Suatu sore saat musim gugur di Cambridge. Saya sedang duduk di atas gondola yang sedang menyusuri River Cam, sungai yang membentang di tengah kota Cambridge, Inggris. Sambil menikmati keindahan kota dan kecantikan gedung-gedung kampus University of Cambridge, saya dihibur oleh Mark, si pendayung gondola, yang bercerita tentang Pangeran Charles ketika kuliah di Trinity College.
Pangeran Charles memang merupakan alumni University of Cambridge. Mark juga mendongeng tentang alumni Cambridge lainnya, seperti Stephen Hawking dan Alan Turing. Cerita yang sebenarnya tidak jauh berbeda dengan film The Theory of Everything dan Imitation Game. Namun karena diceritakan secara menarik oleh Mark, kami tidak bosan mendengarnya.
Pangeran Charles memang merupakan alumni University of Cambridge. Mark juga mendongeng tentang alumni Cambridge lainnya, seperti Stephen Hawking dan Alan Turing. Cerita yang sebenarnya tidak jauh berbeda dengan film The Theory of Everything dan Imitation Game. Namun karena diceritakan secara menarik oleh Mark, kami tidak bosan mendengarnya.
University of Cambridge, bersama University of Oxford, yang seringkali disebut dengan nama Oxbridge, adalah dua universitas paling elit, tidak hanya di Inggris tetapi juga di dunia. Banyak ilmuwan dunia dan tokoh terkenal menempuh pendidikan di sana. Isaac Newton, Charles Darwin, David Attenborough adalah di antaranya.
Oxbridge terkenal dengan proses seleksinya sangat sulit ditembus kecuali oleh mereka yang benar-benar jenius. Yang bisa mendaftar di sana bukan hanya harus mempunyai nilai terbaik, namun juga harus mengikuti tes tertulis yang soalnya jelas tidak mudah, membuat paper, dan menjalani tes interview.
Yang kemudian membuat Oxbridge ini lebih elit adalah karena sebagian besar mahasiswa yang kuliah di sana adalah anak-anak dari kalangan atas. Jika dilihat statistiknya, sebenarnya mahasiswa Oxbridge ini sekitar 55% berasal dari sekolah negeri dan 45% dari sekolah swasta. Secara persentase tampak hampir seimbang. Tapi kenyataannya tidak sama sekali, karena jumlah siswa sekolah swasta itu hanya 7% dari total siswa di seluruh Inggris. Mereka ini adalah kalangan yang mampu mengeluarkan uang sekolah setidaknya 200 juta setiap tahunnya.
Sedangkan yang 55% dari sekolah negeri pun sebagian besar berasal dari sekolah grammar, bukan sekolah negeri biasa. Sekolah grammar ini adalah sekolah negeri yang menerapkan seleksi masuk yang sangat ketat. Menurut data yang ada, 95% siswa sekolah grammar ini adalah dari golongan menengah ke atas.
Dengan perbandingan di atas, maka dapat dipastikan bahwa sebagian besar mahasiswa Oxbridge adalah golongan menengah ke atas.
Mahasiswa Oxbridge didominasi oleh siswa dari hanya 8 sekolah, 6 sekolah swasta dan 2 sekolah negeri. Jumlah siswa yang diterima di Oxbridge dari 8 sekolah tersebut lebih banyak dari 2000 sekolah lainnya. Sekolah tersebut antara lain Eton dan St. Paul's School. Banyak perdana menteri, pangeran, dan pesohor Inggris merupakan alumni dari sekolah ini. Pangeran William, David Cameron, Boris Johnson sebagian di antaranya. Anda harus mampu membayar minimal setara Rp 800 juta setiap tahunnya jika ingin menjadi alumni Eton seperti David Cameron.
Keelitan Oxbridge ternyata tidak hanya dari sisi kekayaan, tetapi juga dari sisi etnis dan ras. Dari 2500 jumlah kursi yang tersedia setiap tahunnya di Oxford University, hanya sekitar 15% berasal dari etnis minoritas dan kurang dari 2% berkulit hitam.
Dengan kondisi di atas, dapat kita bayangkan betapa kerasnya mahasiswa dari golongan menengah ke bawah harus berjuang agar dapat bersaing dengan anak-anak yang mempunyai banyak privilege tersebut. Perjuangan yang bukan hanya dialami pada saat seleksi masuk, namun juga ketika menjalani kehidupan di kampus. Perjuangan yang harus dijalani karena perbedaan status sosial yang lebar.
Apakah elitisme kampus tersebut hanya terjadi di Inggris?
Sayang sekali jawabannya adalah tidak. Sebutlah Harvard University. Lebih dari dua per tiga mahasiswa Harvard berasal dari 20% orang terkaya di Amerika, dan hanya seperlima berasal dari 60% termiskin. Tidak hanya Harvard, keseluruhan 8 universitas terbaik di Amerika yang tergabung dalam Ivy League ternyata sulit diakses oleh mahasiswa dari golongan menengah ke bawah.
Di Singapura pun demikian. Sekolah terbaik di negara jiran tersebut sebagian besar diisi oleh anak-anak dari keluarga sangat mampu secara ekonomi.
Hanya di negara-negara Scandinavia, elitisme ini tidak terlalu terlihat.
Bagaimana dengan Indonesia?
Walaupun tidak mempunyai data pasti, saya menduga kondisinya tidak jauh berbeda, yaitu sebagian besar mahasiswa UI dan ITB misalnya adalah dari golongan menengah ke atas. Jika kita menyusuri kampus UI di Depok, maka penampilan mahasiswa jaket kuning itu bisa menjadi salah satu indikator. Dari sisi etnis pun dapat kita lihat, hanya sebagian kecil saja mahasiswa UI dan ITB yang berasal dari Indonesia Timur.
Lalu mengapa elitisme ini terjadi?
Salah satunya adalah karena kita menganut sistem meritokrasi, yaitu sistem yang memberikan penghargaan kepada mereka yang benar-benar memiliki kemampuan. Sistem yang selama ini saya kira cukup adil, karena kita hanya akan dinilai berdasarkan kapabilitas kita, bukan siapa orangtua kita misalnya.
Namun ternyata tidak selamanya seperti itu. Di negara-negara dengan tingkat kesenjangan ekonomi dan sosial yang cukup tinggi, meritokrasi hanya menguntungkan orang-orang kaya. Mereka mampu membayar tutor terbaik bagi anak-anaknya untuk mempersiapkan tes/seleksi sekolah terbaik.
Sekolah dan kampus terbaik ini pun memiliki banyak dukungan dari para alumninya, sehingga fasilitas yang dimiliki pun jauh lebih baik dari sekolah lainnya. Fasilitas yang sangat memadai tersebut jelas menambah pengalaman dan pengetahuan siswanya, sehingga juga menambah kesempatan mereka bekerja di tempat terbaik. Sistem ini kemudian berputar kembali ke generasi selanjutnya.
Penyebab lain mengapa elitisme sulit dihapuskan adalah karena sekolah-sekolah elit tersebut enggan mengubah sistem seleksinya supaya lebih mudah diakses oleh golongan menengah ke bawah atau etnis minoritas dengan alasan mempertahankan kualitas. Oxbridge pun begitu. Wajar, siapa yang mau mengorbankan kualitas sebagai universitas terbaik yang telah dibangun berabad-abad lamanya itu?
Kondisi di atas diperparah dengan keengganan banyak mahasiswa dari kalangan bawah dan minoritas untuk belajar di Oxbridge karena khawatir tidak dapat mengikuti gaya hidup mahasiswa kaya tersebut.
Apakah ada cara untuk menghilangkan elitisme tersebut?
Cara paling jitu sebenarnya adalah dengan mengurangi kesenjangan ekonomi. Negara-negara Skandinavia adalah contohnya. Perbedaan tingkat ekonomi yang tidak terlalu lebar di Swedia, Norwegia, atau negara-negara balkan lainnya membuat elitisme pendidikan di sana jarang ditemui.
Namun seperti kita ketahui, mengurangi kesenjangan ekonomi ini sangat tidak mudah, bahkan bagi negara maju seperti Ameriksa dan Inggris sekali pun. Apalagi Indonesia.
Lalu bagaimana kita bisa segera mengurangi elitisme pendidikan tanpa menunggu terwujudnya kesetaraan ekonomi? Salah satu yang dapat dilakukan pemerintah saat ini adalah dengan memperbanyak kesempatan bagi mahasiswa menengah ke bawah dan mahasiswa dari Indonesia Timur untuk kuliah di kampus-kampus terbaik di negeri ini.
Caranya? Menambah kuota beasiswa seperti bidikmisi atau LPDP dan benar-benar dialokasikan untuk mereka yang tidak mampu atau yang berasal dari Indonesia Timur.
Hal tersebut tentunya harus dibarengi dengan kerelaan masing-masing kampus untuk mengurangi kursi mahasiswa regulernya demi bisa menambah kursi bagi mereka yang tertinggal. Sebuah keputusan yang sangat tidak mudah bagi kampus-kampus elit yang saat ini masih berjuang meningkatkan kualitas supaya dapat masuk ke jajaran kampus elit dunia. Namun tanpa keberanian itu, elitisme pendidikan di negara ini sepertinya akan tetap akan abadi.
Atau, jangan-jangan elitisme pendidikan ini memang tidak pernah bisa dihapuskan, karena sejujurnya banyak dari kita menikmati menjadi bagian darinya. Termasuk saya.
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini