Kota Semarang memang selalu mengesankan jika dilihat dari aspek historis. Bukan hanya karena banyaknya tinggalan bangunan cagar budaya di kota ini, namun juga jejak perkembangan transportasi pada masa lalu. Sebagai salah satu kota pelabuhan besar di pantai utara Jawa, Semarang sejak abad 19 mengalami perkembangan pesat pada bidang transportasi.
Pelabuhan Tanjung Mas diperbesar, pembuatan kanal-kanal baru penunjang pelabuhan, hingga berkembangnya jaringan transportasi darat. Dalam aspek jaringan transportasi darat, Semarang juga terkenal karena dilewati oleh rute legendaris Jalan Pos Anyer-Panarukkan dan jaringan kereta api antarwilayah di Pulau Jawa milik Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NISM), perusahaan kereta api pertama di Hindia-Belanda.
Hal itu tentu saja membuat Semarang menjadi kota yang sangat mudah untuk diakses baik lewat darat maupun jalur laut. Di samping itu Semarang juga memiliki jaringan transportasi dalam kota yang moderen sekelas kota-kota besar di Eropa. Ya, moda transportasi tersebut adalah trem.
Trem adalah kereta khusus untuk jaringan transportasi dalam kota. Biasanya trem hanya terdiri atas satu atau dua rangkaian gerbong saja. Trem merupakan moda transportasi yang menggunakan tenaga uap dan tenaga listrik. Namun yang beroperasi di Semarang merupakan trem dengan tenaga uap (stoomtram).
Kedengarannya cukup mengesankan, mengingat pada awal abad ke-20 hanya kota-kota besar di Pulau Jawa saja yang memiliki trem di Hindia-Belanda, salah satunya adalah Kota Semarang. Trem seakan membuat citra Semarang menjadi benar-benar terlihat sangat Eropa.
Wijanarka dalam bukunya berjudul Semarang Tempo Dulu: Teori Desain Kawasan Bersejarah (2007) menjelaskan bahwa citra Semarang sebagai sebuah kota bergaya Eropa bisa dilihat dari bentuk bangunan, stasiun, jalan raya, jembatan dan berbagai fasilitas umum yang dibangunan oleh pemerintah kolonial. Terutama pada kawasan bagian utara kota yang dulu terkenal dengan julukan Little Nederland tersebut; Kawasan ini sekarang dikenal dengan nama Kota Lama.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut sebuah buku klasik berjudul Gedenkboek der Samarang-Joana Stoomtram-Maatschappij (1907), pembukaan jaringan trem di Kota Semarang dilakukan setelah jaringan kereta api berkembang menghubungkan Kota Semarang dengan beberapa kota lain misalnya Cirebon, Vorstenlanden (Solo dan Yogyakarta), dan menuju arah timur seperti Juwana (Pati).
Jalur kereta api menuju Juwana atau Pati yang konsesinya dipegang oleh Samarang-Joana Stoomtram Maatschappij (SJS) juga diberi konsesi untuk membuka jalur trem dalam Kota Semarang. Menariknya, jalur trem dalam kota justru lebih dulu beroperasi pada 1883 daripada jalur utama Semarang-Juwana.
Stasiun induk dari trem di Kota Semarang berada di Stasiun Jurnatan yang berada di sekitar wilayah Purwodinatan (Semarang Tengah). Seperti yang dilansir dalam tulisan Pratiwo berjudul The City Planning of Semarang 1900-1970 (2005), jalur trem dibangun dengan dua rute. Rute pertama menghubungkan Stasiun Jurnatan menuju selatan yaitu daerah Jomblang yang melewati daerah Turi dan Bangkong.
Sedangkan rute kedua menghubungkan Stasiun Jurnatan menuju wilayah barat Semarang yaitu sekitar daerah Banjir Kanal Barat. Rute kedua ini melewati beberapa daerah penting di Semarang seperti alun-alun, Jalan Bojong (Jalan Pemuda), dan kantor pusat NISM atau yang terkenal dengan sebutan Gedung Lawang Sewu.
Berkembang dan Bertahan
Trem di Semarang berkembang dengan signifikan dan menjadi moda transportasi yang cukup diminati. Transportasi ini dianggap lebih efisien dan efektif dibanding moda transportasi tradisional macam delman dan sado yang masih bisa dijumpai di beberapa sudut kota. Walaupun tidak berdampak terlalu parah, namun trem membuat pengelola moda transportasi tradisional tersebut semakin terpinggirkan.
Ongkos trem juga dinilai cukup irit untuk kantong masyarakat Semarang termasuk Bumiputera. Menurut Liem Thian Joe dalam bukunya Riwayat Semarang (1931), ongkos naik trem hanya sekitar 8-10 sen. Angka ini jelas tidak bakal membuat kantong cekak, sehingga moda transportasi ini cukup populer. Apalagi trem Semarang dibangun melewati rute-rute penting seperti alun-alun, pasar, dan gedung-gedung perkantoran --tempat-tempat tersebut merupakan destinasi utama di Semarang.
Ditambah lagi pada awal abad ke-20 kendaraan bermesin lainnya seperti motor dan mobil mulai banyak berseliweran di Semarang. Hal ini jelas menambah semarak lalu lintas perkotaan pada waktu itu.
Trem bertahan cukup lama di Semarang. Pada 1940 pengoperasian trem sebagai moda transportasi dihentikan. Pemerintah Kolonial menganggap jalur trem yang dibangun tidak sesuai dengan konsep tata ruang kota. Di samping itu rencana untuk mengubah trem uap menjadi trem listrik dianggap akan memakan banyak biaya. Pilihan pada moda transportasi seperti mobil dan bus menjadi faktor lain mengapa kemudian trem menjadi sepi peminat kemudian ditutup.
Penutupan rute trem di dalam kota Semarang tidak berimbas pada jalur trem Semarang-Juwana, mengingat keduanya masih di bawah perusahaan yang sama; jalur tersebut tetap beroperasi hingga pasca kemerdekaan Indonesia.
Walaupun hanya bertahan dalam tempo sekitar 70 tahun, keberadaan trem di Kota Semarang menjadi tanda bahwa begitu pesatnya modernisasi di kota ini pada awal abad ke-20. Namun sayang jejak trem Kota Semarang ini sudah sangat sulit dijumpai oleh masyarakat pada masa kini. Bekas-bekas jalur trem sudah hilang ditelan aspal-aspal pada rute yang dilalui.
Lebih tragis lagi, Stasiun Jurnatan yang menjadi stasiun induk sudah berhenti beroperasi sejak 1970-an; pada saat yang sama satu per satu jalur yang menjadi bagian dari rute trem dan kereta api Semarang-Juwana mulai ditutup pemerintah. Stasiun yang kalah dengan zaman ini kemudian digusur dan di atas puing-puingnya dibangun kompleks pertokoan.
Stasiun tersebut bahkan tidak dianggap sebagai bagian dari sejarah perkeretaapian di Indonesia; dalam buku terbitan PT KAI berjudul Jarak Antarstasiun dan Perhentian nama Stasiun Jurnatan tidak ditemukan. Bagaimana nasib lokomotif dari trem SJS sendiri? Lokomotif tersebut akhirnya dikirim ke Surabaya, salah satu lokomotifnya menjadi sebuah tugu persis di depan Stasiun Pasar Turi. Itulah akhir dari kisah trem di Kota Semarang.
Kenangan Berkesan
Pemerintah Kota Semarang sebenarnya sempat berniat untuk menghidupkan kembali trem pada awal tahun ini. Trem dianggap merupakan moda transportasi alternatif yang bisa dikembangkan untuk mengurai kemacetan kota. Banyak kota-kota besar di dunia tetap mempertahankan trem, namun bukan menjadi alternatif yang signifikan mengingat di kota-kota besar pilihan lebih banyak jatuh ke moda transportasi massal lain seperti LRT dan MRT.
Jika ingin menghidupkan kembali, pemerintah agaknya harus memperhatikan kembali tata letak dari jalur trem yang akan dibangun. Lalu lintas moda transportasi darat lain diperkirakan akan cukup terganggu dengan keberadaan trem yang biasanya rutenya selaras dengan jalan raya. Namun semuanya pasti memiliki kelebihan dan kekurangan, tinggal disesuaikan dengan kebutuhan. Yang pasti trem pernah punya kenangan yang berkesan dalam perjalanan sejarah Kota Semarang.