Pahlawan yang Membumi
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Pahlawan yang Membumi

Selasa, 10 Nov 2020 11:10 WIB
Ichwan Arifin
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Penggiat  sosial dan pengurus lansia memperingati hari Pahlawan di Posyandu Lansia Ngudi Waras, Sukoharjo, Jawa Tengah. Seperti apa suasananya?
Warga Sukoharjo, Jawa Tengah rayakan Hari Pahlawan di posyandu lansia (Foto: Agung Mardika)
Jakarta -

November adalah bulan Pahlawan, merujuk pada penetapan Hari Pahlawan yang mengacu peristiwa Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Momentum heroik itu selalu diperingati setiap tahunnya. Namun, setelah sekian lama Indonesia merdeka, makna peringatan itu terasa semakin artifisial. Aktualisasi dalam konteks kekinian terasa berjarak dengan realitas kehidupan.

Karena itu, bicara nilai kepahlawanan dengan generasi saat ini perlu menyesuaikan pesan dan cara berkomunikasinya. Selama ini, pembelajaran tentang pahlawan melalui pendidikan sekolah maupun cara lainnya (misalnya film perjuangan) membuat kisah para pahlawan itu seperti "orang suci", "tidak membumi" dan berjarak dengan masyarakat pada umumnya.

Padahal para pahlawan itu bukan malaikat. Mereka manusia biasa, sama dengan kita. Dalam kehidupannya pasti juga punya persoalan pribadi. Pernah berbuat salah, atau tindakan lain yang jamak dilakukan orang awam. Justru dari penyajian secara utuh tersebut, kita dapat belajar dari mereka tanpa jarak dan tetap melihatnya sebagai manusia yang punya kelebihan dan kekurangan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Jika masih bertumpu pada metode tersebut, tidak aneh jika anak-anak muda saat ini akan bilang "so yesterday" alias jadul. Dampaknya, pesan moral yang disampaikan justru akan terlewat. Situasi ini yang membuat pelajaran tentang kepahlawanan, seperti halnya sejarah, tidak disukai anak-anak muda sekarang.

Kondisi itu disebabkan beberapa hal, antara lain; pertama, persepsi tentang pahlawan yang hanya melekat pada orang-orang yang pernah berjuang merebut atau membela kemerdekaan, lebih fokus lagi perjuangan bersenjata. Sebenarnya, jika merujuk pada definisi tentang pahlawan nasional, maknanya lebih luas dari hal itu.

Pahlawan didefinisikan sebagai gelar yang diberikan kepada warga Negara Indonesia atau seseorang yang berjuang melawan penjajahan di wilayah yang sekarang menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang gugur atau meninggal dunia demi membela bangsa dan negara, atau yang semasa hidupnya melakukan tindakan kepahlawanan atau menghasilkan prestasi dan karya yang luar biasa bagi pembangunan dan kemajuan bangsa dan negara Republik Indonesia.

ADVERTISEMENT

Kedua, transformasi nilai kepahlawanan dituturkan lewat sejarah. Sedangkan sejarah ditorehkan oleh para pemenang, demikian kata mantan Perdana Menteri Inggris Winston Churchill. Saat rezim Orba, sejarah Indonesia disusun oleh Brigjen Nugroho Notosusanto yang kemudian menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Pengalamannya di tentara pelajar (TRIP) membuat Nugroho dekat dengan militer dan kemudian bekerja di lingkup kemiliteran, hingga diberi pangkat tituler.

Hal itu berpengaruh pada sudut pandangnya dalam menuangkan narasi sejarah --kental dengan perjuangan fisik bersenjata; tidak banyak memberikan narasi perjuangan diplomasi/politik. Dikutip dari berbagai literatur, Nugroho juga pernah melontarkan ide kontroversial. Misalnya mengusulkan Muhammad Yamin sebagai penggali Pancasila, termasuk mengusulkan 1 Maret sebagai Hari Pahlawan.

Ketiga, pemberian gelar pahlawan dan penghargaan lainnya juga berpotensi dipolitisasi. Misalnya, untuk kepentingan merawat dukungan politik, pencitraan, dan sebagainya. Baik dari pemberi atau pengusul. Saat ini meski sudah ada prosedur yang tertata, misalnya melalui Tim Peneliti Pengkaji Gelar (TP2G) di tingkat pusat dan daerah, serta ada Dewan Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan, sebelum kemudian diputuskan presiden. Namun potensi politisasi itu tetap ada.

Dalam konteks ini, merujuk Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya, sejak awal memang ada nuansa politis di balik pemberian gelar pahlawan --meskipun itu untuk menguatkan persatuan nasional. Namun, kontroversi yang mengemuka muncul saat penetapan Siti Hartinah (Tien Soeharto) sebagai pahlawan nasional oleh Presiden Soeharto pada 30 Juli 1996.

Keempat, tantangan kehidupan yang dinamis memerlukan role model yang sesuai dengan realitas zaman. Pahlawan diharapkan mengisi peran tersebut bagi masyarakat, khususnya anak-anak muda. Karena itu, tema Hari Pahlawan kali ini, "Pahlawanku Sepanjang Masa" sangat tepat.

Pemerintah melalui Kementerian Sosial menjelaskan, pemilihan tema tersebut untuk menegaskan bahwa nilai kepahlawanan saat ini sangat luas maknanya. Tidak hanya terkait dengan perlawanan bersenjata pada masa penjajahan, namun juga kontribusi yang diberikan dalam berbagai bidang kehidupan.

Merujuk definisi tersebut, maka ruang gelar pahlawan seharusnya terbuka lebar untuk orang yang berprestasi, memberikan manfaat bagi bangsa ini di bidang apapun. Tanpa mengurangi rasa hormat dan penghargaan pada para pejuang terdahulu, kini saatnya mengapresiasi anak-anak bangsa yang menorehkan prestasi, memberikan manfaat untuk orang dengan gelar pahlawan. Misalnya pahlawan olahraga, lingkungan hidup, pendidikan, dan sebagainya.

Saat ini, misalkan ada penghargaan tersebut, masih sebatas sebutan informal saja. Seharusnya gelar pahlawan pun tidak diperuntukkan bagi orang yang sudah meninggal, namun juga yang masih hidup. Justru pada saat masih berkarya akan terus mendorong yang bersangkutan memberikan karya terbaiknya. Jika ternyata dalam perjalanannya ada masalah yang bertabrakan dengan prinsip dan nilai kepahlawanan, gelar itu dapat dicabut.

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads