Pemerintahan Presiden Joko Widodo telah menjadikan dirinya seolah identik dengan pembangunan infrastruktur. Selama periode pertama kekuasaannya, itulah narasi yang selalu dikesankan dibangun. Hadirnya narasi tersebut sebenarnya agak mengherankan, mengingat pada saat kampanye Pilpres 2014, jargon yang diusung adalah "Revolusi Mental", sebuah jargon yang identik dengan pembangunan manusia atau hal-hal yang bersifat non-fisik lainnya.
Jadi, ada ketidaksinkronan antara narasi yang dibangun saat kampanye dengan narasi yang dibangun sesudah berkuasa. Menariknya, ketidaksinkronan semacam itu terus berlanjut hingga ke periode dua. Sesudah agenda pembangunan infrastruktur menerima banyak kritik, karena telah menjerumuskan kita pada jurang utang yang sangat dalam, pada kampanye Pilpres 2019 lalu, Presiden Joko Widodo mengubah narasi kampanyenya menjadi pembangunan manusia.
Semula, banyak orang mengira perubahan narasi itu merupakan bentuk evaluasi pemerintah atas kekurangan-kekurangan periode pertama kekuasaannya. Namun, sesudah melenggang ke periode kedua, tiba-tiba kita disodori wacana pemindahan ibu kota negara, sebuah narasi yang tidak pernah dijual saat kampanye.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejak Oktober 2019 hingga awal tahun 2020 kemarin, sebelum kita disibukkan oleh isu pandemi, publik terus-menerus dibombardir oleh wacana pemindahan ibu kota. Sementara, isu pembangunan manusia menguap begitu saja. Artinya, agenda utama pemerintah sebenarnya masih belum bergeser dari isu pembangunan fisik.
Penggunaan wacana pembangunan infrastruktur sebagai "identitas kekuasaan" Presiden Joko Widodo memang cukup mengherankan. Apalagi, sebagian besar infrastruktur yang dibangun sebenarnya hanya meneruskan saja konsep yang telah disusun dan dikerjakan oleh Presiden SBY melalui MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia). Tidak ada yang baru sama sekali.
Proyek listrik 35 ribu megawatt, misalnya, yang dicanangkan pada 2015, hanya sekadar memperbesar skala proyek listrik 10 ribu megawatt yang sebelumnya telah dicanangkan oleh Presiden SBY. Masalahnya, meskipun angka 35 ribu MW terdengar lebih bombastis daripada 10 ribu MW, namun angka itu juga sebenarnya tidaklah realistis. Terbukti, hingga Mei 2020, proyek listrik 35 ribu MW ternyata baru terealisasi 19 persen saja, alias baru sebesar 6.811 MW.
Pemerintah seharusnya bisa belajar dari pengalaman pemerintahan sebelumnya. Bukan hal mudah membangun pembangkit listrik. Mengingat, isu tersebut bukan hanya berhubungan dengan soal teknis pembangunan fisik, melainkan berkaitan dengan perkembangan ekonomi dan lain-lain. Dan belajar dari pengalaman masa lalu, bisa membangun pembangkit listrik 10 ribu MW dalam tempo 10 tahun saja bukanlah hal yang mudah, bagaimana bisa membayangkan angka 35 ribu MW?
Belakangan, saya mencatat ada empat hal yang membuat kenapa proyek listrik 35 ribu MW sejak awal memang tidak realistis. Pertama, dasar perencanaan ketersediaan listriknya tidak berbasis kebutuhan riil. Dari awal, munculnya angka 35 ribu MW memang tidak pernah jelas asal-usulnya. Benar, kita memang membutuhkan tambahan pembangkit listrik di masa yang akan datang. Tapi seberapa besar kebutuhan tambahan itu, di region mana dan seberapa angkanya, tentu tak bisa diperoleh lewat sulap.
Anehnya, meski tanpa dasar kajian yang kuat, pemerintah sudah mematok angka 35 ribu MW sejak awal naik. Timbul kesan kalau perencanaan itu lebih didorong oleh logika proyek ketimbang sebuah studi yang layak. Dugaan ini memang pantas disampaikan. Apalagi, belakangan pemerintah sendiri menunda pelaksanaan sejumlah proyek 35 ribu MW itu. Alasannya, pertumbuhan konsumsi listrik kita ternyata tak setinggi proyeksi awal.
Penyelesaian beberapa pembangkit kemudian harus dimundurkan. Karena perencanaannya tidak realistis, pastilah ada pemborosan. Pada April 2018, BPK menemukan ada pemborosan Rp1,6 triliun di tubuh PLN akibat sejumlah proyek yang dikerjakannya. Temuan tersebut mengkonfirmasi buruknya perencanaan pemerintah tadi.
Kedua, pertumbuhan ekonomi kita meleset dari rencana pemerintah. Kita tahu, program 35 ribu MW itu ditetapkan dengan asumsi pertumbuhan ekonomi sekitar 7%. Tapi faktanya, hingga memasuki periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi, pertumbuhan ekonomi nasional hanya limit 5%. Dengan pertumbuhan ekonomi yang seperti itu, kebutuhan listrik juga jadi tidak sebesar yang telah dicanangkan. Jika diteruskan, proyek ini akan menyebabkan terjadinya over supply.
Ketiga, kinerja buruk PLN. Kondisi makro di atas telah diperburuk oleh adanya permasalahan pada kinerja keuangan PLN yang melemah. Berdasarkan surat Kementerian Keuangan dalam surat bernomor S-781/MK.08/2017 yang ditujukan Menteri ESDM dan Menteri BUMN, yang kemudian bocor ke publik, dinyatakan bahwa kewajiban pembayaran pokok dan bunga pinjaman PT PLN diproyeksikan akan terus meningkat.
Dari laporan keuangan PLN, jumlah kewajiban PLN per Juni 2017 mencapai Rp420,5 triliun, atau meningkat 6,8 persen dari Juni tahun sebelumnya. Dari jumlah tersebut kewajiban jangka panjangnya mencapai Rp299,36 triliun dan kewajiban jangka pendek Rp121,15 triliun. Sudah beban utang pokok dan bunga meningkat, ditambah kebutuhan mencari utang baru dalam rangka melaksanakan penugasan pemerintah. Situasi semakin ironis ketika pertumbuhan penjualan listrik tidak sesuai dengan target.
Keempat, meskipun rasio elektrifikasi kita mencapai 99 persen, namun konsumsi listrik per kapita kita masih sangat rendah. Untuk membenarkan proyek 35 ribu MW, pemerintah kerap mengklaim bahwa rasio elektrifikasi kita saat ini sudah mencapai 99 persen. Artinya, akses masyarakat terhadap listrik seharusnya semakin luas. Namun, berdasarkan data Kementerian ESDM, saat ini tingkat konsumsi listrik perkapita di Indonesia adalah salah satu yang terendah. Termasuk di ASEAN sendiri.
Konsumsi listrik Indonesia pada 2017, misalnya, hanya mencapai 1.012 Kilowatt per Hour (KWH)/kapita. Sementara itu, berdasarkan catatan Bank Dunia, tahun 2014, konsumsi listrik Thailand telah mencapai 2.540 kWh per kapita, Malaysia 4.596 kWh per kapita, Vietnam 1.439 kWh per kapita, dan Singapura sudah mencapai 8.854 kWh per kapita.
Belakangan, rendahnya konsumsi listrik per kapita itu juga diakui oleh PLN. Pada 2017, pertumbuhan penjualan listrik mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tahun 2016, dari semula 6,48% menjadi hanya sebesar 3,3%. Artinya, meskipun listrik sudah ada, tapi konsumsinya masih minim. Apa yang terjadi dengan proyek listrik 35 ribu MW ini secara umum mewakili potret bagaimana wajah pembangunan infrastruktur di era Jokowi.
Sesudah Reformasi, pembangunan infrastruktur secara besar-besaran sebenarnya pertama kali dicanangkan oleh Presiden SBY. Sesudah dilantik menjadi presiden pada Oktober 2004, gawean besar pertamanya dulu adalah menggelar "Indonesia Infrastructure Summit 2005". Sejak itulah berbagai masterplan pembangunan infrastruktur disusun dan dikerjakan pemerintah, termasuk diteruskan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Pembangunan infrastruktur memang merupakan isu penting. Apalagi, sejak krisis 1997/1998, belanja infrastruktur kita sangat rendah. Sesudah Reformasi, belanja pembangunan infrastruktur porsinya hanya berkisar di angka 2 persen dari PDB. Angka tersebut jauh di bawah belanja infrastruktur pemerintah Orde Baru, di mana pada tahun 1993/1994 saja, yang sering disebut sebagai awal tahun-tahun sulit, masih mencapai kisaran 5,3 persen PDB.
Jadi, kalau mengingat lagi apa yang telah dikerjakan oleh dua periode pemerintahan Presiden SBY, jargon pembangunan infrastruktur yang diusung oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo sebenarnya bukanlah hal baru dan unik. Justru, fokus mereka yang terlalu besar pada pembangunan infrastruktur ini, bagi saya, harus dianggap sebagai keganjilan. Sebab, upaya untuk menggenjot pembangunan infrastruktur ini terjadi saat perekonomian Indonesia dan dunia sedang lesu.
Kita ingat, dulu Orde Baru juga jor-joran melakukan pembangunan infrastruktur. Namun, semua itu dilakukan pada saat negara menikmati windfall profit dari kenaikan harga minyak gila-gilaan pada awal dekade 1970-an. Artinya, pembangunan infrastruktur itu dilakukan saat kas negara tidak kosong.
Hal serupa juga berlangsung pada masa pemerintahan Presiden SBY. Pembangunan infrastruktur digenjot saat negara kita sedang menikmati booming harga komoditas, yang berakhir pada 2013 silam. Sehingga, jor-jorannya pemerintahan Joko Widodo dengan pembangunan infrastruktur jadi berada di luar pakem, mengingat mereka melakukannya saat perekonomian sedang menurun.
Kita semua tentu sepakat jika pembangunan infrastruktur itu penting. Tapi pembangunan infrastruktur yang tidak ditopang oleh pertumbuhan ekonomi yang cukup sangatlah berbahaya. Sebab, pembangunan itu pastilah akan bersandar pada utang. Dan inilah yang terjadi sejak periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Saya melihat, ada tiga kekeliruan yang dibuat Presiden Joko Widodo sejak awal masa pemerintahannya. Pertama, menggenjot belanja infrastruktur ketika pendapatan negara terus berkurang dan anggaran negara kian terbatas. Kedua, untuk membiayai infrastruktur, pemerintah telah mencabut 77 persen subsidi untuk rakyat, terutama subsidi BBM, listrik, dan pupuk. Akibatnya rakyat mengalami penurunan daya beli dan konsumsi.
Ketika ekonomi mengalami perlambatan, kebijakan ini jelas keliru, sebab 55 persen PDB kita ditopang oleh konsumsi rumah tangga. Dan ketiga, untuk menutupi defisit yang besar akibat belanja infrastruktur, pemerintah telah terjebak pada akselerasi penambahan utang. Akibatnya, ruang fiskal kita jadi kian sempit.
Membebani BUMN
Dalam RPJM 2015-2019 disebutkan bahwa pemerintah membutuhkan dana sebesar Rp4.796 triliun (US$358 miliar) untuk pembangunan infrastruktur. Masalahnya, kita tidak memiliki uang sebanyak itu. Anggaran yang bisa disediakan oleh pemerintah pusat dan daerah hanya sekitar 41 persen saja. BUMN juga hanya bisa menyediakan 22 persen saja. Sisanya, sekitar 37 persen, atau sekitar Rp1.752 triliun, diharapkan datang dari investor swasta (private investor).
Tetapi, mengharapkan keterlibatan swasta juga rasanya terlalu muluk. Sebab, pihak swasta pada umumnya hanya memiliki antusiasme yang sedikit terhadap proyek-proyek jangka panjang dan padat modal (longterm and capital intensive) sebagaimana yang diagendakan pemerintah.
Karena di satu sisi negara tidak punya anggaran untuk membiayai berbagai proyek infrastruktur, sementara di sisi lain pemerintah ingin memenuhi ambisinya, pada akhirnya tanggung jawab pembiayaan tadi sebagian besarnya telah dialihkan kepada BUMN dalam bentuk penugasan. Namun, karena BUMN juga mustahil membiayai berbagai proyek tadi dengan uangnya sendiri, pada akhirnya penugasan tadi sebenarnya hanyalah bentuk pengalihan penciptaan utang dari negara kepada BUMN.
Cara semacam ini sebenarnya bisa dianggap agak "licik", karena bisa dianggap sebagai bentuk fait accompli terhadap pengawasan DPR. Sebab, di atas kertas setiap utang luar negeri pemerintah seharusnya memang melalui persetujuan DPR terlebih dahulu. Namun, dengan melempar utang itu ke BUMN, dengan menjadikan seolah berbagai proyek pembangunan infrastruktur adalah proyek "B to B" (Business to Business) dari BUMN, maka persetujuan DPR itu tidak lagi diperlukan.
Presiden Joko Widodo selalu mengatakan jika agenda pembangunan infrastruktur yang akan dikerjakannya tidak akan membebani APBN. Namun, klaim itu terbukti hanyalah fiksi belaka. Pada kenyataannya, berbagai proyek infrastruktur itu dibiayai oleh utang yang dibuat BUMN dengan risiko yang pada akhirnya akan jadi tanggungan negara.
Pada semester pertama 2017, misalnya, pemerintah mengumumkan jika ada 24 BUMN kita yang merugi dengan total kerugian mencapai Rp5,8 triliun. Pada tahun yang sama, PLN juga terancam mengalami gagal bayar, akibat besarnya utang jatuh tempo yang harus mereka bayar. Sejak itu, jika ada BUMN yang terancam gagal bayar, krisis, atau membukukan kerugian, maka pandangan mata publik akan segera terarah kepada pemerintah. Hal-hal semacam itu menjadi penanda bermasalahnya program pembangunan infrastruktur di zaman Jokowi.
Pemerintah seharusnya memang berhati-hati dalam merancang program pembangunan infrastruktur, agar tidak membebani dan apalagi mengorbankan BUMN. Jangan sampai demi memenuhi ambisi rezim, prinsip kehati-hatian dan pengelolaan perusahaan yang baik oleh BUMN diterabas begitu saja.
Utang BUMN jumlahnya memang cukup mengkhawatirkan. Terkait posisi dan laju peningkatan utang ini, beberapa BUMN, seperti PT Waskita Karya Tbk, PT Garuda Indonesia Tbk, PT Adhi Karya Tbk, PT Kimia Farma Tbk, PT Krakatau Steel Tbk dan PT Indofarma Tbk, mendapat sorotan dalam laporan yang dirilis Moody's pada 2019 lalu. Utang PT Waskita Karya, misalnya, naik hampir 10 kali lipat (970 persen) dalam kurun waktu 5 tahun terakhir.
Soal utang BUMN ini perlu segera mendapat perhatian. Beban utang BUMN, terutama utang luar negeri, bisa menimbulkan risiko bagi perekonomian. Berkaca dari krisis 1997/1998, utang luar negeri swasta merupakan salah satu faktor yang memperburuk perekonomian. Sebagai catatan, dalam statistika Bank Indonesia, utang BUMN memang dicatat sebagai utang swasta.
Menurut data Bank Indonesia, per September 2019 utang luar negeri swasta tercatat US$198,50 miliar. Posisi ini lebih tinggi dari utang luar negeri Pemerintah yang sebesar US$194,36 miliar. Pada masa Reformasi, fenomena posisi utang luar negeri swasta melampaui utang luar negeri Pemerintah telah terjadi sejak tahun 2012. Meski sempat turun dan melambat pada tahun 2016 dan 2017, pertumbuhan utang luar negeri swasta kembali meningkat sejak pertengahan tahun 2018 silam.
Jika diperhatikan, utang luar negeri swasta yang melaju sangat cepat adalah milik BUMN. Utang luar negeri BUMN telah melonjak drastis dari sebelumnya US$33,25 miliar pada 2017, menjadi US$45,56 miliar pada 2018. Hingga akhir September 2019, jumlahnya telah mencapai US$50,76 miliar.
Kenapa kita harus mewaspadai utang BUMN? Kalau kita menengok pengalaman krisis 1997/1998, ada tiga kondisi fundamental yang telah memicu terjadinya krisis waktu itu, yaitu gagal bayar utang korporasi, turunnya modal masuk, dan sistem keuangan yang rentan. Saya khawatir kita sedang menghadapi kondisi yang sama saat ini.
Dalam sistem perekonomian kita, BUMN seharusnya bisa jadi alat intervensi negara di dalam perekonomian. Namun, akibat kebijakan pemerintah dalam enam tahun terakhir, BUMN kini sedang menghadapi risiko gagal bayar yang serius. Menurut data Bank Indonesia (BI), dalam enam tahun terakhir total utang luar negeri seluruh BUMN terus-menerus mengalami kenaikan. Hingga April 2020, nilainya telah mencapai US$55,3 miliar, atau setara Rp775 triliun (kurs Rp14 ribu). Jumlah tersebut lebih dari seperempat total utang luar negeri swasta, yang besarannya mencapai US$207,8 miliar. Padahal, pada 2014, total utang BUMN masih ada di angka US$30,7 miliar.
Tidaklah mengherankan jika Standard & Poor's Global Ratings telah memberi kartu kuning bagi para BUMN kita. Sesudah terlibat dalam berbagai proyek infrastruktur pemerintah, neraca BUMN kita memang terus memburuk. BUMN, terutama yang berada di sektor kelistrikan dan konstruksi, telah mencetak utang yang sangat besar.
Penilaian serupa juga dilontarkan Bank Dunia. Dalam laporan "Infrastructure Sector Assessment Program" (2018), Bank Dunia menilai pemicu terjadinya peningkatan utang BUMN adalah pengerjaan proyek-proyek pemerintah. Mereka dipaksa untuk mengerjakan proyek pemerintah yang sedang kesulitan anggaran. Karena BUMN juga tidak memiliki anggaran yang cukup, akhirnya BUMN terpaksa mencari utang sendiri.
Sebelumnya, peringatan serupa juga pernah disampaikan oleh OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development). Dalam laporannya yang dirilis saat pertemuan tahunan IMF-World Bank di Bali, Oktober 2018, OECD menilai akan ada risiko fiskal yang besar dari beban keuangan sejumlah BUMN akibat berbagai proyek infrastruktur pemerintah.
Menurut OECD, sekitar 30% dari proyek infrastruktur pemerintah mengandalkan pembiayaan dari BUMN. Belanja modal BUMN ditargetkan hampir 3% PDB 2018, lebih dari dua kali lipat dari porsi belanja 2015. Kebutuhan dana yang besar itu telah membuat BUMN terpaksa mencari pendanaan dari perbankan dan pasar modal. Imbasnya, tingkat utang beberapa BUMN mengalami peningkatan yang drastis.
Munculnya pandemi Covid-19 telah membuat situasi kian bertambah buruk, mengingat pendapatan hampir seluruh BUMN jadi tergerus, sementara jumlah utang jatuh temponya tidak sedikit. Kasus paling mencolok adalah Garuda Indonesia. Pada 3 Juni lalu mereka harus merestrukturisasi utang sukuk global senilai US$500 juta. Pandemi telah membuat Garuda harus memarkir 70 persen armadanya. Padahal, pemasukan dari penumpang berkontribusi 80 persen terhadap pendapatan perusahaan.
Kesulitan semacam itu bukan hanya membelit Garuda. Sebagai catatan, antara Mei hingga Desember 2020, ada 13 BUMN yang memiliki obligasi jatuh tempo. Yang paling besar nilainya adalah Bank Tabungan Negara (BTN), yaitu Rp5,4 triliun, disusul Pupuk Indonesia, senilai Rp4,1 triliun. Keuangan BUMN yang buruk ini akan membuat pemulihan ekonomi kita pasca-pandemi bisa menjadi lebih sulit dan lama jika dibandingkan dengan negara-negara lain.
Pada BUMN karya, situasinya juga buruk. Pertumbuhan utang BUMN karya jauh lebih besar dari labanya. Adhi Karya, misalnya, tahun 2019 lalu pertumbuhan utangnya mencapai 20 persen, sementara labanya hanya naik 3,1 persen. Artinya, kenaikan utang tersebut tidak seimbang dengan pertumbuhan laba perseroan. Tak heran jika kemudian ada BUMN karya yang terpaksa harus menjual asetnya demi menutupi utang.
Waskita Karya, misalnya, yang memiliki utang mencapai Rp89 triliun, akan melepas empat ruas tol tahun ini, yaitu Tol Becakayu, Tol Kanci-Pejagan, dan Tol Pejagan-Pemalang. Sedangkan satu lagi, Tol Cibitung-Tanjung Priok, akan dijual dengan mengurangi kepemilikan saham, dari mayoritas menjadi minoritas.
Sayangnya, pemerintah sepertinya belum kapok mengalihkan beban utang ke BUMN. Untuk mengambil saham Freeport pada 2018 lalu, Inalum terpaksa harus menerbitkan global bond sebesar US$4 miliar. Dengan kata lain, PT Inalum saat ini memiliki kewajiban utang global yang besar sekali. Inalum diperkirakan harus membayar beban kupon sebesar Rp1,7 triliun setiap tahun. Hal itu tentu saja akan menempatkan perusahaan tersebut pada posisi berisiko.
Inalum bukan satu-satunya BUMN yang harus menerbitkan surat utang global akibat beban penugasan yang sangat besar oleh pemerintah. Sebelumnya PT PLN juga telah menjual global bond senilai US$5miliar. PT Pertamina tahun 2018 telah menerbitkan global bond Rp11,2 triliun dari target US$4 miliar. Pada 2017 lalu, Jasa Marga juga telah melepas global bond berdenominasi rupiah senilai Rp4 triliun dengan kupon 7,5 persen.
Antara 2016 hingga 2018, jumlah utang BUMN kita telah meningkat hingga 132,92 persen. Pada 2016, utang BUMN tercatat baru Rp2.263 triliun, namun per September 2018 jumlahnya telah tembus Rp5.271 triliun. Artinya, dalam periode dua tahun itu, utang BUMN kita melonjak Rp3.008 triliun.
Dari BUMN sektor non-keuangan, sektor ketenagalistrikan menyumbang utang sebesar Rp543 triliun, atau 28 persen dari total utang BUMN non-keuangan. Kemudian BUMN sektor migas menyumbang utang sebesar Rp522 triliun (27%), sektor properti dan konstruksi Rp317 triliun (15%), sektor telekomunikasi Rp99 triliun (5%), sektor transportasi Rp75 triliun (4%), dan sektor lain-lain Rp403 triliun (20%). Itu angka-angka yang besar sekali.
Ironisnya, jumlah utang yang terus menggelembung tadi berbanding terbalik dengan kinerja pendapatan BUMN. Dalam periode 2015-2018, pendapatan BUMN hanya naik Rp326 triliun. Padahal, pada periode 2012-2014, saat utang BUMN 'hanya' naik Rp824 trilun, total pendapatan BUMN pada periode itu mencapai Rp5.393 triliun. Artinya, utang baru BUMN sebenarnya tidak produktif. Angka-angka itu membuktikan bahwa penugasan pembangunan untuk keperluan pencitraan yang selama ini diberikan oleh pemerintah terbukti membebani keuangan BUMN.
Dipo Alam alumnus UI, member OECD Forum on Governace of Infrastructure
(mmu/mmu)