Era pembenahan total Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tampaknya belum pernah mendapatkan momentum semeriah seperti sekarang. Maksudnya, untuk merevolusi institusi bisnis sekaligus memiliki kepedulian sosial tinggi ini pilihan yang tersedia: harus sekarang juga, atau tidak sama sekali.
Secara historis untuk menelusuri titik tolak sebelum menjelma menjadi BUMN seperti sekarang, institusi tersebut secara budaya adalah sesuatu yang "asing". Hal ini terutama karena BUMN sejatinya berasal dari korporasi perkebunan (yang kemudian melebar ke pertambangan) ciptaan Belanda dalam wujud organisasi ekonomi modern di pertengahan akhir abad ke-19.
Sampai pertengahan 1957, keterasingan budaya atas perusahaan-perusahaan itu masih berlanjut. Baru pada akhir 1957 dan awal 1958, jalan sejarah politik-ekonomi Indonesia segera berubah melalui aksi politik nasionalisasi perusahaan asing. Aksi politik ini sangat menjadi penentu sekaligus bersejarah, karena pada saat itulah, sejak 1870, Indonesia bisa mengontrol kekayaan ekonominya sendiri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Seperti ditulis Ahmad Habir dalam State Enterprises: Reform and Policy Issues (1990), melalui aksi itu negara mengambil alih 600 perusahaan Belanda, 300 di antaranya perusahaan perkebunan dan lebih dari 100 perusahaan lain yang bergerak dalam ekspor dan pertambangan. Selebihnya perusahaan perdagangan, keuangan, komunikasi, gas dan listrik, serta konstruksi.
Melihat luasnya cakupan bidang ekonomi yang diperankan perusahaan yang dinasionalisasi, pada esensinya sejak 1958 Indonesia berhasil mencapai "kemerdekaan ekonomi" --melengkapi kemerdekaan politik sebelumnya. Perusahaan-perusahaan Belanda dan asing lain yang dinasionalisasi itulah yang sekarang ini kita kenal sebagai BUMN.
Kita juga mencatat, perkembangan menentukan terjadi pada 1998 ketika kabinet era Orde Baru memerintahkan pembentukan Kementerian BUMN yang menoreh sejarah konsolidasi kekayaan negara di bawah satu payung.
Namun demikian, nilai-nilai kejatidirian bangsa --sebagaimana diamanahkan atau dituntut UUD 1945-- khususnya terkait tugas sosial BUMN, jangan pula sampai terlupakan atau diabaikan. Artinya, BUMN juga wajib tetap nasionalis dan pro kerakyatan serta berkontribusi besar mengurangi kesenjangan ekonomi dan kemiskinan di tengah masyarakat yang masih cukup lebar.
Persoalan menyangkut kemiskinan tersebut saat ini sudah jadi masalah global dan bukan hanya melanda Indonesia. Buktinya, penghargaan Nobel Ekonomi tahun 2019 lalu yang diraih Abhijit Banerjee, ekonom Amerika yang lahir di India dan istri yang berkebangsaan Prancis-Amerika Esther Duflo, serta ekonom Michael Kremer, karya-karyanya dinilai solutif mengatasi kemiskinan.
Para juri Panitia Nobel Swedia menyatakan, para pemenang tersebut telah memperkenalkan pendekatan baru untuk menemukan jawaban yang dapat diandalkan tentang cara terbaik buat memerangi kemiskinan global. Ketiganya menemukan cara baru yang lebih efisien untuk memerangi kemiskinan dengan memecahkan persoalan sulit menjadi lebih sederhana dan relatif lebih mudah ditangani.
Komite Hadiah Nobel menjelaskan, ketiga ekonom tersebut menginisiasi sebuah pendekatan untuk mengurangi kemiskinan yang berbasis pada sebuah desain eksperimen yang sangat hati-hati. Desain eksperimen tersebut nantinya akan menjadi jawaban dari sebuah pertanyaan-pertanyaan terkait kebijakan tertentu.
Salah satu dari pemenang Hadiah Nobel tersebut, Esther Duflo, adalah penerima termuda yang dianugerahi Hadiah Nobel Ekonomi. Dia adalah seorang profesor di Massachusetts Institute of Technology. Duflo (46 tahun) meneliti kebijakan SD Inpres yang dibentuk oleh pemerintah Indonesia pada era 1973 hingga 1978. Penelitian tersebut diterbitkan pada tahun 2000 dengan judul Schooling and Labor Market Consequences of School Construction in Indonesia: Evidence from an Unusual Policy Experiment.
Ia menganalisis dampak dari program pemerintah tersebut terhadap pendidikan dan tingkat upah penduduk Indonesia kala itu. Caranya, dengan menggabungkan perbedaan jumlah sekolah di berbagai daerah dengan perbedaan antar-kelompok yang disebabkan oleh waktu program. Penelitian tersebut berbasis pada realitas ketika pemerintah Indonesia melalui kementerian yang terkait dan berwenang membangun lebih dari 61.000 SD.
Terkait keberhasilan pemerintah melalui kinerja kementerian terkait tersebut bukan tidak mungkin setelah BUMN bertransformasi menjadi lokomotif ekonomi baru --dengan kedua sayap utama bisnis dan sosial-- serta menggunakan pendekatan pengembangan keunggulan mutakhir kecerdasan berbisnis, kecerdasan buatan, dan big data akan lebih mampu berkontribusi secara nyata, baik secara kuantitatif maupun kualitatif khususnya dalam konteks mengurangi kemiskinan dan menyejahterakan warga masyarakat.
Salah satunya, melalui maksimalisasi program tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) secara terukur, masif, dan berkelanjutan maupun berbagai bentuk kreasi pemberdayaan sosial lain maupun inisiatif baru terkait masalah besar mengurangi kemiskinan di Indonesia secara lebih signifikan.
Marwan Jafar anggota Komisi VI DPR, mantan Menteri Desa-PDTT