Tunjangan Hari Raya (THR) adalah hak yang selalu ditunggu-tunggu semua karyawan dan pekerja setiap menjelang perayaan Hari Raya Idul Fitri. Tetapi, untuk tahun 2020 kali ini, harapan karyawan dan pekerja memperoleh THR tampaknya tidak akan sesuai yang diinginkan.
Gara-gara pandemi wabah Covid-19 yang merambah ke berbagai daerah dan komunitas tanpa pandang bulu, diperkirakan banyak pengusaha bakal kesulitan untuk membayar THR. Penyebaran virus corona yang begitu dahsyat bukan hanya mengancam keselamatan nyawa masyarakat, tetapi juga memukul kelangsungan berbagai dunia usaha.
Saat ini, tidak sedikit pelaku ekonomi yang terancam gulung tikar atau paling tidak mengalami penurunan drastis omzet usahanya akibat imbas Covid-19. Jangankan untuk membayar THR, bahkan untuk membiayai kebutuhan biaya produksi sehari-hari, kulakan bahan baku, membayar gaji bulanan pekerja, atau untuk mencegah mereka tidak melakukan PHK saja sudah menjadi hal yang nyaris mustahil dilakukan.
Kesulitan Pengusaha
Di berbagai daerah, tidak sedikit pengusaha dan pemilik pabrik kini mengaku kesulitan mempertahankan usaha yang ditekuni. Alih-alih untuk membayar THR, bahkan untuk menjaga agar usahanya tidak kolaps saja sudah menjadi beban dan tekanan yang sangat berat.
Meski para pengusaha telah menyadari THR adalah hak pekerja, namun demikian ketika kondisi perekonomian sedang lesu seperti sekarang ini, tentu bukan hal yang mudah bagi mereka menyisihkan pos dana untuk THR.
Akibat imbas wabah Covid-19, hampir semua pengusaha kini tengah menghitung arus kas yang masih dimilikinya. Tak hanya harus mengkalkulasi ulang kewajiban pembayaran THR, bahkan untuk pembayaran upah atau gaji bulanan para pekerjanya banyak pengusaha masih harus menakar ulang dan melihat kemampuan keuangan yang dimilikinya.
Akibat permintaan pasar yang turun drastis, banyak perusahaan kini tidak lagi memiliki uang kontan. Hampir semua lini usaha kini tidak memiliki modal atau cadangan dana yang cukup untuk menyangga kelangsungan usahanya.
Untuk usaha di bidang ritel, perhotelan, restoran, pariwisata, kuliner, dan lain sebagainya kini mereka benar-benar mati kutu. Penerapan kebijakan isolasi atau pembatasan sosial berskala besar membuat kondisi pasar seolah mati suri. Okupansi hotel dilaporkan anjlok hingga ke titik terendah. Restoran dan tempat-tempat wisata kuliner yng biasanya ramai pengunjung kini sepi bak kuburan.
Hampir di semua lapisan dan skala usaha kini kelimpungan akibat wabah Covid-19. Bisa dibayangkan, apa yang bisa dilakukan para pengusaha jika sama sekali tidak ada income yang masuk. Perusahaan yang terbiasa mengandalkan pemasukan uang kontan dari penjualan produknya kini kehilangan pemasukan yang menyebabkan mereka tidak lagi memiliki dana cadangan yang cukup.
Kebijakan pemerintah yang memberi keringanan pembayaran pajak, misalnya, dalam praktik tidak banyak berdampak mengurangi beban biaya yang menjadi tanggungan perusahaan. Insentif yang ditawarkan pemerintah bila perusahaan tidak melakukan PHK juga tidak akan banyak membantu ketika permintaan pasar tidak lagi ada.
Situasi krisis ekonomi yang terjadi saat ini boleh dikata jauh lebih parah daripada krisis moneter tahun 1989. Bagi pengusaha, penurunan omzet hingga 30-90 persen tentu tidak berbeda dengan masa-masa mendekati kebangkrutan. Jangankan berharap untung, bahkan untuk mencegah perusahaan menderita kerugian saja kini tidak mungkin dilakukan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sense of Belonging
Meminta pengusaha tetap membayar THR pada masa dunia usaha terkena imbas wabah Covid-19 harus diakui bukanlah hal yang mudah. Namun demikian, bukan berarti THR boleh tidak dibayarkan. Bagaimanapun THR adalah hak pekerja, dan terjadinya krisis ekonomi tidak lantas menghapuskan kewajiban pengusaha untuk membayar THR.
Saat ini, sejumlah opsi yang realistis bisa menjadi pilihan para pengusaha, mulai dari mengurangi jumlah THR dari 75% hingga 50%, menunda masa pembayaran THR, hingga kemungkinan membayar THR dengan cara mencicil. Bagi pengusaha yang mampu bertahan dalam situasi krisis tentu mereka bisa membayar penuh kewajiban perusahaan membayar THR. Tetapi, bagi pengusaha yang bisnisnya tengah terancam kolaps, tentu opsi-opsi di atas menjadi pilihan yang realistis.
Terlepas apa pun nanti opsi yang ditawarkan dan menjadi pilihan pengusaha, semua tentu membutuhkan pengertian dari para pekerja. Bagi para pekerja, mereka mungkin saja bersedia menerima opsi yang ditawarkan pengusaha jika sejak awal mereka diajak bicara dan diperlakukan secara manusiawi. Lebih dari sekadar mencari jalan keluar bersama melalui dialog atau bipartit, momen meluasnya wabah Covid-19 adalah sebuah pelajaran yang benar-benar berharga bagi pengusaha untuk tidak lagi memperlakukan pekerja hanya sebagai bagian dari komponen biaya produksi dan beban apalagi perusahaan.
Kesediaan para pekerja memahami kesulitan yang dihadapi para pengusaha niscaya dipengaruhi oleh cara pengusaha memperlakukan mereka. Sense of belonging para pekerja terhadap perusahaan tempat mereka bekerja niscaya akan tumbuh dengan kuat bila sejak awal pengusaha memperlakukan mereka dengan manusiawi. Pengusaha yang memperlakukan pekerja sebagai aset niscaya akan bersikap bijak dan menempatkan pekerja sebagai bagian dari komponen penting perusahaan.
Jangan sampai muncul kesan pada saat perusahaan mengalami kesulitan para pengusaha meminta pengertian pekerjanya jika THR tidak diberikan, dikurangi, atau ditunda. Tetapi, pada saat perusahaan sedang berjaya dan meraup keuntungan, mereka sama sekali tidak memberitahu dan menyapa para pekerjanya. Perlakuan manusiawi adalah kunci bagi dunia usaha yang mampu melangsungkan dan mempertahankan usahanya --meski diterpa tekanan krisis, termasuk krisis yang dipicu wabah virus.
Bagong Suyanto Guru Besar Sosiologi Ekonomi FISIP Universitas Airlangga