Jika Indonesia ingin dilihat sebagai salah satu negara yang benar-benar mendukung penelitian yang berkualitas, jujur, dan bermartabat, maka peran media massa sangat besar untuk berhenti memberi ruang kepada tulisan yang memuat pendapat yang seolah-olah berdasarkan penelitian ilmiah tanpa didasari dengan bukti-bukti ilmiah yang memadai.
Sejalan dengan keinginan pemerintah Indonesia untuk mendorong semangat penelitian, sebenarnya peranan para peneliti Indonesia semakin layak untuk diperhitungkan dan sudah semakin terlihat (baik yang berdomisili di Indonesia maupun di luar negeri). Karya para akademisi ini juga semakin dibaca dan kerap dijadikan rujukan, seperti tulisan-tulisan Merlyna Lim, Muhamad Ali, dan lain-lain.
Media mempunyai peranan yang sangat penting dalam memberitakan dan mempromosikan karya-karya ilmiah para peneliti Indonesia ini sehingga jangkauannya bisa diketahui bukan hanya oleh kalangan akademik namun juga oleh masyarakat luas. Sebagai sebuah wadah yang juga berperan manyajikan karya ilmiah (meskipun seringnya disampaikan dalam bentuk sebuah opini), media di Indonesia juga bertanggung jawab untuk lebih selektif dengan hanya menerbitkan tulisan yang memang didukung oleh data-data empiris dan juga didukung oleh contoh serta bukti valid yang terpercaya.
Kami pikir hal inilah yang diharapkan dan diinginkan oleh pemerintah Indonesia melalui Kemendikbud dan Dikti yang memang sedang sangat gencar mendorong para pengajar untuk meneliti bahkan bekerja sama dengan para peneliti asing guna terciptanya penelitian-penelitian berkualitas yang sesuai dengan koridor akademis yang nantinya bukan hanya dapat dipandang di Indonesia, namun juga di mata internasional.
Ketika sebuah artikel (termasuk opini) yang ternyata memiliki logical fallacy (atau yang kami sebut sebagai pincang logika, di mana biasanya pengambilan kesimpulan kurang sesuai atau argumentasi kurang bisa diterima dan cenderung melompat atau mengeneralisasi tanpa diikuti dengan alasan yang tepat dan bukti yang cukup) diterbitkan, maka adalah menjadi tanggung jawab para peneliti lainnya untuk memberikan masukan dan perbaikan (correction).
Kami percaya bahwa ilmu pengetahuan dibangun secara bersama-sama, di mana jika ada pihak yang kurang tepat atau kurang bijak dalam menyampaikan pandangannya, maka pihak yang lain tidak membiarkannya. Kami juga melihat hal ini sejalan dengan semangat penelitian yang memang sedang digencarkan oleh pemerintah seperti yang telah kami ungkapkan di atas.
Tulisan yang ingin kami ulas adalah sebuah opini yang dimuat oleh Republika pada 10 Januari 2020, dengan judul Reynhard: Pola yang Berulang oleh Ihshan Gumilar. Tulisan ini memuat pendapat pribadi penulis yang sayangnya dibungkus seolah-olah berdasarkan sebuah fakta ilmiah, di mana kami memandangnya sebagai sebuah tulisan yang memiliki beberapa lompatan atau pincang logika. Kami khawatir jika dibiarkan dan tidak diluruskan, maka dampaknya akan misleading atau menyesatkan masyarakat.
Gumilar adalah mahasiswa program doktoral di University of Auckland (UoA). Tak berapa lama setelah tulisannya terbit, pihak UoA telah meminta Republika untuk menurunkan (take down) tulisannya yang berkaitan atau berafiliasi dengan universitas. Dengan kata lain, mahasiswa diperbolehkan untuk mengemukakan pendapat pribadinya selama tidak menyebutkan afiliasinya dengan universitas.
Selain itu, mahasiswa juga akan dianggap melakukan "penipuan akademik" jika mereka memberikan pendapat yang tidak berdasar atau tidak disertai dengan alasan, bukti, dan argumentasi yang tepat dan runut (ungrounded argument) yang dilakukan di luar bidang keahliannya.
Dari laman kampus UoA, kami mempelajari bahwa pihak universitas juga menekankan bahwa seluruh civitas akademika UoA harus menghormati kebijakan PBB yang berkaitan dengan Hak Asasi Manusia. Dalam hemat kami, publikasi tulisan itu mungkin sudah setidaknya menghancurkan reputasi peneliti Indonesia. Berikut kami sajikan beberapa pendapat ilmiah (klaim) yang tidak berdasar yang sudah dilakukan oleh saudara Gumilar di tulisannya beberapa waktu lalu tersebut.
Klaim 1: Tanpa memberikan alasan yang jelas dan runtut kepada pembaca, ia langsung saja menghubungkan kejahatan seksual (yang dilakukan oleh Reynhard Sinaga (RS)) dengan orientasi seksualnya. Hal ini jelas-jelas salah kaprah dan tidak berdasar. Secara global, mayoritas pemerkosa adalah heteroseksual. Maka pertanyaan yang muncul: Saat kasus perkosaan oleh heteroseksual terjadi, mengapa tidak ada yang menghubungkan kejahatan ini dengan orientasi seksual mereka?
Klaim 2: Ia telah melakukan "tebang pilih" (cherry-picking, yaitu mengambil sebuah argumentasi dari sebuah tulisan secara parsial demi kepentingan penulis, tanpa melihat secara keseluruhan isi dari artikel tersebut). Dalam tulisannya, Gumilar mengutip sebuah jurnal ilmiah karya Sylva et al (2013) untuk mendukung klaimnya tentang peningkatan jumlah kriminalitas para gay di beberapa tahun belakangan.
Setelah membaca dengan seksama, kami tidak menemukan klaim dari penelitian Sylva yang berkaitan dengan hal ini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dengan kata lain, isi dari penelitian itu sangat jauh dengan apa yang sudah diungkapkan oleh saudara Gumilar.
Dampak dari tulisan itu, menurut hemat kami, telah mengubah arah kasus. Kasus RS seharusnya dilihat murni sebagai sebuah kejahatan kemanusiaan, atau sebuah tindakan kriminal, bukan yang lainnya. Selain bahwa tulisan saudara Gumilar ini tidak memiliki dasar ilmiah cukup yang kuat, kami juga melihat bahwa pembaca tidak diberikan penjelasan yang cukup atas kesimpulan yang disajikan.
Setidaknya untuk kami, sebagai seorang pembaca awam dalam bidang neuropsikologi atau psikologi syaraf, kami sama sekali tidak menemukan argumentasi yang solid dan runtut di mana kami diberikan penjelasan mengapa RS bisa menjadi seorang pemerkosa, misalnya. Pertanyaan yang muncul dalam benak kami tentang kekerasan psikologis macam apa yang mungkin pernah RS alami yang mungkin mempengaruhi syarafnya sehingga ia bisa menjadi pemerkosa yang tidak menunjukkan rasa bersalah sama sekali, yang ditinjau dari sisi psikologi (di mana kami menduga bahwa ini adalah setidaknya bidang yang dikuasai oleh saudara Gumilar), tidak kami temukan.
Alih-alih diberikan sebuah penjelasan, para pembaca langsung dibawa dan diadvokasi untuk percaya bahwa kejahatan itu murni dilakukan semata-mata karena orientasi seksual RS. Kami percaya, dalam dunia penulisan artikel ilmiah termasuk pendapat dari ahli, sebuah argumentasi harus terlebih dahulu diberikan dan disajikan sebelum pengambilan kesimpulan dan pemberian rekomendasi. Namun sayangnya, bagian paling penting ini seperti hilang dari tulisan tersebut.
Kami mendukung sepenuhnya kebebasan berpendapat, mengingat Indonesia sekarang telah berada dalam era Reformasi. Tetapi, kami juga percaya bahwa media di Indonesia juga harus memiliki integritas dalam menjunjung kode etiknya untuk memberitakan atau menerbitkan sebuah tulisan, yang seharusnya bisa dengan jelas membedakan mana pendapat pribadi dan mana yang merupakan sebuah fakta ilmiah.
Jika memang Indonesia ingin dilihat dan diperlakukan secara sungguh-sungguh sebagai sebuah negara yang memiliki kekuatan intelektual, maka Indonesia seharusnya memiliki setidaknya sebuah media yang dalam penyajian beritanya mampu memilah mana opini, dan mana fakta (ilmiah). Untuk ini, kami percaya detikcom bisa dan mampu mengemban tugas ini dengan lebih banyak menerbitkan tulisan-tulisan yang memang datang dari hasil riset sehingga masyarakat bisa lebih memiliki akses terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Jika belum, kami merasa harus dimulai sesegera mungkin, agar tidak terlambat.
Dr Nelly Martin-Anatias (PhD, University of Wisconsin-Madison) & Dr Sharyn Graham Davies (PhD, University of Western Australia); kedua penulis berafiliasi dengan Auckland University of Technology (AUT), Selandia Baru
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
(mmu/mmu)