Beberapa waktu lalu, saya ikut terlibat dalam seleksi pamong kelurahan di daerah Bantul. Saya mewakili unsur universitas sebagai pihak ketiga dalam seleksi pamong kelurahan. Tidak dinyana, menariknya dalam seleksi dukuh tersebut cukup banyak anak muda mendaftar.
Jika merujuk Undang-Undang Kepemudaan Nomor 40 tahun 2009 tentang Kepemudaan, yang tergolong pemuda dimulai rentang usia 16 sampai 30 tahun. Saat itu, dari 8 calon dukuh yang mendaftar untuk 2 padukuhan, sekitar 4 di antaranya masih di bawah 30 tahun. Jika merujuk Peraturan Daerah Bantul Nomor 5 tahun 2020, memang usia minimal calon pamong kelurahan adalah 20 tahun.
Melihat semangat anak muda yang mau kembali dan menghidupi desa tentu membawa harapan cerah. Dulu, desa yang lumrah ditinggalkan anak muda untuk merantau karena dipandang tidak menjanjikan untuk kehidupan, kini mereka sudah mulai masuk ke tampuk pimpinan desa, mulai dari menjadi lurah, dukuh, dan perangkat desa lainnya.
Jika merujuk Undang-Undang Kepemudaan Nomor 40 tahun 2009 tentang Kepemudaan, yang tergolong pemuda dimulai rentang usia 16 sampai 30 tahun. Saat itu, dari 8 calon dukuh yang mendaftar untuk 2 padukuhan, sekitar 4 di antaranya masih di bawah 30 tahun. Jika merujuk Peraturan Daerah Bantul Nomor 5 tahun 2020, memang usia minimal calon pamong kelurahan adalah 20 tahun.
Melihat semangat anak muda yang mau kembali dan menghidupi desa tentu membawa harapan cerah. Dulu, desa yang lumrah ditinggalkan anak muda untuk merantau karena dipandang tidak menjanjikan untuk kehidupan, kini mereka sudah mulai masuk ke tampuk pimpinan desa, mulai dari menjadi lurah, dukuh, dan perangkat desa lainnya.
Harapan
Harapan kepemimpinan kepada anak muda yang ada di sektor pemerintahan dari nasional hingga level desa sangat besar. Kasus yang saya ceritakan tadi contohnya. Mengapa harapan itu besar? Anak muda lebih melek terhadap perubahan zaman yang sedang ia lalui saat ini. Mulai dari bagaimana teknologi yang bisa dimanfaatkan untuk menopang berbagai kepentingan, semangat inovasi tinggi, tekad bulat khas anak muda yang sulit dipatahkan, hingga dianggap lebih bersih dari segala senggolan kepentingan.
Sikap dan semangat yang diharapkan dari kepemimpinan anak muda itu akan memiliki perubahan besar apabila bisa diterapkan di level desa. Mulai saat ini, kita perlu menghapus stigma tentang desa adalah entitas yang kuno dan tidak efektif dalam ranah pengelolaan pemerintahan.
Ketika anak muda memimpin, banyak inovasi layanan publik di level desa yang manfaatnya dirasakan oleh masyarakat. Salah satu contohnya adalah Kepala Desa Benda, Brebes, Baitsul Amri, yang mengantarkan desanya untuk mencetuskan berbagai inovasi. "Desaku Benda" adalah inovasi yang dibuat untuk memudahkan layanan publik berbasis online, dari keperluan administrasi, peta desa, hingga pajak.
Melalui aplikasi tersebut, masyarakat tidak perlu datang ke kantor desa untuk mengakses layanan, cukup buka aplikasi dan klik layanan apa yang diinginkan. Atas inisiasinya itu, "Desaku Benda" menjadi aplikasi berbasis desa pertama di Brebes yang diresmikan Maret tahun ini.
Contoh lain, kepala desa muda dari Desa Margoyoso, Adidaya Permana, sukses mengubah desa yang awalnya kering kerontang menjadi subur berpohon rimbun dengan 88 sumber mata air. Dulu, hampir setiap tahun desa ini mengandalkan bantuan air bersih untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mitos yang disebarkan untuk membuat kapok penebang pohon liar dan juga peraturan desa ampuh menjadi wanti-wanti penjaga lingkungan.
Semakin mengetuk hati kepedulian masyarakat terhadap lingkungan, Kepala Desa Margoyoso membentuk Gerakan "Sedulur Tunggal Banyu" untuk menjaga kelestarian mata air sampai ke anak cucu. Pengakuan terhadap upaya kelestarian alam Desa Margoyoso pun datang dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang memberi penghargaan Program Kampung Iklim (Proklim) Utama.
Rambu-Rambu
Di tengah kisah sukses kepemimpinan generasi muda di level desa, ada rambu-rambu yang perlu diperhatikan saat mereka ingin memimpin. Kecenderungan cara berelasi masyarakat di desa yang sangat berbeda dengan kota mewajibkan generasi muda yang memimpin bisa masuk ke berbagai kalangan dari kanal-kanak, sebaya, hingga sesepuh.
Pola relasi di desa yang sangat guyub rukun dan kekeluargaan membuat sosok pemimpin desa bukan lagi jabatan yang bisa dipatok jam kerja dari 8 pagi hingga 4 sore. Pemimpin di level desa harus siap akan keluh kesah masyarakat 24 jam penuh.
Seperti teori konflik, antarmanusia yang lebih sering berkontak komunikasi akan lebih besar pula menimbulkan potensi ketidakcocokan yang bisa tumbuh menjadi konflik. Di sinilah kepemimpinan generasi muda diuji. Jamak ditemukan bahwa calon pemimpin di tingkat desa entah itu kepala desa, dukuh, atau jabatan lainnya yang didaftar oleh generasi muda meninggalkan cerita yang tidak baik sebelumnya.
Kebanyakan dari mereka yang mencalonkan diri biasanya sudah memiliki track record kepemimpinan sebelumnya dengan lingkup yang lebih kecil, misal organisasi kepemudaan. Akibat tidak memiliki skill mengelola konflik yang baik, permasalahan yang tidak tuntas di kepemimpinan organisasi sebelumnya terbawa ke jenjang berikutnya saat mendaftar sebagai kepala desa, dukuh, atau jabatan pemerintahan level desa yang lain.
Hal inilah yang menjadi rambu bagi anak muda jika ingin memimpin desa. Skill pengelolaan konflik masyarakat yang jamak masih rendah menimbulkan distrust dan penolakan dari masyarakat yang akan mereka pimpin.
Pengalaman yang sama pernah saya temukan saat seleksi dukuh beberapa waktu lalu. Kultur desa yang guyub rukun sedikit bergejolak saat tahu salah satu generasi muda yang dianggap "bermasalah" mendaftar sebagai calon dukuh. Cerita kepemimpinannya di organisasi kepemudaan yang dianggap gagal terbawa menjadi desas-desus warga desa di level seleksi saat itu.
Itulah rambu-rambu bagi generasi muda untuk memimpin desa. Meskipun memiliki kemampuan individu yang baik, tekad kuat, dan inovasi tinggi, tetapi jika kemampuan mengelola konfliknya rendah dan tidak diterima oleh masyarakat akan menyusahkan jalannya proses amanah kepemimpinan. Jika terpilih menjadi pemimpin pun akan menjadi public enemy dan tentu membuat pelayanan desa yang bisa mencapai 24 jam itu tidak kondusif.
Inovasi, tekad, dan kemampuan personal generasi muda memang tidak diragukan guna memimpin. Namun kemampuan mengelola konflik dan bermasyarakat menjadi modal agar masyarakat yang akan dipimpin mau bersama untuk maju dan berinovasi.
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini