menemukan grup baru yang ramai dengan keseruan diskusi. Namun keseruan apapun, sepanjang pengamatan saya, selalu saja menimbulkan efek yang kurang 'pas' --ada yang ganjil. Tadinya saya pikir ini sebab kita masih hidup di dunia, yang serba terbatas, sempit, serba kecil, serba rapuh, serba kurang, serba tidak paham, dan serba fana ini, tapi setelah saya teliti betul, saya rasa ini karena memang minat bakat saya ya di situ itu.
Negativitas
Saya sepakat dengan pengertian bahwa negativitas itu bukan berarti kosong, suwung, atau hampa, melainkan 'mengurangi'. Saya juga percaya ada daya tarik negativitas yang mampu menyeret kita untuk terus masuk ke dalam lorong hitam yang gelap yang tidak berdasar, tidak ada ujungnya, tidak ada puasanya. Lorong tidak berujung yang mengisap itu bisa ada di banyak hal, bisa kita sebut dengan banyak istilah, seperti laku konsumtif, kecanduan, boros, dan laku laku sejenisnya yang bersifat kurang atau mengurangi nilai kenormalan.
Hari ini negativitas yang bersifat mengurangi itu lazim ada pada hasrat untuk menumpahkan komentar-komentar penuh amarah di kolom-kolom komentar yang tersedia di media sosial, bahkan atas persoalan yang tidak sepenuhnya dimengerti, atau persoalan yang sama sekali bukan urusannya. Ini satu dari sekian banyak perilaku negatif yang menyeret manusia haus perhatian, semodel saya waktu itu, ke dalam kubangan lumpur ketenaran.
Manusia seperti itu banyak, beranak pinak, mati tumbuh hilang berganti, terus ada saja, yang semakin asyik berjingkrak pada saat ribuan tanda 'like' berhamburan. Kita bisa lihat, berapa orang yang harus berurusan dengan kepolisian hanya karena sifat kebinalan kuda liar ini menjelma melekat pada sekumpulan manusia yang disebut netizen ini. Yang paling anyar adalah kasus ujaran kebencian, ujaran tidak pantas dalam menanggapi tenggelamnya kapal selam dan gugurnya sejumlah angkatan laut yang sedang bertugas. Komentar tidak pantas itu jelas tidak perlu saya ketik ulang di sini; Anda bisa mencarinya di banyak berita elektronik.
Benar sekali bahwa keliaran ini tidak memandang latar belakang, profesi, dan usia. Ada anggota polisi aktif, ada bapak-bapak muda, ada ibu rumah tangga, ada pegawai negeri sipil, ada banyak orang yang tampak religius, semuanya ramai-ramai masuk ke dalam lumpur, kubangan tanah berair.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sosial media memang seperti candu, melenakan, seringkali mengaburkan kenyataan. Pada keadaan tertentu, seakan-akan kita memiliki hak untuk berbuat apa saja, kadang berbuat tidak adil, menyebar hoax, menuduh ngawur, kepada siapapun di luar sana yang kehadirannya hanya ditandai oleh gambar tidak bergerak yang disebut foto profil. Masih untung sampai hari ini saya tidak pernah merendahkan orang lain dengan cara seperti orang yang berkomentar negatif tentang tragedi tenggelamnya kapal selam di atas. Tapi kalau berdebat sudah tidak terhitung lagi, sebagian lawan debat malah sekarang menjadi kawan yang paling akrab.
Setiap kali membincang soal negativitas banyak orang ini, saya lalu teringat pada penjelasan F. Budi Hardiman tentang massa dalam bukunya yang berjudul Memahami Negativitas: Diskursus tentang Massa, Teror, dan Trauma. Dalam buku itu ia mengawali dengan menulis kutipan F. Nietzche tentang massa, begini:
Massa adalah pertama, salinan kabur orang besar, kedua, pembangkangan melawan orang besar, ketiga, alat orang besar.
Dari kutipan itu Anda tentu sudah bisa menangkap apa yang sedang ingin Budi Hardiman bahas tentang massa. Setelah mengutip omongan Nietzche tentang massa, Budi Hardiman juga mengutip pendapat dua filsuf perempuan korban kuasa totaliter Nazi, Hannah Arendt dengan bukunya The Human Condition dan Elias Canetti, filsuf asal Bulgaria. Tentang kekerasan, Arendt dalam bukunya menulis begini:
Daya dan kekuatan manusia secara mendasar tampak dalam pengalaman kekerasanβ¦. Dari daya kekuatan itulah berasal rasa kepastian diri dan identitas.
Sedangkan Canetti berbicara tentang kuasa, dan kekuatan khas manusia, ia menulis begini:
Momen survival adalah momen kekuasaanβ¦. Bentuk paling rendah dari survival adalah membunuhβ¦β¦. Momen konfrontasi dengan dia yang dibunuh memenuhi seorang survivor dengan semacam kekuatan yang khas yang tidak dapat disamakan dengan kekuatan kekuatan lainnya.
Arendt merumuskan sebuah detum antropologis yang penting bahwa akar-akar kekerasan terletak pada kerinduan manusia untuk menemukan rasa kepastian dan identitas. Senada dengan Arendt, Canetti menjelaskan apa yang dimaksud "kekuatan khas" adalah rasa kepastian diri dan kesadaran diri.
