Jalan Buntu Kisruh Politik di Myanmar

ADVERTISEMENT

Kolom

Jalan Buntu Kisruh Politik di Myanmar

Azriansyah - detikNews
Rabu, 17 Mar 2021 12:10 WIB
Kudeta Myanmar: Kerajaan bisnis misterius dan menggurita yang mendanai militer
Foto: BBC World
Jakarta -

Satu bulan setelah militer Myanmar merebut kekuasaan pada 1 Februari 2021 lalu, kisruh politik di negeri sejuta pagoda tersebut justru semakin mendekati titik didih. Tercatat hampir 60 orang tewas dan 1.800 pengunjuk rasa ditahan oleh aparat keamanan. Tekanan dunia internasional baik secara bilateral maupun multilateral melalui forum ASEAN dan PBB yang mengecam kudeta dan mendesak adanya dialog damai masih jauh panggang dari api.

Seruan para Menlu ASEAN melalui Informal ASEAN Ministerial Meeting (IAMM), misalnya, agar Myanmar membuka dialog dan menegakkan nilai-nilai demokrasi dan HAM yang termaktub dalam piagam ASEAN justru direspons dengan terbunuhnya 38 pengunjuk rasa pada 3 Maret atau berselang sehari setelah IAMM, dan menjadi hari paling berdarah sejak kudeta.

Dapatkah kisruh politik di Myanmar diselesaikan secara damai melalui dialog antara militer dan kalangan sipil Myanmar sebagaimana diharapkan oleh dunia internasional? Melihat perkembangan terkini, upaya untuk membujuk militer dan kalangan sipil yang menamakan dirinya sebagai Gerakan Pembangkangan Sipil (CDM) tampaknya sulit diwujudkan, setidaknya dalam waktu dekat. Anatomi politik atas motivasi dan struktur kekuatan militer dan CDM akan membantu menjelaskan persoalan ini.

Kendala Dialog

Ada tiga alasan yang mendasari kesulitan ini. Pertama, situasi politik di Myanmar saat ini tengah berada dalam kondisi point of no return yang mengarah pada zero-sum game. Dengan kata lain, hanya akan ada satu pemenang dari kedua belah pihak yang berseteru. Jika salah satu pihak mengendurkan tekanannya, maka momentum politik yang ada akan direbut oleh pihak lain yang justru akan melemahkan posisi tawar dari pihak yang mengendurkan tekanan di meja perundingan nanti.

Motivasi militer dalam melancarkan kudeta adalah untuk mempertahankan privilese ekonomi-politiknya yang terus tergerus oleh Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang dipimpin Aung San Suu Kyi. Eksperimen demokrasi elektoral dalam satu dekade terakhir meyakinkan militer bahwa masa depan politik mereka akan tertutup jika format politik tersebut dilanjutkan.

Kekhawatiran ini terbukti dari kiprah Partai Persatuan Solidaritas dan Pembangunan (USDP), mesin politik militer yang mengalami kekalahan telak pada Pemilu 2020 dengan hanya meraih 21 kursi dari yang sebelumnya meraih 41 kursi pada Pemilu 2015. Parahnya lagi, secara bersamaan NLD berhasil menambah kekuatannya di parlemen menjadi 399 kursi dari 390 kursi pada pemilu 2015. Kemenangan telak NLD memperkuat legitimasi Aung San Suu Kyi untuk melaksanakan janji kampanyenya yaitu amandemen konstitusi, merancang federalisme, dan melanjutkan proses perdamaian dengan etnis minoritas.

Hasil pemilu tersebut jelas mengancam eksistensi militer dalam politik nasional karena program politik NLD tersebut akan mencabut privilese politik yang menjadi fondasi politik militer, seperti jatah 25 persen kursi di parlemen sebagaimana diatur dalam Konstitusi 2008. Tak heran jika Jenderal Min Aung Hlaing, pimpinan militer, melancarkan kudeta karena menganggap inilah satu-satunya katup penyelamat bagi eksistensi politik militer. Mereka tidak peduli dengan ancaman sanksi dan isolasi internasional, sebagaimana disampaikan oleh Utusan Khusus PBB untuk Myanmar Christine Schraner Burgener yang berkomunikasi dengan petinggi militer setelah terjadinya kudeta.

Di sisi lain, kudeta juga menjadi point of no return bagi kalangan sipil. Para aktivis CDM berpandangan bahwa kembalinya militer ke tampuk kekuasaan akan melontarkan mereka ke "zaman kegelapan" ketika rezim junta militer menindas rakyat dan menjadikan Myanmar sebagai pariah selama 49 tahun.

Trauma politik tersebut mewariskan militansi dari "Angkatan 88" (kelompok aktivis mahasiswa militan yang berpusat di Universitas Yangon dan Universitas Teknologi Yangon yang menjadi motor gerakan pro-demokrasi pada tahun 1988) kepada generasi muda Myanmar yang telah mencicipi ranumnya keterbukaan politik dan pertumbuhan ekonomi dalam satu dekade terakhir, untuk secara spontan melakukan demonstrasi dan pembangkangan sosial dalam wadah CDM.

Mereka menuntut pemulihan pemerintahan di tangan pemimpin sipil pimpinan Aung San Suu Kyi selaku pemenang pemilu. Trauma politik, warisan militansi dari "Angkatan 88", serta kerinduan akan alam politik yang terbuka menjadi bara yang membakar aksi protes untuk terus berlanjut meskipun mendapat perlakuan brutal dari militer.

Alasan kedua dari sulitnya menginisiasi dialog di Myanmar adalah tercederainya rasa saling percaya yang telah dirintis sejak keran keterbukaan politik dibuka tahun 2011. Hal ini tidak hanya terbatas pada rasa saling percaya antara NLD dengan militer, tetapi juga dengan kelompok etnis minoritas yang selama ini berkonflik. Integrasi nasional adalah masalah kronis di Myanmar sejak republik ini berdiri.

Perang saudara di Myanmar adalah konflik domestik dengan durasi terlama di dunia (Englehart, 2020). Konflik yang melibatkan etnis Bamar yang merupakan mayoritas (69 persen dari total populasi) dengan etnis-etnis minoritas menimbulkan instabilitas politik yang membuka pintu bagi mliter untuk melakukan kudeta pada 2 Maret 1962 dengan alasan memulihkan keamanan dan ketertiban untuk menjaga integrasi nasional.

Hal ini pula yang digunakan militer sebagai alibi untuk mengambilalih kekuasaan pada 1 Februari lalu. Langkah ini jelas merusak rasa saling percaya yang sudah dirintis secara serius dengan terselenggaranya Konferensi Perdamaian Panglong yang dimulai pada tahun 2016 yang berlanjut pada tahun 2017, 2018, dan terakhir pada tahun 2020 lalu.

Tabiat institusional dari militer yang terbentuk oleh perjalanan sejarahnya, telah mengukuhkan koersi sebagai instrumen utama penyelesaian masalah politik ketimbang dialog (Callahan 2005). Hal ini kongruen dengan pola umum rezim militer di dunia yang akrab dengan perang saudara dan pelanggaran HAM karena wataknya yang mengedepankan kekerasan (Geddes, Frantz, dan Wright, 2014). Manakala koersi menjadi konstanta dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka upaya-upaya membangun dialog akan sulit diwujudkan.

Alasan ketiga adalah longgarnya struktur organisasi dari gerakan anti-kudeta yang dimotori oleh CDM. Akibatnya, akan sulit untuk mencari wakil yang legitimate dari pihak CDM ketika momentum dialog terbuka. Meskipun salah satu tuntutan dari CDM adalah pemulihan pemerintahan sipil pimpinan Aung San Suu Kyi, namun CDM dan NLD adalah dua entitas yang berbeda. Tidak semua aktivis yang tergabung dalam CDM otomatis adalah pendukung NLD.

