Kerugian keuangan negara (KKN) dalam perkara tindak pidana korupsi menjadi perdebatan di sidang pengadilan ketika ditinjau dari optik administrasi, perdata, dan pidana. Penasihat hukum membela klien berargumentasi dalam nota pembelaan "menggeser" persepsi KKN menjadi peristiwa administrasi dan perdata atau dengan "menyerang" integritas dan profesional auditor yang menghitung KKN.
Sebaliknya Penuntut Umum berdasarkan fakta materiil persidangan berargumentasi KKN adalah akumulasi kesalahan terdakwa sebagai akibat dari perbuatan melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangan dan berdampak ada yang diperkaya atau diuntungkan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sementara, hakim memutus perkara berdasarkan minimum dua alat bukti yang sah dan berdasarkan keyakinan. Artinya, sependapat atau tidak terjadi KKN akibat perbuatan melawan hukum berdasarkan hasil pembuktian di persidangan dan berdasarkan keyakinan hakim yang bersumber pada minimum dua alat bukti, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 183 Hukum Acara Pidana yaitu "hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya."
Keyakinan hakim akan terbentuk berdasarkan KKN yang nyata atau telah terjadi. Hal ini sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi No. 25/PUU-XIV/2016 tanggal 25 Januari 2017, yang menyatakan KKN tidak lagi dipahami sebagai perkiraan (potential loss) namun harus dipahami benar-benar sudah terjadi (actual loss) atau nyata untuk dapat diterapkan dalam perkara tindak pidana korupsi.
Untuk mengarah kepada keyakinan hakim terhadap KKN, maka alat bukti yang diperlukan adalah keterangan ahli dan surat. Keterangan ahli yang dimaksud adalah ahli yang memiliki kualifikasi menghitung dan menyatakan KKN misalkan ahli dari BPK dan BPKP. Sedangkan produk dari penghitungan ahli dituangkan dalam Laporan Hasil Penghitungan Kerugian Keuangan Negara (LHPKKN) yang bernilai pembuktian sebagai alat bukti surat.
Menilai KKN dalam perkara tindak pidana korupsi bersifat kasuistis. Misalkan, kasus pengadaan dalam pekerjaan konstruksi progres pekerjaan riil ternyata baru 55%, namun karena diakhir tahun anggaran dengan alasan penyerapan anggaran kemudian PPK dan kontraktor merekayasa progres pekerjaan menjadi 100% yang mengakibatkan uang proyek dicairkan. Penghitungan KKN dalam kasus tersebut dihitung dengan cara membandingkan antara nilai kontrak dengan nilai realisasi pekerjaan dan kerugian dihitung berdasarkan uang negara yang keluar yang tidak sah berdasarkan dokumen pencairan yang fiktif.
Penyumbang Terbanyak
Sebaliknya Penuntut Umum berdasarkan fakta materiil persidangan berargumentasi KKN adalah akumulasi kesalahan terdakwa sebagai akibat dari perbuatan melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangan dan berdampak ada yang diperkaya atau diuntungkan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sementara, hakim memutus perkara berdasarkan minimum dua alat bukti yang sah dan berdasarkan keyakinan. Artinya, sependapat atau tidak terjadi KKN akibat perbuatan melawan hukum berdasarkan hasil pembuktian di persidangan dan berdasarkan keyakinan hakim yang bersumber pada minimum dua alat bukti, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 183 Hukum Acara Pidana yaitu "hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya."
Keyakinan hakim akan terbentuk berdasarkan KKN yang nyata atau telah terjadi. Hal ini sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi No. 25/PUU-XIV/2016 tanggal 25 Januari 2017, yang menyatakan KKN tidak lagi dipahami sebagai perkiraan (potential loss) namun harus dipahami benar-benar sudah terjadi (actual loss) atau nyata untuk dapat diterapkan dalam perkara tindak pidana korupsi.
Untuk mengarah kepada keyakinan hakim terhadap KKN, maka alat bukti yang diperlukan adalah keterangan ahli dan surat. Keterangan ahli yang dimaksud adalah ahli yang memiliki kualifikasi menghitung dan menyatakan KKN misalkan ahli dari BPK dan BPKP. Sedangkan produk dari penghitungan ahli dituangkan dalam Laporan Hasil Penghitungan Kerugian Keuangan Negara (LHPKKN) yang bernilai pembuktian sebagai alat bukti surat.
Menilai KKN dalam perkara tindak pidana korupsi bersifat kasuistis. Misalkan, kasus pengadaan dalam pekerjaan konstruksi progres pekerjaan riil ternyata baru 55%, namun karena diakhir tahun anggaran dengan alasan penyerapan anggaran kemudian PPK dan kontraktor merekayasa progres pekerjaan menjadi 100% yang mengakibatkan uang proyek dicairkan. Penghitungan KKN dalam kasus tersebut dihitung dengan cara membandingkan antara nilai kontrak dengan nilai realisasi pekerjaan dan kerugian dihitung berdasarkan uang negara yang keluar yang tidak sah berdasarkan dokumen pencairan yang fiktif.
Penyumbang Terbanyak
Sektor Pengadaan Barang/Jasa (PBJ) menjadi penyumbang terbanyak terjadinya perkara korupsi di persidangan. Sering dibuat asumsi dan pemaknaan dengan penindakan korupsi di sektor PBJ menimbulkan kekhawatiran dan keraguan bertindak dari pejabat pengguna anggaran (PA), kuasa pengguna anggaran (KPA), atau Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), terutama dalam hal PBJ yang bersifat khusus, segera dan darurat.
Asumsi terjadi kekhawatiran bagi penyelenggara PBJ tidak selalu benar jika mendasarkan pada dua hal. Pertama, pengaturan PBJ sudah lengkap dalam Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah berikut produk hukum turunannya. Selain itu ada Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang Dan Jasa (LKPP) sebagai wahana konsultasi PBJ yang dirasa pelik. Pendapat LKPP sebagai garda dalam menanggulangi secara teknis pengadaan yang bersifat khusus, darurat, dan segera.
Mengapa diperlukan konsultasi LKPP, karena aparatur hukum umumnya akan konsultasi kepada LKPP jika mengungkap peristiwa pidana PBJ dengan meminta pendapat ahli pengadaan guna membuat terang konstruksi tindak pidana. Kedua, penyelenggara PBJ adalah orang yang memiliki kompetensi keahlian dibuktikan dengan sertifikasi keahlian dari LKPP. Dengan demikian PPK dan Panitia Pengadaan adalah orang yang dinyatakan ahli oleh LKPP dalam melaksanakan PBJ.
Perihal ada upaya menghindar untuk ditunjuk sebagai personel pengadaan dengan alasan tidak ingin berurusan dengan hukum bisa saja terjadi. Namun itu tidak signifikan dibandingkan dengan yang menginginkan posisi sebagai personel PBJ, terlebih yang menginginkan posisi jabatan sebagai PA dan KPA.
Ekstra Hati-Hati
Asumsi terjadi kekhawatiran bagi penyelenggara PBJ tidak selalu benar jika mendasarkan pada dua hal. Pertama, pengaturan PBJ sudah lengkap dalam Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah berikut produk hukum turunannya. Selain itu ada Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang Dan Jasa (LKPP) sebagai wahana konsultasi PBJ yang dirasa pelik. Pendapat LKPP sebagai garda dalam menanggulangi secara teknis pengadaan yang bersifat khusus, darurat, dan segera.
Mengapa diperlukan konsultasi LKPP, karena aparatur hukum umumnya akan konsultasi kepada LKPP jika mengungkap peristiwa pidana PBJ dengan meminta pendapat ahli pengadaan guna membuat terang konstruksi tindak pidana. Kedua, penyelenggara PBJ adalah orang yang memiliki kompetensi keahlian dibuktikan dengan sertifikasi keahlian dari LKPP. Dengan demikian PPK dan Panitia Pengadaan adalah orang yang dinyatakan ahli oleh LKPP dalam melaksanakan PBJ.
Perihal ada upaya menghindar untuk ditunjuk sebagai personel pengadaan dengan alasan tidak ingin berurusan dengan hukum bisa saja terjadi. Namun itu tidak signifikan dibandingkan dengan yang menginginkan posisi sebagai personel PBJ, terlebih yang menginginkan posisi jabatan sebagai PA dan KPA.
Ekstra Hati-Hati
Terbitnya Perpu Nomor 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Coronavirus disease mengharuskan ekstra hati-hati dalam melaksanakan PBJ. Sikap skeptis terhadap Perpu tersebut digunakan sebagai instrumen untuk menghindar dari jeratan pidana di kemudian hari setelah berakhirnya masa pandemi Covid-19.
Hal ini dapat dipahami karena Pasal 27 ayat (1) Perpu menyatakan "biaya yang telah dikeluarkan pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara."
Hal ini dapat dipahami karena Pasal 27 ayat (1) Perpu menyatakan "biaya yang telah dikeluarkan pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara."
Pertama kali negara mengatur dalam kondisi pandemi masalah KKN "dikesampingkan". Namun harus dimaknai secara bijak keberadaan Perpu tersebut bukan sebagai landasan pembenar perbuatan memperkaya atau menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi. Artinya jangan menjadi alasan mengail di air keruh guna mendapat manfaat di tengah masa pandemi Covid-19.
Setia Budi Hartono Jaksa Kejati Jawa Barat dan Dosen Luar Biasa FH Universitas Singaperbangsa Karawang
(mmu/mmu)