Canetti seperti juga Arendt berbicara tentang amalgama kekerasan dan subjektivitas manusia. Tidak ada fiksi filosofis yang lebih berbahaya daripada anggapan bahwa subjektivitas melulu lahir dari rasionalitas. Tapi subjektivitas lahir dari tempat penjagalan terhadap manusia manusia lain.
Mungkin Arendt dan Canetti akan heran melihat bahwa hari ini tempat penjagalan terhadap manusia-manusia lain, tetap dengan efek yang sama mematikannya, tidak melulu identik dengan tempat seram, kusam, sempit, belepotan darah dan kotoran, tapi sekarang ini bisa berada di ruang-ruang yang longgar, sejuk, di sudut rumah di ruang yang paling hangat penuh kasih sayang bersama yang dikasihi, bahkan di ruang peribadatan berpendingin dan paling mewah.
Saya suka sekali dengan tafsiran Hardiman atas dua pernyataan filsuf perempuan di atas; ia menyimpulkan bahwa idealisasi subjek sebagai pusat rasionalitas menyelubungi kenyataan bahwa kebebasan, harga diri, kehormatan, dan kesadaran diri diraih dengan biaya pengucuran darah. Rasionalitas adalah hasil akhir domestifikasi kekerasan lewat sarana sarana peradaban. Isinya sama, yaitu 'penegasan diri', hanya bentuknya berlainan. Kekerasan adalah penegasan diri apa adanya, sementara rasionalitas adalah penegasan diri dengan jalan putar.
Barangsiapa yang jijik terhadap kekerasan, dia tidak lagi menyadari, betapa jauhnya dia telah diseret oleh proses domestifikasi lewat peradaban. Barangsiapa yang terpesona oleh kekerasan, dia telah menginsyafi kembali hakikatnya sebagai makhluk alamiah. Seekor anjing yang jinak adalah nista, ringkih, dan rendah di hadapan anjing-anjing liar di rimba raya. Itulah kebebasan, itulah penegasan diri dalam perspektif seorang pelaku dan pecandu kekerasan.
Kekaburan Diri
Ada bahasan yang juga menarik tentang kekaburan diri sebagai kebalikan dari penegasan diri seperti yang di jelaskan sebelumnya. Canetti menjelaskan, bahwa jika kekerasan adalah tindakan penegasan diri, kita tidak boleh mengabaikan suatu data antropologis lain, yaitu tentang kekaburan diri manusia. Penegasan diri mengandaikan sebuat situasi negatif kekaburan diri. Sebuah dialektika yang keji terjadi di dalam batin setiap pelaku kekerasan. Ketidakmampuannya untuk menentukan diri berubah secara gaib dalam kegagahan diri saat menghadapi korbannya yang terkapar tak berdaya.
Manusia seperti ini yang kabur, yang oleh Canetti dijuluki Sang Survivor, aslinya adalah seorang yang tak mampu menentukan diri, seorang yang direndahkan dan dinistakan, yang sekarang mengimbangi defisit jiwanya lewat penegasan diri dalam mengubah orang lain menjadi jenazah bisu, menjadi objek belaka bagi suatu subjek. Pada keadaan ini, kebebasan sebagai penentuan diri eksistensial mengalami metamorfosis menjadi kebebasan kesewenangan.
Dalam negativitas seperti ini kita merasa punya kewenangan untuk menindas, meremehkan, merendahkan diri liyan, merendahkan kayakinan orang lain, bisa dengan alasan apa saja yang tujuannya hanya untuk penegasan diri kita. Lalu dalam situasi manakah manusia yang mengalami kekaburan diri itu dapat membayar defisit jiwanya? Dalam situasi massa. Massa adalah individu-individu yang lebur, dan seringkali tidak menyadari diri telah diperalat sebagai alat untuk membidik kekuasaan liyan.
Di dalam kerumunan mereka tidak berbeda satu sama lain, mereka menegaskan diri sebagai subjek kolektif yang untuk melawan subjek kolektif lain baik secara nyata maupun fiktif. Kerumunan di atas tidak harus dipahami dengan kerumunan banyak orang di sebuah tempat, bisa saja kerumunan manusia di kolom komentar yang menulis banyak kata untuk menekan kawan sekolomnya.
Bagi massa, musuh nyata ataupun fiktif sama saja, yang penting adalah representasinya sebagai suatu negativitas. Politik massa adalah politik representasi. Musuh direpresentasikan seolah olah riil di hadapan mereka. Itulah kesibukan para pentolan Massa, elite politik di era media massa. Media massa adalah instrument di tangan nabi nihilisme ini, menurut Hardiman. Koran, majalah, TV, radio, atau hari ini akun media sosial, Instagram, Facebook, Youtube, Twitter, dan seterusnya.
Mesin- mesin pencitraan ini di tangan mereka telah diubah menjadi generator sekaligus otak massa. Media massa dan sosial media mencari massa untuk meningkatkan pendapatannya. Massa mencarinya untuk mengimbangi kekerdilan jiwanya. Massa seperti ini seperti sekumpulan flamingo dalam gambaran pemikir Barat, atau mirip barisan bebek dalam gambaran saya. Menurut untuk belok kanan, sebab bebek yang berjalan tepat di sebelah kanan juga belok kanan, dan sebaliknya.
Mengenaskan jika hidup hanya untuk membebek pada media massa, atau pada akun-akun aneh, pada Youtuber paling 'sultan', atau pada sebagian akun centang biru yang kadang merasa maha benar itu.