Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim kembali menjadi sorotan masyarakat usai menyampaikan draft Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2020-2035. Polemik terjadi karena karena Mendikbud dianggap telah menghilangkan frasa agama dalam visi draft Peta Jalan Pendidikan Indonesia itu.
Sebagai generasi yang hampir "seumuran" dengan Mendikbud, saya tetap selalu menaruh rasa hormat padanya karena telah mampu mengangkat isu-isu pendidikan yang selama ini dianggap tidak begitu "seksi" dibandingkan dengan isu politik, hukum, maupun ekonomi. Setidaknya selama dia menjabat, isu-isu tentang pendidikan telah mendapatkan cukup banyak dialektika di ruang publik.
Sebenarnya saya tidak ingin terjebak pada perdebatan hilangnya frasa agama dalam draft Peta Jalan Pendidikan ini, karena tahu kapasitas saya hanyalah praktisi pendidikan. Sesuai dengan klarifikasi yang sudah disampaikan oleh Mendikbud terkait dengan polemik ini, sebenarnya saya sangat memahami apa yang menjadi idenya untuk menerjemahkan Peta Jalan Pendidikan yang dibuat secara "ringkas" dengan format pdf berjumlah 73 halaman itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pertama, "mungkin" karena melihat kualitas budaya literasi masyarakat Indonesia yang lemah. Kedua, "mungkin" sengaja menguji dan menerjemahkan sistem Pendidikan Nasional kita. Alasan kedua ini sebenarnya sesuai dengan apa yang saya pikirikan selama ini.
Tak jarang saya harus menerima curhatan teman sesama guru maupun dosen di perguruan tinggi. Satu minggu yang lalu saya mendengarkan curhatan teman yang berprofesi dosen, gara-gara tidak bisa lolos sertifikasi dosen karena pindah mengajar di prodi yang di bawah naungan kementerian lain. Setelah mendengarkan cerita teman tersebut, saya baru sadar bahwa di dalam satu perguruan tinggi ternyata bisa ada dua naungan kementerian yang berbeda, yakni Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Agama.
Menurut saya ide Mendikbud untuk tidak secara eksplisit memasukkan frasa agama dalam visi Peta Jalan Pendidikan itu lantaran sudah ada sistem pendidikan yang secara eksplisit tentang agama. Akhlak mulia dan Pancasila "mungkin" menjadi kata yang dipilih oleh Mendikbud karena dianggap mewakili frasa agama itu sendiri. Menggunakan kata "akhlak mulia" sebagai wujud orang yang beragama, kemudian Pancasila yang di dalamnya sudah pasti ada nilai-nilai ke-Tuhan-an.
Tapi karena untuk memastikan idenya itu, dia melemparkan ke ruang publik sehingga dari draft itu ada kritik dan masukan yang bisa meyakinkannya dalam menyusun visi pendidikan nasional secara tepat. Polemik ini secara tidak langsung telah membawa saya pada "keparnoan" peristiwa yang akhir akhir ini saya alami.
Satu minggu yang lalu saya mendapatkan tugas dari sekolah untuk melakukan home visit ke salah satu rumah siswi saya pada jenjang SMP, yang sudah hampir setengah semester tidak ada kabar sama sekali. Saya sebenarnya cukup kaget karena siswi tersebut dalam kategori siswi yang terbaik dalam hal akademik sekaligus aktif di organisasi siswa.
Sebelum berangkat saya berpikir siswi ini tidak aktif dalam kegiatan pembelajaran daring karena masalah ekonomi. Sehingga saya menyiapkan "jurus-jurus" yang nanti akan saya gunakan untuk memotivasi sekaligus memberikan opsi agar siswi ini tetap semangat dalam melanjutkan sekolah. Tapi begitu sampai di rumahnya, saya dibikin kaget karena penyebab ketidakaktifan dalam kegiatan pembelajaran daring bukan karena masalah ekonomi, melainkan si siswi tersebut telah dilamar oleh pihak keluarga pacarnya.
Selang tiga hari dari kegiatan home visit ke salah satu siswi itu, saya kembali dikagetkan dengan kasus yang sama dan lebih "ekstrem". Anak dari tetangga samping rumah yang masih SMP "terpaksa" melangsungkan pernikahan karena akan menjadi "calon bapak". Tentu peristiwa ini membuat saya sangat kaget dan juga semakin menambah "keparnoan" saya. Terlebih anak kedua saya baru saja lahir.
Belum hilang "keparnoan" saya tentang dua peristiwa yang saya alami, saat teman saya berkunjung untuk melihat bayi saya yang baru lahir, kembali saya mendapatkan cerita yang kurang baik yang lagi-lagi dilakukan oleh seorang pelajar. Teman saya cerita bahwa baru saja menangani kasus siswa yang magang di perusahaan kecilnya. Kasus kali ini berbeda dengan peristiwa yang saya alami sebelumnya. Dia bercerita bahwa kapan hari kantornya didatangi oleh pihak kepolisian dan membawa salah seorang siswa magang di kantornya karena diduga terlibat penyalahgunaan dan pengedaran NAPZA.
Dari beberapa peristiwa tersebut saya tahu, perjuangan beberapa tokoh dan masyarakat untuk mengembalikan dan "menebalkan" frasa agama pada visi pendidikan nasional sangatlah rasional. Di saat orang mengalami peristiwa yang saya sampaikan di atas, pastilah sadar bahwa "agama" menjadi sangat penting untuk ditanamkan pada anak-anak.
Saat ini yang masih melaksanakan kebijakan dengan adanya frasa agama saja, masih banyak peristiwa kurang baik yang dilakukan oleh pelajar. Apalagi jika frasa agama itu betul-betul hilang, ya saya semakin "parno" terhadap moralitas generasi mendatang yang akan dihadapkan pada keterbukaan arus informasi global.
Jika pun nanti Peta Jalan Pendidikan ini sudah jadi, hal terpenting kemudian adalah "membumikan" dokumen tersebut. Artinya kebijakan kebijakan tersebut nantinya harus bisa bersinergi dengan pelaksana kebijakan. Sebagai pelaksana kebijakan seperti saya ini, tidak lagi disibukkan dengan pertentangan kebijakan apalagi penafsiran kebijakan, tapi langsung pada teknis implementasi kebijakan itu. Sehingga tugas yang saya emban untuk menyiapkan generasi unggul bisa tercapai.
Eri Hendro Kusuma guru di Kota Batu, Jawa Timur