Ketika pandemi corona "ulang tahun" yang pertama di negeri ini, tentu tak ada tiup lilin dan potong kue. Tentu tak ada perayaan sebagaimana lazimnya sebuah acara ulang tahun. Tak ada pula pentas seni maupun makan bersama dalam suka cita. Yang ada adalah kedukaan demi kedukaan yang terus kita alami. Kegelisahan yang makin hari bertambah parah yang menumbuhkan beragam ketakutan dan paranoid.
Covid-19 yang ulang tahun adalah tanda bahwa kita belum berhasil menjaga diri. Belum sepenuhnya taat pada aturan dalam menyelamatkan diri kita masing-masing. Belum juga kita berhasil bergotong royong, bahu membahu dalam menyelamatkan spesies manusia di muka bumi ini. Semua menandakan bahwa kita masih belum mampu menjadikan diri kita disiplin.
Penanganan Covid-19 ini harus disadari sebagai tugas bersama, bukan tugas segelintir orang. Bukan pula tugas tenaga kesehatan dan pemerintah semata. Tugas penanganan pandemi hakikatnya adalah tugas setiap individu, tanpa terkecuali.
Setahun penuh kita berjuang menanggulangi pandemi ini. Berbagai upaya telah kita lakukan secara serius. Beragam pengorbanan telah kita lakukan. Gelontoran bantuan dana, sembako dan tenaga, serta bermacam bantuan telah kita lakukan termasuk riset kesehatan dan kesabaran kita dalam melaksanakan pembatasan diri dalam berkegiatan. Semua yang kita lakukan telah benar. Namun tentu masih terlalu banyak alasan untuk mengatakan bahwa ikhtiar yang sudah kita lakukan masih jauh dari efektif dan efisien. Toh ini bukan hanya masalah anggaran yang minim, namun lebih kepada perilaku kita yang masih abai.
Akhirnya ketika corona ini ulang tahun, anak-anak kita belum bisa sekolah tatap muka. Pun kita belum bisa pergi ke tempat-tempat wisata di kala libur panjang. Juga kita belum bisa secara leluasa beraktivitas tanpa harus mengenakan masker. Inilah yang harus kita evaluasi terhadap perilaku individu kita. Tanpa harus saling melemparkan cacian dan menunjuk hidung orang lain sebagai penyebab pandemi ini belum berakhir. Akuilah bahwa ihwal pandemi yang belum berangsur surut ini adalah kesalahan diri kita semua.
Covid-19 yang ulang tahun adalah tanda bahwa kita belum berhasil menjaga diri. Belum sepenuhnya taat pada aturan dalam menyelamatkan diri kita masing-masing. Belum juga kita berhasil bergotong royong, bahu membahu dalam menyelamatkan spesies manusia di muka bumi ini. Semua menandakan bahwa kita masih belum mampu menjadikan diri kita disiplin.
Penanganan Covid-19 ini harus disadari sebagai tugas bersama, bukan tugas segelintir orang. Bukan pula tugas tenaga kesehatan dan pemerintah semata. Tugas penanganan pandemi hakikatnya adalah tugas setiap individu, tanpa terkecuali.
Setahun penuh kita berjuang menanggulangi pandemi ini. Berbagai upaya telah kita lakukan secara serius. Beragam pengorbanan telah kita lakukan. Gelontoran bantuan dana, sembako dan tenaga, serta bermacam bantuan telah kita lakukan termasuk riset kesehatan dan kesabaran kita dalam melaksanakan pembatasan diri dalam berkegiatan. Semua yang kita lakukan telah benar. Namun tentu masih terlalu banyak alasan untuk mengatakan bahwa ikhtiar yang sudah kita lakukan masih jauh dari efektif dan efisien. Toh ini bukan hanya masalah anggaran yang minim, namun lebih kepada perilaku kita yang masih abai.
Akhirnya ketika corona ini ulang tahun, anak-anak kita belum bisa sekolah tatap muka. Pun kita belum bisa pergi ke tempat-tempat wisata di kala libur panjang. Juga kita belum bisa secara leluasa beraktivitas tanpa harus mengenakan masker. Inilah yang harus kita evaluasi terhadap perilaku individu kita. Tanpa harus saling melemparkan cacian dan menunjuk hidung orang lain sebagai penyebab pandemi ini belum berakhir. Akuilah bahwa ihwal pandemi yang belum berangsur surut ini adalah kesalahan diri kita semua.
Industri Pariwisata
Ketika kita merujuk pada informasi dan segala macam komentar yang bertebaran di media sosial, kita akan menangkap berbagai kegelisahan yang teramat mengerikan yang tengah dirasakan oleh semua lapisan masyarakat. Salah satunya dunia pendidikan vokasi yang akan terus menurun kualitasnya. Padahal kita sedang menggaungkan pendidikan vokasi pada jenjang sekolah menengah dengan meningkatkan kualitas dan jumlah Sekolah Menengah Kejuaraan (SMK) dalam berbagai bidang keahlian. Tak terkecuali keahlian yang menunjang pada industri pariwisata.
Tulang punggung pendidikan vokasi adalah institusi yang menyediakan tempat untuk magang dan training. Pendidikan vokasi tidak berkutat pada dunia teoritis sebagaimana pendidikan pada umumnya. Pendidikan vokasi selalu berbicara pada skill dan keterampilan terapan. SMK bidang otomotif tentu memerlukan bengkel yang representatif untuk mengasah kemampuannya. SMK rumpun tata boga tentu membutuhkan restoran yang bagus untuk mempraktikkan teori yang didapat dari kelas. Sehingga setiap pengetahuan yang didapat dari bangku sekolah bisa langsung diterapkan dan dibandingkan dengan kondisi nyata.
Begitu pula SMK bidang pariwisata, perhotelan, dan lainnya memerlukan "lahan" yang serumpun dengan bidangnya. Pendidikan vokasi harus match antara kegiatan kelas dan praktik lapangan. Namun saat ini semua industri seperti tiarap. Bahkan industri pariwisata seakan mati suri. Anak-anak SMK pariwisata tidak lagi bisa magang di hotel, di restoran internasional, dan ditempat hiburan lainnya. Mereka hanya dijejali dengan teori melalui tontonan video dan melakukan simulasi "sekan-akan".
Apakah cukup mereka magang melalui Youtube dan praktik kerja dengan mengandalkan situasi "seakan akan"? Apakah bisa mereka merasakan mana makanan Eropa dan Asia dengan mengandalkan pembelajaran daring? Tentu tidak bisa. Video hanya menyajikan sisi visual, bukan rasa dan pengalaman. Begitupun ketika SMK rumpun bahasa asing tidak bisa secara langsung "cas cis cus" ngobrol dengan "bule" ketika menjadi guide.
Akhirnya secara tidak langsung, pandemi telah menggerus skill dari lulusan SMK sebagai salah satu pendidikan vokasi pada tingkatan menengah. Kurangnya lembaga yang bisa menampung mereka untuk magang dan praktik kerja mengakibatkan kualitas outcome dari sekolah vokasi ini juga akan semakin rendah. Pandemi telah men-downgrade skill lulusan SMK. Jika ini terjadi dalam waktu lama, maka dunia industri selanjutnya akan diisi oleh SDM yang memiliki kemampuan seadanya.
Inilah yang menjadi kekhawatiran kita sebagai negara yang memiliki potensi wisata yang sangat banyak. Bahkan pemerintah sebelumnya telah sepakat untuk membangun destinasi superioritas di berbagai titik di Nusantara ini. Lalu bisakah destinasi superioritas ini diisi oleh SDM yang magangnya melalui Youtube?
Industri pariwisata bukan hanya mengandalkan soft skill semata, namun hard skill juga sangat dibutuhkan. Insan pariwisata bukan hanya dilihat dari keramahannya saja, namun kemampuan lain dalam menangani setiap stres yang yang diberikan oleh setiap pengunjung. Standar minimal turis setiap negara akan berbeda pada setiap aspek. Sehingga praktik lapangan di destinasi wisata adalah hal vital yang harus diperoleh setiap siswa SMK rumpun pariwisata.
Vaksinasi
Saat ini tentu bukan waktu yang tepat untuk mempromosikan wisata. Toh meskipun berpromosi, tempat wisatanya pun tidak beroperasi. Jika pun beroperasi, masih dibatasi dengan aturan yang sedemikian ketat. Sehingga yang bisa kita lakukan hari ini untuk dunia pariwisata adalah secepatnya melakukan vaksinasi untuk semua pemangku kepentingan. Bukan hanya pelayan hotel, kru kapal pesiar, guide, dan pelaku lainnya, namun harus menyasar juga peserta didik SMK atau lembaga pendidikan yang menunjang industri pariwisata.
Ini bertujuan agar semua peserta didik pada lembaga pendidikan pariwisata bisa segera terjun ke lapangan untuk mendapatkan pengalaman nyata yang kelak bisa diterapkan ketika mereka betul-betul bekerja. Jika ini bisa dilakukan dalam waktu dekat, ketimpangan kualitas SDM pariwisata ini mudah-mudahan akan segera bisa kita kejar.
Akhirnya ketika vaksinasi ini telah didapatkan oleh semua pelaku industri ini, semua destinasi harus segera menyiapkan diri dalam menyongsong serbuan wisatawan yang akan bereuforia merayakan kemenangan perang melawan pandemi Covid-19 ini. Inilah saat-saat yang kita tunggu ketika semua destinasi wisata dijejali oleh pengunjung.
Seperti halnya saya yang memiliki kerinduan akan macetnya jalanan Kuta, Canggu, Pantai Pandawa, Seminyak, dan jalan lainnya di Bali.
Rindu akan sibuknya bandara Ngurah Rai, penuhnya Central Parkir Kuta oleh bus pariwisata dan berjubelnya manusia di pantai pada sore hari. Dan, tentu iringan musik yang memekakkan gendang telinga di setiap beach club. Inilah sekelumit kerinduan saya setelah setahun Covid memporakporandakan industri pariwisata Bali.
Dede Solehudin, S.E pemerhati masalah sosial, tinggal di Bali
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini