Dari Logika Kewajiban ke Logika Hak
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom Kalis

Dari Logika Kewajiban ke Logika Hak

Jumat, 21 Feb 2020 14:26 WIB
Kalis Mardiasih
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
kalis mardiasih
Kalis Mardiasih (Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom)
Jakarta -

Kalau ada orang bertanya, bagaimana jika ia memilih tidak menikah, saya akan justru balik bertanya, "Kalau kamu sudah sadar punya pilihan, kenapa masih harus bertanya kepada orang lain?" Kali ini kita akan mencoba membolak-balik logika hak dan kewajiban yang kerapkali masih sering jungkir balik.

Menikah itu bukan tujuan hidup. Kalau tujuan hidup manusia religius adalah berbuat kebaikan sebanyak-banyaknya semata karena Allah, maka hal itu bisa dilakukan dengan menikah atau tanpa menikah. Pernikahan belum tentu menghadirkan kebaikan jika pasangan ternyata tidak satu misi, saling menyakiti, dan bahkan melibatkan pihak-pihak di luar diri mereka untuk terlibat berlarut-larut dalam masalah.

Sedangkan, tidak menikah juga belum tentu menghadirkan kebaikan jika ternyata subjek selibat tidak benar-benar siap untuk hidup sendiri. Maka, baik menikah atau tidak menikah adalah hak. Dan seperti tiap-tiap hak, seharusnya dilaksanakan tiap-tiap orang dengan penuh tanggung jawab. Memilih menikah artinya memilih bertanggung jawab terhadap pernikahan. Memilih tidak menikah artinya memilih bertanggung jawab untuk prioritas diri sendiri.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sementara, logika kewajiban atas pernikahan membuat seseorang seolah bersalah dan merasa terpenjara dalam masyarakat ketika tidak menjalaninya, padahal pilihan untuk tidak menikah tidak merugikan orang lain dan bukan hal kriminal sehingga tidak dilarang undang-undang.

Sekarang, mari bicara pernikahan. Ketika istri hamil, menyusui, hingga menjalankan tugas pengasuhan, masyarakat menormalisasi istilah kewajiban reproduksi. Karena berawal dari konstruksi nilai "wajib", maka perempuan yang tidak dapat menjalankan siklus reproduksi dianggap menyalahi kodrat atau tak cukup sempurna sebagai perempuan. Tidak semua perempuan bisa hamil atau memilih untuk tidak hamil, maka perempuan itu distigma tidak sesuai kodrat.

ADVERTISEMENT

Perempuan yang bekerja, tidak hanya karena tuntutan ekonomi keluarga, tapi sebagai bagian dari peran kemanusiaan, keilmuan, dan sosial yang ia pilih secara sadar, tetap distigma sebagai perempuan yang tidak utuh hadir untuk suami dan anak-anaknya.

Kini kita akan menormalisasi istilah hak reproduksi. Siklus hamil dan menyusui dialami oleh perempuan sebab hanya perempuan yang memiliki rahim dan payudara yang menghasilkan air susuan. Oleh sebab perempuan memiliki tools itu dan menjalani pengalaman melahirkan dan menyusui yang penuh risiko, ia justru harus mendapatkan hak-hak reproduksi. Sebagian hak reproduksi perempuan misalnya jaminan kesehatan, ruang laktasi di ruang publik dan tempat kerja, hingga parental leave atau cuti orangtua.

Di Indonesia, cuti hamil umumnya diberikan kepada perempuan selama tiga bulan, yang biasa diambil satu bulan sebelum melahirkan dan dua bulan pasca melahirkan. Sedangkan, laki-laki pekerja biasanya hanya bisa mengambil cuti 1-2 hari saja. Keterbatasan waktu cuti pasangan ini tidak memungkinkan suami untuk dapat membantu istri menghadapi panic attack atau baby blues pasca melahirkan.

Perempuan dan laki-laki yang berparadigma kewajiban reproduksi sebagai kodrat istri cenderung melihat tugas reproduksi sebagai peran gender perempuan saja. Padahal, dalam aktivitas menyusui misalnya, laki-laki sangat bisa menjalankan peran sebagai ayah ASI. Dengan menggunakan paradigma hak reproduksi, laki-laki bisa menemani istri ketika memerah ASI, menenangkannya ketika bayi bangun pada malam hari, dan menyusukan ASI dengan gelas kecil atau pipet ke bayi ketika ibu sedang mengerjakan tugas lain.

Kekacauan dalam memahami hak dan kewajiban juga kerap terjadi dalam memandang kasus kekerasan. Masyarakat merasa berhak untuk menstigma nilai yang masuk wilayah privat (domestik). Misalnya, ikut mengatur bagaimana tetangga berpakaian, menstigma tato, menstigma cara orangtua memberi pendidikan kepada anak.

Di sisi lain, ketika mendengar perempuan korban kekerasan berteriak meminta pertolongan dari dalam rumah mereka, masyarakat menganggap hal tersebut adalah urusan keluarga masing-masing. Hal tersebut didasari asumsi-asumsi konyol, bahwa laki-laki melakukan kekerasan sebagai upaya pendisiplinan istri atau istri layak dipukul karena sulit diatur suami.

Seharusnya, menyelamatkan korban kekerasan adalah wajib. Siklus kekerasan akan terus berulang sehingga berpotensi membahayakan kesehatan mental dan keselamatan nyawa korban. Mengurusi standar moral yang berbeda hingga cara seseorang mendidik anak masing-masing itu melanggar domain privat orang lain. Tapi, masyarakat punya hak untuk menghentikan siklus KDRT karena tindakan tersebut dapat dipidanakan dan diatur oleh Undang-Undang.

Logika kacau balau dalam mendefinisikan hak dan kewajiban masyarakat ini ternyata juga sampai pada level negara. Nasib RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang mencari keadilan untuk hak-hak korban kekerasan seksual masih di-carry over. Kini, ada RUU Ketahanan Keluarga yang berusaha mengatur nilai moral masing-masing keluarga dengan paradigma "kewajiban" warga negara. Padahal, apa yang disebut kewajiban dalam redaksi pasal-pasal RUU Ketahanan Keluarga adalah hak warga negara.

Warga negara berhak untuk mendefinisikan konsep baik dan buruk untuk keluarga. Negara punya kewajiban untuk memberikan fasilitas, berupa pendidikan, jaminan kesehatan, akses ekonomi, perlindungan sosial hingga kewajiban menjamin rasa aman. Cukup sampai di sana dan tenang; negara tidak punya kewajiban untuk masuk ke ruang-ruang tidur warganya.

Kalis Mardiasih penulis konten dan fasilitator Gusdurian National Networks

(mmu/mmu)



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads