Saat ini vaksinasi mandiri Covid-19 merupakan salah satu opsi yang akan diambil pemerintah untuk mempercepat penyelesaian program vaksinasi Covid-19 nasional. Isu vaksin mandiri memang harus dikelola dengan baik karena sensitif dan rentan menjadi komoditas politik dan polemik di masyarakat, termasuk payung hukum dan tata kelola agar pelaksanaan vaksinasi berjalan efektif.
Pemilihan opsi vaksin berbayar ini bukan sebagai prioritas, tapi perlu disediakan asalkan berbeda merek dengan yang disediakan pemerintah (yang gratis) dan dijalankan setelah vaksin "gratis" telah dijalankan lebih dahulu hingga 2-3 bulan ke depan secara paralel. Sebagai gambaran, kebijakan vaksin mandiri lebih bersifat upaya kolaborasi dengan berbagai stakeholder terutama pihak perusahaan swasta agar dunia industri bisa segera bergeliat kembali sehingga perlu dibedakan berdasarkan jenis vaksin, lokasi vaksinasi, namun telah memenuhi standar WHO.
Selain itu peta zonasi Covid-19 juga menjadi acuan dalam pelaksanaan vaksinasi, mulai dari zona merah, zona oranye, zona kuning, hingga zona hijau. Di sisi lain untuk mempercepat target waktu dirampungkan dalam kurun kurang dari satu tahun. Vaksinasi mandiri juga diharapkan bisa membantu meringankan beban APBN pemerintah pada pos kesehatan --anggaran vaksin untuk 182 juta orang dengan kebutuhan total mencapai 427 juta dosis.
Kajian yang Matang
Peristiwa crazy rich Jakarta Utara Helena Lim yang menerima vaksin Covid-19 tahap pertama di Puskesmas Kebon Jeruk Jakarta Barat mengundang kontroversi, mengingat, Helena Lim bukanlah seorang tenaga kesehatan yang seharusnya menjadi prioritas penerima vaksin Covid-19. Kondisi ini salah satu hambatan, setidaknya secara politis untuk memberikan opsi vaksin mandiri dan kekhawatiran terjadi miss-priority vaksin saat ini.
Selain itu kasus tersebut masih mencerminkan adanya celah sistem pendataan dan alur distribusi vaksin bagi tenaga kesehatan. Namun demikian dibutuhkan pertimbangan dan kajian yang matang terkait rencana opsi vaksin mandiri. Setidaknya perlu memetakan plus-minusnya; antara lain aspek plusnya adalah sebagai upaya akselerasi pencapaian target program herd immunity minimal 70 persen.
Secara kalkulasi dibutuhkan setidaknya waktu dua tahun untuk mencapainya sehingga sangat logis dibuka kran opsi vaksin mandiri semata-mata untuk mengakselerasi lebih cepat. Selain itu program vaksinasi nasional Covid-19 juga membutuhkan ruang keterlibatan semua pihak termasuk pihak swasta untuk berkolaborasi tentu dalam kendali pemerintah mengingat ketersediaan vaksin masih sangat terbatas sementara target sasaran prioritas masih terbatas.
Adapun aspek minus yang harus diantisipasi adalah rentan risiko penyimpangan seperti berpihak pada kaum the have di sisi lain, seakan timbul kesan bahwa pemerintah mulai kedodoran untuk membiayai vaksin gratis sebagai public goods sebagaimana telah diamanatkan dalam konstitusi.
Harus diakui biaya untuk pengadaan vaksin termasuk distribusi, pelatihan petugas, dan lain-lain tidak sedikit; setidaknya telah menguras anggaran pemerintah Rp 74 triliun di mana APBN/D merupakan "uang rakyat" yang dikelola oleh negara dalam rangka kesejahteraan dan kepentingan masyarakat Indonesia tanpa kecuali. Pada akhirnya transparansi, komunikasi, manajemen risiko, dan membangun kepercayaan pada masyarakat adalah kuncinya.
Sifat Kedaruratan
Vaksin secara umum memang bukan barang baru, berkaca pada vaksin-vaksin yang telah ada sebelumnya mulai vaksin campak, cacar, hepatitis B; BCG untuk mencegah tuberkulosis; DPT untuk difteri, pertusis, dan tetanus; polio; serta MR untuk rubella. Yang berbeda dari vaksin Covid-19 adalah sifat kedaruratan; vaksin ini ditemukan dalam kondisi karakteristik virus yang ada saat ini.
Melalui serangkaian metodologi, maka rumusan vaksin ditemukan, diwarnai dengan trial and error hingga secara ilmiah ditemukan sebuah rumusan dengan tingkat error yang paling minimum. Itu berarti, bila terdapat perubahan ataupun mutasi di kemudian hari, proses penemuan vaksin akan terus diarahkan untuk hal tersebut. Logika yang dibangun melalui ilmu bukanlah logika yang instan dalam konteks produksi vaksin yang di dalamnya terdapat serangkaian percobaan dan kajian untuk mempertimbangkan sesuatu demi menegakkan validitas dan reliabilitas sehingga memperoleh hasil yang lebih valid.
Dari sisi produksi, vaksin Covid-19 seakan "dipaksa" segera, tidak seperti uji coba vaksin pada umumnya yang minimal 2 tahun. Badan POM telah menerbitkan persetujuan penggunaan dalam kondisi darurat atau Emergency Use Authorization (EUA) untuk vaksin Covid-19. Kondisi tersebut mengacu pada; pertama, telah ditetapkan keadaan kedaruratan kesehatan masyarakat oleh pemerintah.
Kedua, terdapat cukup bukti ilmiah terkait aspek keamanan dan khasiat dari obat (termasuk vaksin) untuk mencegah, mendiagnosis, atau keadaan yang serius dan mengancam jiwa berdasarkan data non-klinik, klinik, dan pedoman penatalaksanaan penyakit. Ketiga, vaksin yang memenuhi standar yang berlaku serta dan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB).
Keempat, memiliki kemanfaatan lebih besar dari risiko (risk-benefit analysis) didasarkan pada kajian data non-klinik dan klinik obat untuk indikasi yang diajukan, serta belum ada alternatif pengobatan/penatalaksanaan yang memadai dan disetujui untuk diagnosis, pencegahan atau pengobatan penyakit penyebab kondisi kedaruratan kesehatan masyarakat.
Eksistensi vaksin sangat ditentukan dua masalah utama, yakni acceptance (diterima oleh masyarakat) dan availability (ketersediaan vaksin). Aspek acceptance meliputi keamanan, efikasi, dan kehalalan, sedangkan aspek availability adalah tata Kelola ketersediaan vaksin, mulai dari pengadaan yang saat ini masih terus dilakukan pemerintah sebagai bagian dari ikhtiar melindungi seluruh warga negara Indonesia melalui serangkaian tahapan prioritas pelaksanaannya.
Indonesia telah memesan lima jenis vaksin Covid-19, yakni 3 juta plus 122 juta 500 ribu dosis vaksin Sinovac, 50 juta dosis vaksin Novavax, 54 juta dosis vaksin dari COVAX GAVI, 50 juta dosis dari AstraZeneca, dan dari Pfizer BioNTech 50 juta vaksin. Upaya pengamanan ketersediaan sangat urgen untuk mempercepat pencapaian herd immunity guna mengurangi laju penularan virus yang masif.
Luas wilayah, sebaran penduduk, kondisi geografis, jumlah vaksinator, dan distribusi termasuk penyimpanan vaksin cold chain atau rantai pendingin, hingga dampak Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) --yakni kejadian medis yang tidak diinginkan yang terjadi setelah pemberian imunisasi (dan belum tentu memiliki hubungan kausalitas dengan vaksin-- menjadi faktor yang harus dipertimbangkan dalam pelaksanaan dan menjaga efektivitas vaksin hingga mencapai sasaran.
Oryz Setiawan Koordinator Bidang Advokasi & Kebijakan Kesehatan PERSAKMI Cabang Bojonegoro, Jawa Timur
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT