Judul Buku: Puisi Cinta Paling Mantap; Penulis: Charles Bukowski; Penerjemah: Hamzah Muhammad; Penerbit: Anagram, Juni 2020; Tebal: viii + 35 halaman
Buku kumpulan puisi Charles Bukowski, Puisi Cinta Paling Mantap (2020) yang diterbitkan Anagram ini adalah buku puisi yang pantang dilewatkan. Ada beberapa alasan yang menjadikan buku ini menarik. Pertama, sebelum ini, buku-buku kumpulan puisi Bukowski belum pernah diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia. Puisi-puisi Bukowski selama ini hanya menjadi bacaan para pembaca berbahasa Inggris, yang tentu tidak mewakili keseluruhan umat pembaca Indonesia. Puisi-puisi Bukowski belum berhasil "merakyat", berlawanan dengan persona si penyair itu sendiri.
Puisi Cinta Paling Mantap boleh dibilang buku pertama yang berisi terjemahan puisi-puisi Bukowksi dalam bahasa Indonesia. Hamzah Muhammad menerjemahkan 20 puisi yang dipilihnya dari buku kumpulan puisi Bukowski, On Love (2017). Bukowski adalah penyair ketiga yang karyanya diterjemahkan oleh Hamzah, setelah Mahmoud Darwish dan Pablo Neruda.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kedua, Puisi Cinta Paling Mantap diterbitkan tanpa ISBN --sangat indie!-- dan di halaman kolofon tertera pernyataan "buku ini tidak diperjualbelikan". Penerbitan puisi-puisi Bukowski ini mengingatkan saya pada kerja penerbitan amatir Bilik Literasi lima-enam tahun silam. Pada masa itu, mereka menerbitkan buku sekadar untuk mencetak kata-kata, merayakannya dengan percakapan, dan membagikan gratis ke siapa saja yang bisa dijangkau. Mengurus ISBN tidak termasuk dalam rukun penerbitan semacam itu.
Puisi Cinta Paling Mantap juga dibagikan secara gratis, tetapi dengan mekanisme yang berbeda dari bagi-bagi buku ala Bilik Literasi. Buku yang hanya dicetak sebanyak seratus eksemplar itu dijadikan bonus pembelian paket buku terbitan Anagram. Dengan demikian, penerbit indie baru di Jakarta itu mempraktikkan strategi pemasaran dan amal literasi dalam satu langkah.
Ketiga, dan hal ini saya kira bakal mengundang perdebatan, gaya penerjemahan Hamzah berbeda dari terjemahan-terjemahan puisi asing yang pernah ada sebelumnya. Simak saja komentar Martin Suryajaya yang tercantum di halaman pertama buku itu: Hamzah Muhammad berhasil menerjemahkan roh Bukowski dengan menghadirkannya sebagai penyair bokek yang berkeliaran di sekitaran Rawamangun, ngomong dalam bahasa prokem Jakarta, ngomel-ngomel soal cinta.
Hamzah memang menerjemahkan Bukowski bukan dalam bahasa Indonesia baku, melainkan kental akan bahasa prokem Jakarta. Puisi-puisi terjemahan Hamzah mengajak kita membayangkan Bukowski sebagai penyair yang menggelandang di Rawamangun. Lihat saja terjemahan berikut: Gue udah keluyuran ke sana-sini/ mabok di sepenjuru kota, tailah negara ini/ biar mampus terkutuk begini terus/ Toh sedikit yang nyisa buat gue/ kecuali nerima yang ada dan nggak neko-neko
Keputusan Hamzah menerjemahkan Bukowksi secara Rawamangun berisiko tidak berterima karena beberapa hal: khalayak tentu mengharapkan terjemahan pertama atas puisi-puisi Bukowski ditempuh dengan cara "lazim", tidak semua orang paham istilah-istilah prokem Jakarta, dan sentimen pembaca dari luar Jakarta terhadap sastra "pusat" saya kira masih kuat. Tapi, Hamzah tidak mau ambil pusing. Dalam pengantarnya, ia menulis: 20 puisi Bukowski dalam buku ini bisa lu maki-maki. Atau lu mau ngutuk gue pun, silakan. Pembaca kan suka-suka.
Apakah kelisanan Rawamangun yang digunakan oleh Hamzah bisa dibilang salah dalam penerjemahan karya sastra asing? Saya ingat pernyataan Sapardi Djoko Damono dalam buku Alih Wahana (2018): Penerjemahan memang pengkhianatan yang kreatif. Lebih lanjut, Sapardi menjelaskan: Penerjemahan sebenarnya merupakan usaha untuk mengubah cara pengungkapan dalam suatu kebudayaan menjadi cara pengungkapan yang ada dalam kebudayaan lain. Hal ini berarti pengubahan kode agar sesuai dengan yang ada dalam kebudayaan sasaran.
Cara ungkap Bukowski yang terbentuk di jalanan, bar, dan gang-gang sempit Los Angeles, jika dibayangkan dalam kebudayaan kita, tentu tidak akan terakomodasi oleh bahasa Indonesia yang indah, puitis, atau setidaknya baku. Puisi-puisi Bukowski lebih relevan jika diungkapkan dalam bahasa jalanan-yang berarti bahasa prokem. Memang, pada akhirnya, puisi-puisi dirty realism ala Bukowski menemukan keterbatasannya.
Di Jakarta, Puisi Cinta Paling Mantap boleh jadi relevan. Namun, bagi pembaca di Yogyakarta, Surabaya, Makassar, Malang, Papua terjemahan Hamzah tersebut tentu jauh dari relevan. Artinya, perlu penyambung lidah Bukowski lain bagi masing-masing kebudayaan, dan sekalipun bahasa Indonesia adalah bahasa formal kita, tidak mungkin ada terjemahan yang universal dan paling tepat bagi puisi-puisi Bukowski dalam bahasa Indonesia. Lagi pula, yang formal dan Bukowski memang mustahil berjodoh.
Lantas, bagaimana mengukur berhasil-tidaknya terjemahan puisi-puisi Bukowski oleh Hamzah ini? Kendati Hamzah toh terlihat bodo amat terhadap penilaian orang akan
Sekali lagi, tetap saja kita dapat mengacu pernyataan Sapardi berikut: Penguasaan atas bahasa sasaran lebih utama daripada penguasaan atas bahasa asing, meskipun yang disebut terakhir itu juga tidak bisa diabaikan. Dan seperti kata Sapardi pula, bahasa itu mutlak peka budaya.
Misalkan memakai acuan tersebut, saya kira Puisi Cinta Paling Mantap berhasil lantaran penerjemahnya memiliki penguasaan bahasa sasaran (bahasa prokem Jakarta) yang baik, selain penguasaan bahasa Inggris dan bahasa Indonesia yang dipelajarinya secara akademis. Kepekaan budaya Hamzah pun sudah tertempa dengan berperistiwa di Rawamangun selama bertahun-tahun --mungkin sudah satu dekade, berinteraksi dengan sastrawan, seniman, atau yang benar-benar gelandangan.
Setidaknya bagi Jakarta, atau bagi Rawamangun sajalah, penerjemahan yang "paling Bukowski" adalah yang dikerjakan Hamzah ini.
Udji Kayang editor buku menyambi penulis lepas, penulis buku Keping-keping Kota (2019)
(mmu/mmu)