Wabah Corona dan Orang Pinggiran
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Wabah Corona dan Orang Pinggiran

Selasa, 31 Mar 2020 10:03 WIB
Marwan Jafar
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Trasnmigrasi Marwan Jafar mengikuti rapat kerja dengan Komisi II DPR RI di Gedung DPR, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (6/2/2015). Rapat tersebut membahas anggaran PDT dan Transmigrasi tahun2015 dan program-program kerjanya.
Marwan Jafar (Foto: Lamhot Aritonang)
Jakarta -

Beberapa hari belakangan dan hari-hari esok ke depan, orang-orang pinggiran yang sebagian kita jumpai dan mencari nafkah sebagai pedagang kaki lima yang ada di trotoar, ada di bis kota atau angkutan umum, ada di pabrik- pabrik--seperti petikan lirik lagu balada Orang Pinggiran yang dinyanyikan duet oleh Iwan Fals dan Franky Sahilatua dan terasa menjerit--masihkah akan tetap dan dapat terus bertahan bekerja keras di tengah badai wabah Corona alias dalam istilah Jawa pageblug, demi sesuap nasi buat keluarga tercinta? Tak mudah tampaknya menjawab sekarang pertanyaan beraroma retorik ini.

Di sisi lain, ada perkembangan berita puluhan ribu orang-orang pinggiran yang sebagian berprofesi sebagai pekerja informal, pekerja lepas dan mengandalkan penghasilan harian di Jabodetabek, sekitar sepekan terakhir sudah mulai pulang ke kampung masing-masing. Motif pulang kampung para orang pinggiran itu, tentu saja bervariasi.

Boleh jadi mereka sementara memilih pulkam, karena melihat mulai sepinya orang berlalu lalang di jalan, pasar serta tempat-tempat umum akibat kebijakan kerja dari rumah (work from home) sebagai dampak pencegahan virus Corona-19. Dengan ungkapan lain, kenyataan yang dihadapi para orang pinggiran yang sementara pulang kampung tersebut sangat boleh jadi memiliki dasar argumentasi yang jelas dan selayaknya kita maklumi. Terkait hal ini, sudah pada pada tempatnya dan tiba waktunya negara alias pemerintah memutuskan buat menolong kelangsungan dan keberadaan kehidupan mereka.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sedikit kilas balik, buat mengatasi kondisi sosial seperti itu sebenarnya pemerintah telah melahirkan Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Pada diktum pertimbangan perundangan ini menyebutkan, bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak dan meningkatkan martabatnya menuju terwujudnya masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur.

Selain itu, untuk memberikan jaminan sosial yang menyeluruh, negara mengembangkan SJSN bagi seluruh rakyat Indonesia. Per definisi, SJSN pada dasarnya merupakan program Negara yang bertujuan memberi kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Melalui program ini, setiap penduduk diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak apabila terjadi hal-hal yang dapat mengakibatkan hilang atau berkurangnya pendapatan, karena menderita sakit, mengalami kecelakaan, kehilangan pekerjaan, memasuki usia lanjut, atau pensiun.

ADVERTISEMENT

Kita garis bawahi frasa kalimat: "...setiap penduduk diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak apabila terjadi hal-hal yang dapat mengakibatkan hilang atau berkurangnya pendapatan..." Kita menemukan konteksnya dan betapa gamblang pemerintah mesti berpacu dengan waktu untuk segera mengatasi dampak sosial wabah Covid-19. Itu sebabnya seperti banyak diberitakan media, pemerintah akan segera mencairkan dana jaring pengaman sosial buat orang pinggiran.

Manfaatnya, hampir dipastikan dapat memberikan perlindungan sosial di sektor informal dan para pekerja harian maupun program insentif ekonomi serta kalangan usaha mikro, kecil dan menengah. Artinya, bantuan-bantuan jaring pengaman sosial ini, diharapkan bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dari para pekerja harian yang terdampak wabah Corona. Karena penghasilan yang tidak ada lantaran kebijakan tanggap darurat, membuat mereka kesusahan buat memenuhi kebutuhan makan sehari-hari.

Dalam pada itu, data kependudukan mutakhir yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) per September 2019 menunjukkan, jumlah penduduk miskin di Indonesia di wilayah perkotaan mencapai 9,86 juta orang dan di daerah perdesaan tercatat sejumlah 14,93 juta orang. Hampir bisa dipastikan, termasuk di dalam kategori penduduk tersebut adalah para orang pinggiran terdampak Covid-19 atau yang secara prosentase masih cukup besar di Indonesia.

Bantuan sosial tersebut, tampaknya untuk menjaga daya beli kelompok masyarakat yang dianggap paling terdampak wabah Covid-19. Terkait hal ini, sebagian kalangan ekonom cukup optimis, kemampuan fiskal pemerintah masih cukup buat melakukan bantuan sejumlah bantuan dan stimulus ekonomi kepada masyarakat. Tapi diingatkan, tantangan terbesar adalah proses identifikasi penerima bantuan dan distribusi agar tepat sasaran. Selain itu, realokasi anggaran yang dilakukan pemerintah terhadap belanja kementerian atau lembaga maupun transfer ke daerah diprediksi bisa menutupi kebutuhan mendesak warga masyarakat semisal orang pinggiran.

Seperti kita ketahui, berbagai bentuk jaring pengaman sosial sebenarnya bukan hal atau sesuatu yang baru di Indonesia. Sebelumnya, pemerintah sudah pernah memberikannya dalam bentuk lain, semisal kartu sembako. Yang jelas, pada situasi sekarang jaring pengaman sosial juga harus diberikan kepada kelompok masyarakat yang semula tidak rentan atau tidak miskin tetapi kini menjadi rentan akibat Covid-19.

Di sisi lain, meneruskan lirik lagu tadi, para warga masyarakat rentan dan orang pinggiran sudah terbiasa bekerja di bawah terik mentari, di jalan-jalan becek, di tengah desing mesin pabrik serta tetap bergembira menyanyi dan menari mengusir kejenuhan atau kepenatan kerja seharian. Tapi hari-hari belakangan ini dan hari-hari esok mendatang entah sampai kapan, orang-orang pinggiran yang saudara-saudara kita juga laksana sedang berhadapan dengan sebuah tembok ketidakpastian.

Atau bahkan ibarat sudah jatuh masih tertimpa tangga pula. Tak pulkam, dapur mulai susah mengepul karena lembaran rupiah menipis di dompet. Pulang kampung boleh jadi khawatir dikira atau 'dicurigai' bisa menjadi pembawa (carier) virus Corona ke kampung halamannya, meski mereka meyakini sehat walafiat atau baik-baik saja kondisi daya tahan badannya. Sungguh bagai akan mengunyah buah simalakama kawan-kawan kita orang-orang pinggiran. Lagu mereka benar-benar nyanyian kejujuran hati. Gerak tari mereka merupakan tarian jiwa. Benar-benar memilukan garis hidup mereka, mirip seperti tangis panjang bayi di malam hari.

Sebagai pedagang kaki lima, pekerja di pabrik-pabrik atau pekerja lepas harian di sejumlah sektor ekonomi lainnya, teman-teman kita orang pinggiran acapkali merasa sepi sendirian di kamar-kamar kontrakan seantero Jabodetabek. Dengan sebatang rokok dan segelas kopi, barangkali mereka rebahan sepulang kerja seharian sambil meraih sekeping mimpi. Atau mereka sesekali keluar kontrakan, menatap keluasan langit tapi tetap saja langit tak peduli. Toh, para pekerja keras ini terus meyakini mentari esok pasti akan kembali di ufuk Timur serta optimis semoga mendapat rejeki halal dan baik.

Iwan Fals dan Franky Sahilatua terdengar mendendangkan irama liriknya: //Orang pinggiran/ Di dalam lingkaran/ Berputar-putar/Kembali ke pinggiran//. Kedua musisi pencipta lagu sekaligus penyanyi yang dikenal seringkali mampu menangkap dan mengungkapkan problema sosial lapisan masyarakat terbawah Indonesia secara sangat menyentuh ini meneriakkan, betapa para saudara kita orang pinggiran bukanlah golongan pemalas.

Orang-orang pinggiran juga terbukti sebagai kaum pekerja keras yang terus mendorong agar perekonomian bangsa terus berputar menggelinding. Bahkan bukan hanya itu. Teman-teman kita tersebut juga tidak suka mengeluh. Kawan-kawan kita orang pinggiran paling banter terlihat melenguh, menarik napas panjang dan sekadar meregangkan kedua lengan dan kakinya buat merilekskan staminanya kembali.

Terkait hal tersebut, sekadar memberikan refleksi dan mencari jalan keluar dari rantai kemiskinan, ada baiknya kita merujuk pada pemikiran ekonom terkenal dari Pakistan Mahbub ul Haq. Penulis buku Tirai Kemiskinan (1995) yang pernah menggegerkan dunia akademik dan menyengat sejumlah pemimpin negara berkembang ini menandaskan, gaya atau metode pembangunan harus sedemikian rupa, sehingga bukan manusia yang dikerahkan di sekitar pembangunan tetapi pembangunan yang dikerahkan di sekitar manusia.

Itu sebabnya, pertumbuhan GNP sebuah negara seringkali tidak sampai ke bawah: Yang dibutuhkan ialah serangan langsung atas kemiskinan. Atau dengan kalimat lain, mekanisme pasar seringkali membuat kesenjangan akibat pembagian pendapatan dan kekayaan yang berlaku, alias pasar bukan petunjuk yang dapat diandalkan untuk menentukan tujuan-tujuan nasional.

Solusinya antara lain, siasat baru pembangunan harus berpijak pada tujuan memenuhi kebutuhan pokok manusia dan bukan sekadar melayani permintaan di pasar. Seiring dengan itu, kebijakan negara mengenai pembagian sektor ekonomi dan lapangan kerja harus dijadikan bagian tidak terpisahkan setiap rencana produksi, sebab umumnya tidak mungkin memproduksi dahulu dan baru kemudian membaginya.

Mahbub juga menawarkan jalan keluar, sebaiknya kebijakan negara menaikkan produktivitas kaum miskin dengan cara mengarahkan penanaman modal ke sektor-sektor miskin dalam masyarakat. Mengapa demikian? Sebab, hal itu merupakan unsur penting kebijakan negara dalam konteks pembagian pendapatan secara berkeadilan. Ia juga menyarankan, hubungan antara kekuasaan politik dan ekonomi di sejumlah negara umumnya harus dirombak dan disusun kembali agar pembangunan dapat tersebar luas di kalangan rakyat banyak.

Kembali pada kenyataan yang beberapa pekan lalu kita sudah dan masih akan menghadapi wabah Corona, yang jelas warga masyarakat bawah atau orang pinggiran juga sudah mulai merasakan dampak sosial-ekonomi dan psikologis. Di sisi lain pergerakan angka ODP, PDP, Positif, meninggal maupun kesembuhan Corona, juga masih mengalami kenaikan signifikan dan belum pasti kapan titik kulminasi serta kapan grafik tersebut mulai menurun.

Para orang pinggiran bukanlah kelompok warga menengah ke atas dan boleh jadi belum tentu mengikuti seksama apakah nilai tukar rupiah melemah, ekspor menurun, pasar saham jeblok atau neraca pembayaran defisit yang menjadi indikasi makro perekonomian. Namun demikian, kita berharap dengan solidaritas sosial berbagai elemen sosial dan kegotongroyongan sejumlah pihak yang sudah muncul di masyarakat, penanganan dampak Corona optimis bisa teratasi.

Bersamaan dengan itu, anjuran pemerintah agar warga masyarakat disiplin mempraktikkan kerja dari rumah, mengatur jarak antarorang (social, physical distance) serta beberapa perilaku sehat buat mencegah penyebaran Covid-19 selayaknya terus dimaksimalkan. Tak kalah penting, melalui berbagai bentuk medsos warga masyarakat juga perlu menyebarkan sisi-sisi positif--mulai dari menggencarkan pola perilaku hidup sehat seperti berjemur di mentari, berolah raga hingga membuang rasa kepanikan dan kecemasan berlebihan--buat menyemangati sesama warga masyarakat maupun para dokter serta tenaga medis lain yang sudah berjibaku di garda terdepan penanganan Covid-19.

Bagi orang-orang pinggiran, keinginan mereka mungkin sederhana saja: bagaimana caranya, kapan Corona segera berlalu, agar seluruh keluarganya, lingkungan warga masyarakat dan para pemimpin kita tetap sehat, agar kehidupan dapat kembali normal buat meraih rejeki yang halal dan baik serta tetap mendoa semoga Tuhan melindungi dan merahmati kita semua.

Marwan Jafar anggota DPR RI F-PKB

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads