Penolakan terhadap rencana impor beras mengangkat kembali perdebatan mengenai pasar bebas di Indonesia. Meskipun akhirnya dibatalkan, wacana impor yang belum lama ini bergulir turut dimungkinkan akibat keberadaan dari perjanjian dagang. Salah satu perjanjian dagang yang paling disambut baik oleh Indonesia adalah Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP).
Kesepakatan yang diteken dalam sela akhir KTT ASEAN ke-37, 15 November 2020 lalu menghimpun sepuluh negara ASEAN bersama dengan Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, Selandia Baru, dan Australia dalam satu perjanjian dagang.
RCEP menjadi perjanjian dagang terbesar di dunia saat ini. Dengan 30,2% Produk Domestik Bruto (PDB), 29,6% perdagangan, dan hampir 30% populasi dunia tercakup di dalamnya, keuntungan yang diraup digadang akan sangat besar. Kementerian Perdagangan memproyeksikan keuntungan kesejahteraan (welfare gain) RCEP bagi Indonesia sebesar US$ 1,52 miliar atau Rp 21,58 triliun ketika efektif diimplementasikan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setelah delapan tahun negosiasi sejak 2012, tidak mengherankan bila Indonesia sebagai inisiator menunjukkan euforia ketika perjanjian ini difinalisasi. Namun setelah empat bulan diumumkan, RCEP hingga kini belum diratifikasi. Ketua Umum Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno pun mengakui bahwa dampak RCEP belum dapat dirasakan tahun ini.
Namun, pun bila RCEP berhasil diratifikasi, dapatkah Indonesia mendapatkan keuntungan dari perjanjian ini? Dampak RCEP kemungkinan tidak sebesar yang dibayangkan dalam beberapa aspek. Selain itu, terdapat berbagai kendala yang menghambat Indonesia dalam menggapai potensinya. Perdebatan terkait liberalisasi pasar dan ketakutan akan race to the bottom pastinya masih tetap bercokol. Namun, banyak isu lain yang belum banyak disorot setelah euforia perjanjian ini akhir tahun kemarin.
Terlalu Berfokus pada Tarif
Keunggulan RCEP terletak pada dua aspek, yaitu eliminasi tarif dan harmonisasi rule of origin. Negara anggota RCEP diwajibkan untuk melakukan pengurangan tarif hingga 92% untuk barang dagang mereka. Dengan pengurangan tarif , mata rantai suplai diharapkan dapat meningkat dalam lingkup kawasan dan tidak lagi bergantung pada pihak luar. Tarif yang lebih rendah juga memfasilitasi perusahaan asing bila ingin melakukan relokasi pabrik, seperti yang pernah dilakukan oleh tujuh perusahaan dari Tiongkok ke Indonesia pada Juli 2020 silam.
Tetapi, hambatan perdagangan saat ini tidak hanya terletak pada besarnya tarif barang. Ekonom Arianto A. Patunru dan Ira Aprilianti dalam East Asia Forum menyebutkan bahwa hambatan non-tarif (non-tariff barriers) memberikan kendala lebih besar dalam perdagangan; dan sayangnya, tidak dapat diatasi melalui perjanjian ini.
Hambatan non-tarif perdagangan kebanyakan bersifat struktural, di antaranya seperti infrastruktur yang belum mumpuni, institusi yang lemah, dan regulasi dalam negeri yang tidak mendukung. Bukannya RCEP tidak dapat mengatasi permasalahan tersebut, namun lebih tepat disebut bila penyelesaian masalah tersebut dilimpahkan ke negara masing-masing.
Dengan hambatan non-tarif yang masih belum diatasi, tidak ada jaminan bahwa potensi pasar baru melalui RCEP akan jatuh ke Indonesia. Bila ada pasar lain yang lebih potensial, contohnya Vietnam dengan tenaga kerja yang relatif murah namun memiliki infrastruktur dengan kualitas tinggi, secara logis Indonesia tidak akan menjadi prioritas utama.
Minim Kebaruan
Lepas dari hambatan non-tarif, tarif yang dipangkas RCEP sebenarnya masih kecil dibandingkan perjanjian perdagangan bebas lain. Perjanjian lain di kawasan, yaitu Comprehensive and Progressive Agreement for Trans-Pacific Partnership (CPTPP) yang juga menghimpun Vietnam, Brunei, Singapura, dan Malaysia dapat mengeliminasi tarif hingga 99% antarnegara anggota. Reduksi tarif tersebut belum termasuk isu lain yang tidak diatasi oleh RCEP, seperti perlindungan tenaga kerja, peraturan terkait lingkungan, dan regulasi BUMN.
Peneliti Hinrich Foundation Stephen Olson menyebutkan bahwa reduksi tarif yang rendah merupakan sesuatu yang realistis, mengingat banyak dari anggota RCEP merupakan negara dengan performa ekonomi menengah. Tetapi, hal tersebut secara tidak langsung turut menunjukkan bahwa keberadaan RCEP tidak sesignifikan yang banyak orang bayangkan. Selebihnya, eliminasi tarif sendiri bukan merupakan hal yang baru bagi negara-negara anggota.
Kebanyakan tarif yang direduksi melalui RCEP sudah pernah diatur dalam perjanjian dagang bebas yang sudah ada sebelumnya. Bahkan sebelum RCEP ditandatangani, Indonesia sendiri telah memiliki free trade agreement (FTA) dan comprehensive economic partnership (CEPA) dengan seluruh anggota RCEP, baik secara bilateral ataupun multilateral melalui FTA ASEAN.
Eliminasi tarif yang disetujui pun tidak kalah besar. CEPA Indonesia-Australia yang berlaku sejak Juli 2020 lalu, misalnya, menerapkan eliminasi tarif sebesar 100% untuk impor dari Indonesia. Hal tersebut membuat RCEP hanya dipandang sebagai konsolidasi dari perjanjian yang sebelumnya memang sudah ada. Tanpa harmonisasi rule of origin dan surat keterangan asal (KTA) barang, RCEP tidak memberikan terobosan besar bagi perdagangan Indonesia.
Ancaman bagi UMKM
Meningkatnya arus barang luar juga ditakutkan akan mengancam usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), terutama di masa pandemi seperti sekarang. UMKM dikhawatirkan tidak dapat bersaing dengan produk luar yang, akibat berbagai kendala struktural, lebih mengungguli beberapa pasar dalam negeri Indonesia. Kasus Mr. Hu dan tuduhan Shopee atas "pembunuhan" UMKM hanya menjadi sebagian kecil dari fenomena predatory pricing yang semakin dimungkinkan akibat perjanjian semacam ini.
Menteri Perdagangan (kala itu) Agus Suparmanto sebelumnya pernah mengklaim bahwa RCEP akan mendongkrak UMKM dengan memperluas pasar yang dapat diakses. Tetapi, UMKM Indonesia memiliki batasan dalam merespons perluasan pasar ini. Di tengah menurunnya performa akibat pandemi, kapasitas produksi UMKM relatif masih sangat terbatas. Selain itu, dibandingkan negara RCEP lain, UMKM Indonesia sendiri masih belum cukup terintegrasi ke dalam global value chain (GVC).
Malaysia, contohnya, sejak akhir 1970-an telah mendorong UMKM sebagai pemasok pada sektor elektronika dari pasar global. Thailand juga menerapkan strategi serupa melalui SME Promotion Plan pada tahun 2000-2002 secara khusus untuk industri pasar otomotif. UMKM kedua negara tersebut secara berurutan memiliki kontribusi terhadap GVC negara sebesar 46,2% dan 29,6%, jauh dibandingkan UMKM Indonesia yang hanya menyumbang sebesar 6,3%.
Prospek RCEP bagi UMKM bertumpu pada kontribusinya terhadap pasar ekspor. Tetapi, kontribusi UMKM untuk ekspor Indonesia saat ini masih relatif rendah, yaitu sebesar 14% pada 2020. Dengan kondisi ekonomi yang masih terpuruk dan kontribusi yang minim dibandingkan sektor ekonomi lain, banyak pihak meragukan manfaat RCEP bagi UMKM.
Akankah Indonesia Menjadi Prioritas?
RCEP memberikan peluang bagi Indonesia melalui pembukaan pasar. Namun, hal tersebut tidak serta merta membuat partner potensial memprioritaskan Indonesia dibandingkan negara lain dalam perjanjian dagang. Bila terdapat anggota RCEP lain yang lebih menjanjikan sebagai mitra, prioritas ekspor-impor yang difasilitasi perjanjian ini dapat bergeser menjauhi Indonesia. Salah satu negara yang paling mendapatkan potensi adalah Vietnam yang bangkit menjadi salah satu pasar paling prospektif di ASEAN dalam beberapa tahun terakhir.
Rendahnya daya saing dan pemulihan pandemi yang belum menyeluruh membuat Indonesia belum akan mendapatkan potensi maksimal dari RCEP. Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati menyebutkan bahwa kondisi tersebut cukup ironis karena secara filosofis Indonesia sebagai inisiator seharusnya mendapatkan manfaat terbesar dari perjanjian ini.
Meskipun Indonesia menjadi inisiator dari RCEP, ekonomi yang lebih mapan seperti Tiongkok dan Jepang diduga dapat lebih mendominasi. Tiongkok, terutama, yang menjadi salah satu negara dengan pemulihan ekonomi paling cepat ketika pandemi dan dalam beberapa tahun terakhir menerapkan strategi ekspansi ekonomi yang predatoris; tidak hanya melalui investasi, namun juga harga barang yang kelewat murah yang bersifat disruptif terhadap pasar lokal. Kondisi tersebut diperburuk dengan neraca dagang Indonesia-Tiongkok yang defisit selama lima tahun terakhir sejak 2015.
Beberapa upaya persiapan sebenarnya telah dilakukan. Tetapi, rencana yang belum dieksekusi dengan baik akhirnya berakhir dengan penolakan, contohnya UU Cipta Kerja yang diklaim dapat mempermudah arus investasi dan membuat iklim ekonomi lebih ramah perdagangan bebas. Selain daya saing, Indonesia perlu memastikan bahwa influx dari investasi dan barang luar tidak mencederai ekonomi lokal yang masih jauh dari kata pulih setelah pandemi.
RCEP harus dipandang secara realistis. Indonesia sepatutnya tidak melakukan selebrasi berlebih atas gelarnya sebagai inisiator; masih terdapat banyak hal yang dapat dibenahi bila ingin meraup potensi maksimal dari perjanjian ini.
Apakah RCEP memberikan dampak signifikan? Dalam beberapa aspek, mungkin tidak. Namun apakah RCEP ini akan lebih memberikan manfaat atau kerugian, bergantung dari bagaimana Indonesia menyikapi dampak-dampak turunan perjanjian ini.
Arrizal Jaknanihan mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada