Ada sebuah fenomena yang baru saya sadari belakangan ini. Di linimasa media sosial saya, posting-an yang berbau pamer kemampuan finansial sudah berkurang, malahan hampir hilang.
Sebelum pandemi posting-an semacam itu kerap wara-wiri di jagat maya. Ada yang pamer liburannya. Ada yang pamer kendaraan barunya. Ada yang pamer sedang makan atau minum di kafe atau tempat makan bergengsi. Dan masih banyak modus pamer kemampuan finansial lainnya.
Saat PSBB diberlakukan, intensitas berbagai posting-an semacam itu mulai berkurang. Tentu saja. Bandara, mall, dan tempat rekreasi ditutup. Restoran dan kafe tidak melayani makan dan minum di tempat. Mereka yang biasa pamer kehilangan sarana.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, setelah new normal diberlakukan dan tempat-tempat umum dibuka, acara pamer kekuatan finansial belum muncul lagi. Malah sekarang jagat maya hanya diisi banyak posting-an "gaje" dan dagangan. Ada apakah sebenarnya?
Ada dua kemungkinan. Pertama, kemampuan finansial mereka sudah berkurang. Seperti kita tahu, pandemi ini memicu krisis ekonomi global. Banyak perusahaan kolaps. Akibatnya terjadi pengurangan karyawan. Kalaupun tidak terkena PHK, pemasukan para pekerja berkurang karena tidak ada lemburan atau lantaran gaji mereka dipangkas.
Ketika pemasukan berkurang, otomatis kegiatan yang berhubungan dengan unjuk kemampuan finansial juga dikurangi. Itu pilihan wajar. Orang lebih butuh makan dan bayar cicilan ketimbang hiburan.
Kemungkinan kedua, orang-orang menjadi lebih bisa memaknai dan mempraktikkan kerendahan hati. Terdengar naif? Namun, secara pribadi saya lebih suka kemungkinan yang ini, karena sesuai dengan apa yang saya dan kawan-kawan saya alami.
Terkena Dampak
Perusahaan tempat saya bekerja termasuk yang terkena dampak krisis global. Berkurangnya orderan hingga 70 persen menyebabkan perusahaan harus mengadakan perampingan.
Mei lalu, agar bisa bertahan perusahaan mengambil kebijakan untuk mengorbankan karyawan kontrak. Tiga ratus lebih karyawan kontrak dipercepat masa baktinya. Kebijakan itu berlanjut sepanjang Juni sampai awal Juli. Sampai minggu kedua Juli, tercatat sudah sembilan ratus lebih karyawan kontrak yang kontraknya dipercepat.
Menurut selentingan yang saya sadap, untuk saat ini kebijakan pengurangan tersebut dipusatkan pada karyawan kontrak. Namun para karyawan tetap belum bisa bernapas lega. Pasalnya akhir Juni lalu, manajemen mulai menyasar karyawan tetap. Satu per satu karyawan tetap yang sudah berumur empat puluh tahun atau masa bakti lima belas tahun dipanggil untuk ditawari pensiun dini. Terutama mereka yang memiliki catatan buruk di buku catatan perusahaan.
Di sini, yang menjadi catatan tak cuma sebatas pada absensi saja. Perihal kepatuhan terhadap aturan, loyalitas, sikap kepada atasan, performa di lapangan, dan kontribusi pemikiran berupa improvement juga masuk penilaian. Masalahnya, mayoritas karyawan tetap yang sudah berkarat tidak memiliki rekam jejak yang tak bercela. Saya contohnya. Dari awal bekerja (2004) hingga tahun lalu, saya sudah mengantongi dua nilai C, Surat Peringatan I, dan satu surat teguran.
Kemarin-kemarin, saya dan beberapa rekan kerja tidak menganggap serius penilaian. Di benak kami, bekerja dengan catatan baik hanyalah keinginan mereka yang berharap nilai A. Bagi pemburu nilai medioker seperti saya, asal target produksi tercapai dan persentase kehadiran ada di kisaran 90%, sudah cukup. Saya juga tidak takut saat melanggar aturan-aturan sepele, seperti main HP pada jam kerja. Saya juga pernah mendebat atasan karena tak terima saat dipindah grup.
Sekarang, pembangkangan dan pelanggaran kedisiplinan semacam itu bisa menjadi alasan pihak manajemen untuk memangkas masa bakti saya. Kesimpulan ini bukan buah dari kekhawatiran saya. Minggu lalu, melalui atasan saya di lapangan, manajemen berpesan, "Bagi yang masih butuh, sebaiknya ikuti aturan perusahaan. Bagi yang tidak ingin mengikuti aturan perusahaan, silakan buat aturan sendiri." Maksudnya tentu saja pensiun dini atau mengundurkan diri sekalian.
Mendengar itu saya lumayan ketar-ketir juga. Di benak langsung terbayang wajah istri dan kedua anak saya. Meskipun usia saya tidak lagi muda, mengambil pensiun dini merupakan keputusan yang berat. Saya belum menyiapkan apa-apa di luar sana. Lagi pula, di tengah krisis global seperti ini, usaha apa pun tidak akan berkembang secara cepat. Maka bertahan di pekerjaan ini adalah pilihan terbaik bagi saya.
Akhirnya demi mempertahankan posisi, saya tidak punya pilihan lain selain manut dan belajar rendah hati. Ego yang dulu pernah tinggi dan tak terjamah persuasi dari atasan, sedikit demi sedikit saya turunkan. Saya bahkan tak mendebat sedikit pun ketika mendapat perintah yang tidak sesuai job description saya, seperti mengecat troli, bersih-bersih line, atau diperbantukan di bagian lain.
Awalnya sulit. Selalu ada saja tanggapan miring dari mereka yang masih mempertahankan cara kerjanya yang "semau gue". Mereka menyebut saya pengecut dan penjilat.
Tuduhan yang menyakitkan. Saya bukanlah kedua golongan itu. Meski hati panas, dengan segala kerendahan hati, saya menulikan telinga. Saya paham sepenuhnya, ketika saya keluar dari sini dan kolaps, mereka yang mencibir tidak akan membantu. Malah mungkin saja tawa mereka semakin keras.
Setelah beberapa minggu bekerja dalam kerendahan hati, saya mulai bisa beradaptasi. Perlahan saya bisa merasakan perubahan pada diri dan cara pandang saya.
Lebih Kompromis
Sekarang saya lebih kompromis terhadap perintah dengan nada paling tidak mengenakkan sekalipun. Rasa inisiatif saya juga bertambah; saya tidak lagi berdiam diri atau ngopi ketika ada waktu luang.
Saya juga lebih antusias terhadap proyek-proyek improvement yang sebelumnya saya pandang sebelah mata. Hebatnya lagi, tren positif ini juga terbawa ke kehidupan di luar pekerjaan. Saya bersyukur untuk diri saya yang baru ini.
Meski begitu, saya tetap berharap pandemi ini akan segera berlalu. Saya ingin ekonomi pulih dan semua orang bisa hidup normal lagi. Namun jika itu terjadi, saya memohon kepada Tuhan agar selamanya hati saya tetap serendah seperti hari ini.