Sebagai contoh, GSNC (General Strike Committee of Nationalities) adalah komite pemogokan nasional yang didominasi oleh etnis minoritas yang merupakan satu dari tiga elemen CDM, bukanlah pendukung NLD. CDM merupakan gerakan yang berasal dari aksi spontan "Angkatan 88" dan generasi muda Myanmar untuk melawan kembalinya rezim militer ketimbang aksi massa yang diorganisir dan diinisiasi oleh kader NLD.

Terlebih lagi, CDM bukanlah suatu lembaga politik yang terkonsolidasi melainkan sebuah koalisi besar yang bersifat spontan dan tidak memiliki struktur pimpinan yang definitif. CDM terdiri dari tiga kelompok: CRPH (Komite yang mewakili anggota parlemen nasional yang terpilih pada pemilu 2020 yang mayoritas berasal dari NLD), GSC (General Strike Committee, komite pemogokan nasional yang didominasi etnis Bamar), dan GSNC. Dengan struktur yang samar dan tanpa kepemimpinan yang definitif, sulit bagi CDM untuk menentukan figur yang secara sah mewakili lembaga tersebut dalam dialog.

Momentum Dialog

Dengan konstelasi politik di lapangan yang sedemikian kompleks, lantas apakah harapan dari dunia internasional untuk mendorong dialog hanyalah fatamorgana? Tentu saja potensi agar dialog dapat terlaksana tetaplah ada, namun momentum tersebut baru dapat terwujud dalam kondisi-kondisi tertentu. Meskipun situasi saat ini merupakan point of no return baik bagi militer maupun CDM, namun mengingat kekuasaan koersi dan ekonomi berada di tangan militer maka lembaga ini memainkan peran penting dalam terciptanya momentum dialog.

Jika pembangkangan sosial dan tekanan internasional terus berlangsung dalam rentang waktu yang lama sehingga memicu aparat negara untuk membelot, maka ini akan membuat militer "kehabisan bensin". Simtom tersebut mulai terlihat, misalnya seperti tindakan Dubes Kyaw Moe Tun yang merupakan wakil tetap Myanmar untuk PBB New York untuk menentang kudeta.

Kendati simtom tersebut mulai tampak tetapi sejarah menunjukkan bahwa isolasi dan sanksi internasional selama puluhan tahun bukanlah resep mujarab untuk menekan militer. Faktor ideologi bahwa militer adalah satu-satunya elemen pemersatu bangsa serta kapasitas finansial yang masif menjadi elemen penting dalam menyokong militer untuk bertahan.

Sebaliknya, dengan struktur organisasi yang longgar dan lumpuhnya ekonomi akibat pemogokan massal, sulit bagi CDM untuk dapat meneruskan perlawanan rakyat dalam durasi yang lama. Pemogokan massal yang melumpuhkan ekonomi nasional justru menghantam sendi kehidupan rakyat Myanmar sendiri ketimbang militer.

Keuntungan dari bisnis yang dikelola militer sebagian besar berasal dari sektor ekstraktif seperti pertambangan, perminyakan, dan kehutanan yang bersifat enclave economy tidak berkaitan langsung dengan aktivitas ekonomi masyarakat sehari-hari. Dengan kata lain, jika pembangkangan sosial ini dilakukan dalam durasi yang panjang, maka justru kalangan sipil yang "kehabisan bensin", bukan militer.

Dengan demikian, kisruh politik secara singkat terangkai dalam utas Twitter Thant Myint-U, sejarawan Myanmar yang juga cucu dari U-Thant (mantan Sekjen PBB dari Myanmar). Ia menyampaikan bahwa jendela resolusi damai sudah tertutup sehingga akhir dari konflik akan ditentukan oleh kapasitas militer dalam menjinakkan perlawanan massa serta keberanian, keterampilan, dan tekad dari para penentang kudeta untuk terus mengobarkan api perlawanan. Kekisruhan politik di Myanmar tengah menemui jalan buntu.

Azriansyah kandidat doktor ilmu politik di Northern Illinois University, Amerika Serikat

(mmu/mmu)


ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT