Islam di China adalah topik menarik untuk diperbincangkan. Pasalnya banyak orang yang beranggapan bahwa ideologi yang dianut oleh China menafikan agama bagi rakyatnya, sedangkan Islam sebagai agama minoritas di China bisa dikatakan cukup berkembang cukup pesat dan menyebar di seluruh daratan China.
Menjelang berdirinya Republik Rakyat China, Komite Konsultasi Politik Rakyat Tiongkok dalam Garis Besar Tatanan Negara menyatakan bahwa berbagai etnis minoritas dapat mempertahankan bahasa, adat istiadat, dan kebebasan beragama mereka (Gong, 2010: 130). Selain itu, Kementerian Keuangan Dewan Negara mengumumkan pada 26 Januari 1951, bahwa bangunan yang terkait dengan masjid dan makam pemimpin Sufi serta kuil-kuil Buddha Tibet akan dibebaskan dari pajak dan reformasi tanah.
Setelah mengalami periodisasi kelam saat revolusi kebudayaan pada era Mao Zedong tahun 1960-an, Islam di China telah mengalami kebangkitan sejak Deng Xiaoping mengadopsi kebijakan reformasi dan keterbukaan pada akhir 1970-an. Pada masa tersebut, umat Muslim umumnya menikmati kebebasan untuk mempraktikkan agama setelah masjid-masjid difungsikan kembali dan diuntungkan dengan kebijakan Preferensial, yaitu sebuah kebijakan yang memberikan hak istimewa kepada Muslim minoritas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kebijakan semacam itu telah dilakukan oleh Pemerintah China sejak program identifikasi etnis minoritas dipromosikan pada tahap pertama tahun 1950-an. Berdasarkan kebijakan tersebut, etnis minoritas Muslim dapat membentuk unit otonom mereka sendiri seperti daerah, prefektur, kabupaten, dan kota, di mana kader minoritas terpilih akan diberi peran kepemimpinan.
Hak Istimewa Etnis Minoritas
Muslim di China adalah salah satu bagian populasi minoritas yang terdiri dari berbagai etnis. Tercatat ada 10 etnis populasi Muslim di China. yaitu Hui, Uighur, Kazakh, Dongxiang, Kyrgyz, Salar, Tajik, Uzbek, Bonan, and finally Tatar. Hui dan Uighur adalah populasi Muslim terbesar di China yang masing-masing memiliki jumlah populasi lebih dari 10 juta jiwa.
Sebagai etnis minoritas, Muslim China mendapatkan hak istimewa yang tidak dimiliki oleh etnis Han sebagai mayoritas. Sebelum kebijakan One Child Policy direvisi pada 2016, Muslim China sebagai etnis minoritas mendapat pengecualian dan diperbolehkan memiliki lebih dari satu anak. Hak istimewa tersebut tentunya juga berlaku untuk semua etnis minoritas di China lainnya.
Baca juga: Tiongkok dan Beleid Terhadap Islam |
Selain itu, Muslim China juga memiliki hak istimewa untuk mendapat fasilitas pemakaman bila meninggal. Kebijakan tersebut berbeda dengan rakyat China yang pada umumnya dikremasi ketika meninggal. Di sebagian masjid di China seperti di Guangzhou dan Quanzhou, terdapat area pemakaman Muslim yang dirawat dan dilestarikan hingga sekarang.
Dalam hal makanan, Muslim China mendapat prioritas untuk mendapatkan supply makanan halal. Bahkan di Shanghai, sebuah kota metropolitan internasional di China, telah menetapkan regulasi untuk menjamin pasokan makanan halal bagi Muslim. Pabrik, sekolah, dan kantor pemerintah yang memiliki anggota Muslim diharuskan memiliki kantin Muslim.
Tidak hanya di Shanghai, hampir semua kampus di China menyediakan kantin Muslim yang lokasinya terpisah dengan kantin non-Muslim. Kantin-kantin tersebut mayoritas dikelola oleh Muslim China dari etnis Hui dan Uighur yang menjajakan menu makanan halal khas daerah mereka.
Hak istimewa lainnya bagi etnis minoritas di China adalah memiliki daerah otonomi khusus yang mulai dibentuk pada tahun 1958. Untuk minoritas etnis Muslim, Pemerintah China menjadikan dua provinsi sebagai daerah otonomi khusus bagi etnis Muslim, yaitu Ningxia Hui Autonomous Region dan Xinjiang Uighur Autonomous Region. Kedua wilayah tersebut berlokasi di China bagian barat laut.
Di kedua daerah otonomi khusus Muslim tersebut, Pemerintah China meliburkan kantor pemerintahan selama tiga hari pada perayaan hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha serta memberikan libur cuti kerja bagi pekerja Muslim, baik yang dipekerjakan oleh negara atau komunitas desa untuk merayakan hari Raya.
Sedangkan Muslim China lainnya yang tersebar di selain kedua daerah tersebut, mayoritas adalah pengusaha restoran halal yang diberikan kebebasan untuk merayakan hari Raya.
Masjid di China
Masjid adalah fasilitas ibadah umat Muslim yang relatif mudah ditemukan di hampir semua kota di China. Bahkan di beberapa kota besar di China, masjid terletak di jantung kota yang berdampingan dengan gedung-gedung pencakar langit. Seperti masjid di kota Chengdu yang berlokasi tepat di sisi Tianfu Square atau alun-alun kota dan masjid di kota Chongqing yang berlokasi tidak jauh dari Jiefangbei, yang merupakan pusat bisnis terbesar di China bagian barat.
Menurut data statistik China 2014, terdapat sekitar 39,135 masjid di China dan sekitar 24 ribu di antaranya berlokasi di Xinjiang. Pembangunan masjid-masjid tersebut dibiayai oleh komunitas umat Muslim China, dan Pemerintahan China memberikan subsidi serta fasilitas berupa tanah.
Saat perekonomian China tumbuh dengan pesat di era Deng Xiaoping, Pemerintah China mulai meningkatkan pembangunan ekonomi di provinsi-provinsi bagian barat China yang merupakan tempat mayoritas penduduk Muslim tinggal. Sejak saat itu, masjid-masjid mulai menjamur di berbagai kota-kota di China, tidak terbatas di bagian barat China saja dan jumlahnya bisa mencapai puluhan di setiap kotanya.
Selain itu, Pemerintah China juga mendorong warga Muslim yang tinggal di bagian barat China untuk merantau ke provinsi-provinsi yang pertumbuhan ekonominya lebih tinggi di bagian timur China. Kemudahan untuk bekerja atau membuka usaha dan restoran diberikan oleh Pemerintah China, sehingga restoran-restoran halal mulai menjamur dan mudah ditemukan di semua kota di China.
Muslimah di China
Pada 2011, saat penulis pertama kali menginjakkan kaki di China, jarang menemukan Muslimah lokal yang mengenakan jilbab. Jikapun ada mereka adalah Muslimah lanjut usia yang rutin mendatangi masjid setiap hari Jumat dan di bulan Ramadhan.
Karena jumlah yang memakainya tidak banyak, seringkali warga lokal merasa aneh dengan jilbab. Sebagai pendatang baru di China, saat itu saya sempat merasa risih karena terlalu banyak mata memandang dan selalu mendapat banyak pertanyaan dari warga sekitar karena rasa ingin tahu mereka.
Namun seiring berjalannya waktu, semakin banyak Muslimah lokal berjilbab di China. Tidak hanya didominasi oleh mereka yang lanjut usia, tapi semakin banyak Muslimah muda yang mulai mengenakan jilbab. Para Muslimah muda China sering terlihat mendatangi masjid di hari Jumat, dan konsisten menggunakannya dalam keseharian.
Restoran-restoran Muslim di seluruh China yang mayoritas dimiliki etnis Muslim Hui dan Uighur rata-rata memiliki Muslimah berjilbab yang bertugas sebagai juru masak. Dan jilbab kini telah menjadi identitas Muslimah di China yang tidak lagi perlu dipertanyakan.
Di Yiwu, sebuah kota pusat grosir dunia di China, banyak ditemui Muslimah muda berjilbab yang merupakan pedagang di pusat grosir tersebut. Begitu pula di kota Xian yang pernah menjadi ibu kota China di masa lampau. Muslimah berjilbab terlihat banyak hilir mudik di sepanjang tempat wisata yang terletak di pusat kota. Muslim Quarter adalah salah satu destinasi wisata populer di China, terletak di samping Masjid Besar Xian yang telah berdiri sejak abad ke-7.
Muslimah berjilbab kini tidak lagi asing di China. Keberadaannya mudah dijumpai seiring dengan menjamurnya restoran-restoran halal di setiap pelosok kota China. Kini, tidak lagi banyak pertanyaan yang muncul terkait jilbab dari warga lokal dan tidak lagi ada diskriminasi terhadap mereka dalam keseharian.
Penulis: Hilyatu Millati Rusdiyah adalah Mahasiswa program Doktoral Jurusan Business Administration Chongqing University, Chongqing dan Pengurus PCINU Tiongkok
(ads/ads)