"Tidak ada satu pun youtuber atau influencer top membantu mempromosikan produk pertanian di saat petani mengalami kendala pemasaran."
Saya membaca omelan itu di sebuah grup Facebook tentang berkebun. Secara reaktif, sebenarnya saya kepingin mengumpati para youtuber itu. Tentu saja biar gagah. Mengumpat toh sudah jadi hobi yang tercitrakan keren belakangan ini. Tapi setelah saya pikir-pikir, saya terlalu lapar untuk mengumpat, dan beduk magrib pun masih lama.
Maka, saya lebih memilih mengernyit sebentar, dan akhirnya berujung pada kesan yang lain: sebegitu nistakah anak-anak gaul semacam tukang main Youtube dan pendengung-pendengung itu di mata orang-orang yang tidak kenal mereka?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
***
Semua orang paham, pandemi telah mengacak-acak banyak aktivitas perekonomian. Orang tidak bisa lagi berinteraksi dengan bebas. Sementara, sampai hari ini mayoritas sektor riil masih mengandalkan perjumpaan wajah dengan wajah. Akibatnya pasar pun sepi, angka perjumpaan penjual dan pembeli turun drastis sekali, dan lenyaplah peluang transaksi-transaksi.
Sudah sering kita membaca berita tentang petani yang membagi-bagi hasil taninya, peternak ayam yang membuang ayam-ayamnya, atau nelayan yang menangisi tumpukan ikan-ikannya. Namun, satu hal sebenarnya masih sama, hanya saja telanjur banyak orang melupakannya. Yakni bahwa konsumen masih tetap ada meski tidak bisa ke mana-mana, dan produsen masih juga bisa berproduksi meski kesulitan menjualnya.
Maka, satu hal yang perlu dilakukan adalah mempertemukan mereka, entah dengan cara apa. Seperti itu hakikat pasar, bukan?
Bulan lalu, saya mengamati aktivitas yang dijalankan dua teman saya. Sebut saja namanya Mawar dan Melati; dan memang semuanya indah. Si Mawar berjualan wedang uwuh, sejenis minuman rempah khas Jogja, dengan konsumen jaringan perkawanan. Hasil jualan itu ia salurkan untuk membantu kalangan yang terdampak pandemi. Adapun wedang uwuh-nya diambil Mawar dari para peracik di sebuah desa, yang selama masa wabah ini kekurangan order.
Adapun Si Melati berjualan lobster. Lobster-lobster itu merupakan hasil tangkapan para nelayan di Gunungkidul. Pada masa normal, hasil kerja nelayan diserap restoran-restoran yang ada di sepanjang garis pantai Gunungkidul, dan restoran menyajikannya untuk para wisatawan. Tapi sejak corona hadir dalam kehidupan kita, pariwisata ambyar, restoran-restoran juga, dan akhirnya nelayan menyusul pula.
Di tangan Melati, pemasaran lobster itu bisa dengan cepat menjangkau konsumen baru di Jogja kota, dua jam perjalanan dari Gunungkidul. Pesanan membludak, Melati kewalahan, nelayan kelarisan, dan para sopir ojol kecipratan berkah mengantar pesanan-pesanan.
Lalu apa rahasianya? Rahasianya adalah konektivitas, meski kita juga tahu kalau itu tidak rahasia-rahasia amat.
Saya sendiri ikut membantu Si Mawar dan Si Melati. Selain dengan berbelanja, saya juga diminta untuk turut menyebarkan kabar, "Ayo, beli wedang uwuh!" dan "Ayo, beli lobster!" ke beberapa puluh ribu follower saya. Bersama kabar itu satu info kami sisipkan, yaitu bahwa dengan berbelanja si pembeli otomatis membantu pula para nelayan dan peracik wedang uwuh yang dapur mereka terhuyung-huyung diterjang corona.
Tentu saya bukan satu-satunya pihak yang berperan dalam persebaran kabar itu. Selain ada beberapa kawan pendengung lainnya, jangan lupa bahwa jaringan perkawanan Mawar dan Melati sendiri luas sekali, seluas pintu permaafan kita pada beberapa hari menjelang Idul Fitri.
Tapi poinnya, yang telah dilakukan oleh Mawar dan Melati adalah mempertemukan dua entitas yang selama ini tidak pernah bertegur sapa, yaitu produsen dan pendengung. Para peracik wedang uwuh tak pernah kenal dengan aktivis Facebook, sebagaimana aktivis Facebook juga nggak kenal peracik wedang uwuh. Para selebgram nggak pernah berurusan dengan nelayan di Pantai Sadeng dan Ngobaran, sementara nelayan-nelayan itu mungkin tak pernah mengira bahwa di muka bumi ini ada makhluk yang bernama selebgram.
Namun, Mawar dan Melati mengenal kedua pihak itu. Mereka pun mempertemukan pihak-pihak yang mesti dipertemukan, hanya dalam selarik kalimat ringkas, "Eh, tolong bantu share dong!"
Setelah kedua pihak itu dipertemukan, hasilnya adalah perjumpaan yang lain lagi, yaitu perjumpaan dengan para konsumen yang masih menyimpan banyak uang tapi tak tahu ke mana bisa berbelanja aman dan murah di masa pandemi. Ujungnya, ekonomi berputar kencang, tanpa harus menciptakan kerumunan-kerumunan yang kontraproduktif dengan upaya bertahan hidup di era yang serba tegang.
***
Saya kira, model digital socialpreneurship semacam itu bisa dikembangkan untuk banyak sektor yang lain, termasuk sektor pertanian sebagaimana keluhan yang saya kutip di awal. Dan barangkali, model seperti itu akan menjadi salah satu praktik paling cocok untuk the new normal yang mesti kita hadapi.
Dalam model demikian, yang ada bukan hanya kebutuhan yang bertemu dengan kebutuhan, melainkan kebutuhan bertemu dengan kebutuhan sekaligus dirangkai dengan kepedulian. Kalau hanya kebutuhan saja yang saling bertemu, pasar akan dengan sangat mudah bergeser sesuai hukum ekonomi. Tapi jika hanya kepedulian saja yang diandalkan, napasnya tak akan panjang dan dalam waktu singkat akan terhenti.
Tapi model demikian tetap saja tak akan bisa berjalan, kalau tak ada upaya untuk mempertemukan dan "mencantolkan" roda-roda gerigi pemutar mesin ekonomi. Dan, yang bisa mempertemukan roda-roda tersebut ya para penggerak.
Persoalannya, ada dua jenis penggerak. Ada penggerak yang dengan suka hati membabati semak-semak penghalang komunikasi, seperti halnya Si Mawar dan Si Melati. Di sisi lain, ada jenis penggerak yang gampang jijik kepada kalangan lain yang berbeda karakter ruang aktualisasi; agaknya mereka telanjur menganggap sakral diri sendiri.
Iqbal Aji Daryono penulis dan pendengung, tinggal di Bantul
(mmu/mmu)