Perbincangan perihal UU ITE kembali menghangat setelah pemerintah memunculkan wacana revisi jilid-2, jika dalam implementasinya dinilai kurang adil. Wacana ini diutarakan presiden Joko Widodo saat rapat terbatas, Senin (15/2), sembari menekankan menghapus pasal-pasal karet yang multitafsir dan mengimbau pihak terkait agar lebih selektif menangani persoalan. Presiden meyakini revisi UU ITE bisa menjadi hulu dalam mengatasi problematika hukum.
Inisiatif pemerintah patut disambut baik dan didorong agar segera di realisasi. Berkaca dari peristiwa sebelumnya, yang mana revisi UU ITE pada 2016 silam diubah dalam kerangka kelembagaan yang lebih buruk, tentunya, sikap presiden perihal revisi menimbulkan tanda tanya. Apakah ada motif politis di balik wacana revisi atau justru ini merupakan wujud dari kejenuhan presiden dengan akrobat kekuatan saling lapor melapor yang berimplikasi terhadap tercederainya keadilan hukum?
Namun terlepas apa motif di balik wacana ini, yang pasti revisi UU ITE merupakan keharusan, mengingat persoalannya teramat sarat. Sudah menjadi rahasia umum bahwa sejak diberlakukan, tak sedikit masyarakat rentan yang turut menjadi korban ketidakadilan UU ITE. Data dari SAFEnet, per 2008-2018 terdapat 245 kasus pelanggaran UU ITE. Sebanyak 147 kasus berkenaan dengan pencemaran nama baik, 41 kasus kebencian, dan 12 kasus pencemaran nama baik dan menyebarkan kebencian.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sedangkan sepanjang 2019, merujuk pada data Kepolisian RI, SAFEnet mencatat terdapat 3.100 kasus perihal UU ITE. Problem ini tidak sekadar urusan angka-angka belaka, melainkan bagaimana penegakan hukum mampu menegakkan keadilan tanpa tebang pilih. Adagium "hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas" seakan menemukan justifikasinya seiring dengan kian meluas dan melebarnya modus operandi dalam UU ITE. Yang disasar tak hanya jurnalis dan aktivis, namun akademisi, dosen, dan elite oposisi turut menjadi korban. Ada kecenderungan untuk mempergunakan UU ITE ini sebagai instrumen pengendali demi mengamankan kepentingan tertentu.
Sembilan Pasal Karet
Reformasi hadir dengan komitmen terhadap demokrasi sebagai jawaban atas kejenuhan publik selama tiga dekade di bawah sistem otoritarianisme yang penuh dengan pengekangan terhadap hak asasi manusia (HAM) dan kebebasan. Hadirnya UU ITE sejak 2008 tampak menyisakan masalah baru bagi agenda transisi menuju demokrasi. Sederet pasal karet yang multitafsir membuat UU ITE tidak ubahnya seperti wabah yang hendak menggerogoti dan melumpuhkan demokrasi dari dalam.
Kekuasaan yang sejatinya inklusif terhadap kritik, justru malah sebaliknya: mengeksklusifkan diri dari kritik. Orang menjadi takut untuk menyampaikan pendapat. Mereka yang kritis bukan hanya dihantui oleh UU ITE semata, melainkan menjamurnya buzzer semakin memperdalam persoalan yang ada. Bukannya memfasilitasi diskursus publik yang sehat dan rasional, pelbagai upaya pembungkaman yang berlangsung massif melalui instrumen UU ITE dan buzzer seakan mengarahkan publik masuk dalam sikap afirmasi tanpa harus mempertanyakan apalagi sampai menolak.
UU ITE sekadar melegitimasi sikap afirmasi, tetapi tidak dengan sikap kritis. Kekritisan publik hanya dibenarkan sejauh itu menyangkut dukungan terhadap agenda-agenda pemerintah yang sejatinya belum tentu menjawab kepentingan publik. Dengan Presiden Jokowi membangun wacana revisi UU ITE jilid-2, setidaknya memberikan titik terang bagi masa depan demokrasi Indonesia di tengah mengerasnya krisis demokrasi di aras global.
Sekurang-kurangnya terdapat sembilan pasal karet yang mesti diperhatikan dalam agenda revisi UU ITE, yakni Pasal 26 (3) tentang Penghapusan Informasi Tidak Relevan yang cenderung bermasalah dari hal sensor informasi; Pasal 27 (1) tentang Asusila yang berpotensi dipergunakan menghukum korban kekerasan berbasis gender.
Pasal 27 (3) tentang Defamasi yang berpotensi digunakan untuk merepresi warga yang mengkritik pemerintah. Pasal 28 (2) tentang Ujaran Kebencian yang cenderung digunakan merepresi minoritas agama dan kritik publik; Pasal 29 tentang Ancaman Kekerasan yang berpotensi dipakai untuk memidana orang yang ingin lapor ke polisi; Pasal 36 tentang Kerugian yang dapat digunakan untuk memperberat hukuman pidana defamasi;
Pasal 40 (2a) tentang Muatan yang Dilarang yang bisa digunakan sebagai alasan internet shutdown; Pasal 40 (2b) tentang Pemutusan Akses yang dapat menjadi penegasan peran pemerintah sebagai prioritas ketimbang putusan putusan pengadilan; Pasal 45 (3) tentang Ancaman Penjara Tindakan Defamasi yang dapat digunakan untuk menahan pihak tertuduh saat proses penyidikan.
Pasal-pasal itulah yang kerap memicu persoalan di balik penerapan UU ITE. Kekhawatiran menyampaikan pandangan-pandangan kritis tak hanya sekadar klaim oposisi intra parlementer dan ekstra parlementer. Bagaimana pun kekhawatiran itu menemukan justifikasi empirisnya. Sejauh desain kerangka kelembagaan UU ITE masih merawat problem, maka tuntutan keadilan akan terhenti sebatas angan-angan belaka.
Menjadi Takut
Konsolidasi demokrasi ke arah yang lebih substansial merupakan pekerjaan rumah bagi Presiden Joko Widodo. Tantangan yang dihadapi pemerintah sekarang ini adalah bagaimana demokratisasi mengarah kepada pemenuhan, jaminan, dan perlindungan terhadap HAM dari setiap warga bangsa tanpa terkecuali. Adanya UU ITE yang memuat sederet pasal karet menimbulkan dilema akan masa depan demokrasi.
UU ITE sejauh ini relatif mampu menjawab kepastian dan kemanfaatan kelompok dominan, namun cenderung gagap memberi rasa adil bagi kelompok rentan. Fenomena saling lapor melapor, kriminalisasi, dan pembungkaman kritik melalui instrumen UU ITE yang bermata dua telah membuat jenuh kehidupan berbangsa dan bernegara.
Adanya UU ITE seakan menghilangkan jaminan kebebasan dalam menyampaikan pendapat. Pendapat yang teramat kontras dengan elemen kekuasaan tidak jarang mesti berakhir dengan laporan ke polisi. Orang menjadi takut dengan keadaan semacam ini. Ketakutan itu sangat berpotensi pada lahirnya individu-individu yang apolitis. Realitas di lapangan tentu berbanding terbalik dengan keinginan Presiden Jokowi untuk di kritik demi perbaikan.
Wacana revisi UU ITE memang bukan hal baru. Pada periode pertama pemerintahan Jokowi hal tersebut telah dilakukan dalam kerangka kelembagaan yang tidak jauh berbeda dengan apa yang ada sebelumnya. Indeks demokrasi bukannya mengalami perbaikan, namun yang terjadi justru kebalikannya, makin merosot. Tentu saja terdapat banyak variabel yang mempengaruhi dekadensi demokrasi, namun yang pasti UU ITE punya kontribusi signifikan di balik problem tersebut.
Implikasi logis dari disfungsi UU ITE tidak hanya berdampak buruk bagi kelompok oposisi pemerintah, melainkan juga berpotensi merenggangkan keakraban antar sesama warga bangsa. Maka revisi mesti dilakukan dalam kerangka kelembagaan yang lebih demokratis.
Rudi Hartono anggota di Forum Intelektual Nuhu Evav Malang
Simak video 'Cari Masukan, Tim Pengkaji Akan Undang Pelapor dan Terlapor Kasus ITE':