Krisis Komunikasi dan Tumpah Ruah Informasi Wabah
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Krisis Komunikasi dan Tumpah Ruah Informasi Wabah

Selasa, 24 Mar 2020 14:54 WIB
Oki Edi Purwoko
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
fitur twitter event page
Foto: Dok. Twitter
Jakarta - Terkait pandemik Covid-19 saya teringat satu dekade yang lalu, khususnya saat kejadian erupsi Gunung Merapi berturut-turut pada 2006 dan 2010. Setidaknya ada dua pergeseran wacana yang berkembang mengambil kejadian tersebut. Pada 2006, wacana yang berkembang terkait bencana dan kejadian traumatik ditampilkan dengan lebih dominan pada sisi romantik-tradisional-spiritualistik, dengan Mbah Maridjan sebagai sosok pahlawan yang populer.

Tetapi pada erupsi 2010, wacana mulai bergeser ke arah rasional-akademik seiring bergesernya pahlawan baru dari Mbah Maridjan ke Mbah Rono. Berikutnya, pada 2018 ketika Youtube lebih merata diakses oleh semua lapisan masyarakat, penelitian kecil-kecilan saya lakukan ketika kejadian bencana Palu, yaitu membandingkan pola wacana yang berkembang di media mainstream dan pola citizen journalism melalui channel Youtube dan Grup Whatsapp.

Satu hari atau Sabtu setelah kejadian gempa melanda Palu, Jumat sore media mainstream cetak khususnya mulai menayangkan pemberitaan yang sifatnya feature, misalnya kisah wartawan yang mengalami sendiri kejadian likuifaksi, kisah relawan, dan seterusnya. Tetapi wacana yang berkembang di Youtube dan Whatsapp diramaikan konten konten yang bersifat irasional-konspiratif, misalnya video mengenai mata Dajjal di pantai Sulawesi, potret daerah yang terkena likuifaksi dengan aktivitas yang melanggar agama, kemunculan tanda-tanda alam sebelum gempa, dan seterusnya.

Lebih lanjut, pada awal Maret 2020, saat penderita Covid-19 di Indonesia masih terhitung satu-dua kejadian, bersama-sama dengan mahasiswa kami melihat pola pemberitaan di media online, dan hasilnya wacana pemberitaan Covid-19 masih didominasi oleh pemberitaan mengenai korban. Saat itu masih sedikit porsi media yang membahas analisis, kronologis, cara-cara penyebaran, penanganan yang dibahas secara saintifik dan utuh, serta komentar-komentar tokoh yang mencerahkan publik.

Pendek kata pemberitaan masih didominasi oleh wacana sensasi dan mengesampingkan aspek pendidikan kepada publik.

Terakhir, pada 13 Maret atau Jumat, satu hari sebelum banyak institusi pendidikan seperti sekolah dan kampus memberlakukan pembatasan pembelajaran tatap muka, seorang mahasiswa saya ajak untuk mencari panduan peliputan penanganan penyakit pada beberapa situs organisasi pemberitaan di Indonesia, dan hasil yang didapat masih sangat minim.

Minggu berikutnya, ketika penderita mulai di atas 100, wacana di Grup Whatsapp dan Instagram telah banyak, atau lebih tepatnya kembali, dibanjiri wacana konspiratif dengan sumber informasi dan perspektif non saintifik dan jauh dari kesan rasional-akademis.

Knowledge Goes Pop

Seiring pandemi ini terjadi di berbagai belahan dunia, terminologi "infodemics" banyak muncul karena semakin menjamurnya informasi yang kurang akurat terkait Covid-19. WHO mendeskripsikan infodemics sebagai an over-abundance of information, some accurate and some not, that makes it hard for people to find trustworthy sources and reliable guidance when they need it.

Jika kondisi ini dipadukan dengan konsep convergence Henry Jenkins, maka, kondisi over abundance of information atau tumpah ruahnya informasi di sekeliling kita semakin dirusak oleh kondisi ketika setiap khalayak dengan smartphone memiliki kemampuan mereproduksi dan mendistribusikan suatu konten sesuai dengan selera masing-masing, dalam konteks yang berbeda-beda, terkadang semena-mena sesuai dengan yang mereka inginkan.

Akibatnya, makna yang muncul seringkali melenceng dari makna awal konten tersebut diciptakan.

Kondisi ini kembali diperparah ketika audiens berada pada lingkaran informasi yang diistilahkan Birchall dalam "knowledge goes pop". Pengetahuan dan informasi semacam ini memiliki karakter "deny scientific rationalism and justified true belief as the only criteria for knowledge." (Birchall, 2006). Argumen ini padu dengan tesis mengenai kecenderungan publik kini yang menganggap kebenaran (truth) sebagai yang "lebih berfungsi" (functioned) dalam kehidupan sehari hari mereka, daripada truth dalam kerangka logic pada masa terdahulu.

Tetapi setidaknya terdapat titik cerah ketika kita memakai pendekatan Information-Integration Theory yang mengungkap bahwa suatu informasi akan disintesis menjadi knowledge lebih dominan karena peran kredibilitas sumber informasi. Sehingga, peran pemerintah bersama-sama dengan media mainstream dan key opinion leader di tengah masyarakat kembali ada di posisi sentral dalam mengarahkan publik mengenai penting-tidak dan benar-salahnya suatu informasi.

Infodemics

Krisis komunikasi yang terjadi terkait penyebaran Covid -19 juga disebabkan oleh kecepatan wabah infodemics yang merebak lebih cepat dan lebih luas dibanding solusi saintifiknya. Tetapi harus diupayakan manajemen komunikasi yang lebih komprehensif untuk menghadapi hal tersebut.

Selain laman resmi covid19.go.id dan ditunjuknya jubir pemerintah, perlu kiranya adanya panduan dalam meliput penanganan pandemik di berbagai media sehingga pemberitaan yang sifatnya sensasi dan kurang mendidik bisa di tekan. Selain itu ada baiknya media memiliki agenda untuk lebih mengutamakan wacana yang sifatnya saintifik-medik untuk melawan wacana konspirasi yang banyak beredar.

Media mainstream perlu kembali memunculkan sosok-sosok pahlawan baru seperti Mbah Rono di masa lalu.

Selanjutnya, mengingat pentingnya informasi mengenai hal ini, agaknya pemerintah harus memanfaatkan kanal media mainstream secara lebih agresif khususnya TV nasional baik publik maupun swasta di seluruh Indonesia. Ambil contoh, seluruh televisi memiliki kewajiban untuk satu waktu menghentikan tayangan mereka beberapa menit agar ikut menyiarkan pengumuman pemerintah yang sifatnya sangat penting.

Aneh rasanya di satu televisi nasional pemerintah mengumumkan langkah yang sangat penting, tetapi di channel yang lain masih tetap menyiarkan program-program yang sama sekali berbeda. Di sisi audiens juga perlu diberlakukan protap tanggap bencana dan pandemik yang terstruktur di tingkat yang lebih kecil seperti RT dan RW.

Terakhir, pada setiap lokasi yang dinyatakan rawan bencana, selalu ada kelompok masyarakat yang memilih untuk tidak beranjak dan enggan mendengarkan, tetapi mudah-mudahan kali ini tidak.

Oki Edi Purwoko dosen Komunikasi Penyiaran Islam Fakultas Dakwah IAIN Purwokerto

(mmu/mmu)

Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads